Wednesday, April 25, 2012

Menjadi Manusia Sejati

Kalau kita sebagai manusia hanya berpikir lulus kuliah dengan baik, dapat kerja dengan gaji dan posisi yang menawan, menikah, punya anak dan pensiun dengan tabungan yang banyak lalu menganggap beres hidup, maka sebenarnya mental kita tidak beda dari hewan. Manusia yang hidupnya disibukkan oleh hal-hal tersebut saha melambangkan orang yang tidak mengetahui tujuan hidup sejatinya untuk apa. Sahabat, tugas manusia jauh lebih besar daripada sekedar itu. Jangan mengingkari kemanusiaan sejati kita, jiwa kita berasal dari surga, dan kesana kita akan kembali, untuk dekat kepada Yang Terkasih. Semoga Allah Ta’ala memandu kita semua, amin. “Mereka punya hati tapi tidak paham tentangnya, mereka punya mata tapi tidak melihatnya, mereka punya pendengaran tapi tidak mendengarnya, mereka itu seperti binatang bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179).

Saturday, March 17, 2012

Niat Lebih Berharga Daripada Amal

Berikut adalah rekaman percakapan antara seorang guru dan murid di sebuah forum pengkajian Al Qur’aan.

Sang guru berpesan:
“Anak-anakku, rajin-rajinlah membaca Al Qur’aan. Kalau Al Qur’aan hanya dibuka pada saat pengajian saja, niscaya Al Qur’aan tidak akan efektif melakukan transformasi pada diri kita. Yakini dulu bahwa Al Qur’aan merupakan kitab suci yang mempunyai mukjizat memberikan transformasi pada diri kita, karena kalau kita sudah tidak percaya bahwa Al Qur’aan bisa merubah hidup kita, maka itulah yang akan terjadi. Karena Al Qur’aan itu mempunyai ruh.
Mental adalah karakter!
Kalau karakter kita tidak ingin mencari Allah melalui Al Qur’aan, maka akan sulit untuk memperoleh kemajuan dalam suluk.”

Tiba-tiba salah seorang murid bertanya.
“Wahai guru, apabila memang Al Qur’aan sedemikian rupa bisa melakukan transformasi pada manusia, lalu mengapa saya temukan banyak pasien di Rumah Sakit Jiwa adalah justru mereka yang hafal Al Qur’aan atau baik bacaan Al Qur’aannya?”

Sang guru tersenyum dan kemudian menjawab.
“Itu bisa terjadi bila tidak ada perlindungan Allah Ta’ala. Ketahuilah anakku, saat orang bersuluk, dirinya bisa naik ke alam hakikat. Akan terjadi benturan antara waham dunia dengan proses pemurnian.
Oleh karena itu mengapa memelihara syariat penting dalam bersuluk, bukan sekedar mengerjakan shalat, menghafalkan Al Qur’aan dsb. Tapi unsur syariat itu membuat kita tertib baik jiwa maupun raganya.

Jangan khawatir anakku, seandainya tauhid seseorang itu murni dalam mencari Allah, niscaya Allah akan melindungi, insya Allah. Namun kebanyakan orang hatinya setengah mencari Allah dan setengah mencari dunia.
Kadang-kadang rindu pada Allah, tapi di lain waktu hatinya gentar menghadapi cobaan dunia. Satu saat hatinya tenang dalam dzikir tapi di kala lain hatinya gelisah, cemas, galau dan diamuk amarah karena persoalan dunia.

Maka banyak-banyaklah meminta ampunan-Nya wahai anakku.
Tertibkanlah hidupmu dalam tuntunan syariat Rasulullah Muhammad saw. Dengan demikian, selangkah demi selangkah kita akan diubah menjadi manusia yang baru dengan izin Allah Ta’ala. Maka ketekunan itu akan membuahkan sesuatu.
Jangan lupa untuk tetap menjaga niat kita dalam melakukan sesuatu, karena Rasulullah saw berpesan, “Niat orang beriman lebih berharga daripada amalnya”.
Wallahua’lam”

