Sunday, September 18, 2016

Jangan Memaksakan Diri Jadi Pemimpin

Terkesan oleh keputusan yang diambil oleh dua orang kolega suami saya yang tergolong senior dalam profesinya untuk menanggalkan posisi sebagai manajer secara sukarela dan kembali berkecimpung dalam posisi non-manajerial. Padahal dua-duanya diakui kapasitasnya yang baik dalam pekerjaan, salah satunya bahkan ditawari ruangan khusus untuk mengerjakan fungsinya, sesuatu yang ia tolak dengan halus karena tidak ingin nampak beda dari rekan-rekannya yang lain.

Ini fenomena yang baru saya dengar, karena yang pernah saya saksikan adalah orang bisa sikut kiri-kanan, jilat sana-sini untuk bisa naik jabatan dan sangat suka menonjolkan diri agar terlihat beda dan dipandang lebih hebat dibanding yang lain.

Perlu kejujuran dan pengetahuan akan kejatidirian yang baik untuk bisa menakar apakah suatu pekerjaan atau posisi adalah hal yang pas (thayyib) bagi diri. Jadi pemimpin atau manajer sesungguhnya bukan ukuran kesuksesan, karena keberhasilan yang sesungguhnya adalah menemukan bidang dan posisi yang pas dengan natur jiwa kita. Yang hanya dengan itu kebahagiaan sejati akan dapat dirasakan.

Perihal mengidentifikasikan pekerjaan yang pas ini digambarkan oleh guru saya seperti mengidentifikasi jenis tunggangan apa yang sang jiwa kita kendarai. Apakah raga kita berjenis kuda pacu atau keledai? Kuda pacu tidak lebih baik dari keledai, karena dua-duanya adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan kebaikan masing-masing. Akan tetapi keledai yang memaksakan diri melatih ototnya ingin menjadi kuda pacu tidak akan bahagia sama halnya dengan kuda pacu yang emoh berlatih dan memilih mengangkut-angkut barang bagaikan keledai.

Nah, kembali ke contoh kedua orang di atas, mereka bisa jadi adalah contoh sedikit dari mereka yang memahami kadar dirinya. Tidak memaksakan diri menjadi pemimpin kalau bukan bidangnya.