Shaum, Ketaqwaan dan Idul Fitri

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa (shiyam), sebagaimana telah diwajibkan pada orang-orang sebelum kamu. Agar kamu bertakwa”(QS Al –Baqarah [2]:183)
Menjelang Ramadhan kita sering mendengar ayat di atas dikutip dalam setiap ceramah. Dan setiap kali kita mendengar dan mengamini doa sang ustadz sontak kita termanggut-manggut dan menjawab dengan lantang “Aamiin..!!” pada doa yang dipanjatkan “Semoga ramadhan ini membawa kita menjadi umatnya yang bertaqwa”. Kemudian kita kembali kepada rutinitas sehari-hari, sebagai pelajar, pekerja di kantor, ilmuwan, ibu rumah tangga, pedagang, profesional dll. dengan membawa bekal dalam hati, semoga doa sang ustadz terwujud, saya harus jadi orang yang bertaqwa.

Namun, pernahkah Sahabat bertanya dan mencari tahu, apa itu makna taqwa? Apa kaitan shaum yang kita kerjakan dengan terbangunnya ketaqwaan dalam diri? Apa tandanya bahwa kita sudah mulai bertaqwa? Apa kaitannya ketaqwaan dengan momen yang senantiasa kita rayakan sebagai hari kembali kepada fitrah (Idul Fitri) ?

Alhamdulillah bagi Sahabat yang sudah mengetahui jawabannya, artinya sudah ada alat ukur yang jelas dalam diri untuk mengevaluasi apakah ibadah kita berada on the right track, seperti halnya prinsip dasar dalam manajemen “you can’t manage what you can’t measure”. Hidup kita di dunia yang hanya sekali ini sangat penting untuk kita manage sebaik-baiknya.

Sahabat yang Allah sayangi, ayat ke-183 dalam surat Al Baqarah di atas memberikan tahapan yang sistematis, berkelindan dan mengagumkan berkaitan dengan iman, shaum, dan taqwa. Mari kita telaah satu persatu.

Shaum adalah perintah untuk kaum yang beriman

Seruan untuk shaum ternyata bukan ditujukan pada setiap manusia, tampak dari kata-kata seruan ‘Yaa ayyuhalladziina ‘aamanu’ “Hai orang-orang beriman” alih-alih “Yaa ayyuhannaas” “Hai manusia..” Jadi, yang terpanggil dengan sadar untuk melakukan ibadah shaum sesungguhnya hanya orang-orang beriman.

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah iman itu? Apakah saya sudah termasuk hamba-Nya yang beriman? Apa ciri-ciri orang yang beriman?

Sesungguhnya keimanan seseorang itu bertingkat-tingkat sebagaimana yang diterangkan Imam Al Ghazali (semoga Allah memberkahinya). Yaitu sbb:
(1) Iman Awami, yaitu iman orang awam yang letaknya sekedar di lisan.
(2) Iman Mutakalimin, merupakan tingkatan iman yang lebih kuat karena sudah mulai didukung dengan hujjah, sang hamba mulai mencari ilmu dan berusaha mengamalkannya.
(3) Iman ‘Arifin (Nur Iman). Yaitu iman yang berupa cahaya Allah yang memancar di qalb orang yang Allah kehendaki bersih dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya.

Jenis iman berupa ‘cahaya Allah’ inilah yang merupakan hakikat iman yang sebenarnya. Iman kategori ini yang dapat membawa kepada ketaqwaan sejati dan tentu menuntun kita untuk kembali ke fitrah diri.

Ternyata tidak mudah bagi seseorang untuk mengaku beriman atau telah menjadi mukmin dengan kategori iman yang sebenarnya, perhatikan ayat suci berikut:

“...katakanlah (kepada mereka), kamu belum beriman! Tapi katakanlah kamu baru berserah diri, sebab iman itu belum masuk ke dalam qalb-mu”
(QS Al Hujurat [49]:14)

Dengan demikian iman itu diawali dari Islam (berserah diri),

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan shadr (hati)nya oleh Allah untuk berserah diri lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu?)...” (QS Az Zumar [39]: 22)

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw perihal ayat ini:
Lalu bertanya seseorang kepada Nabi s.a.w., “Apakah pembukaan itu?”
Nabi s.a.w. menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nuur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima cahaya tersebut dengan seluas-luasnya.” Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?” Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”
Inilah salah satu ciri orang beriman yang diisyaratkan Rasulullah saw, yaitu mereka yang hatinya mulai berpaling dari dunia dan bersedia melepaskan ego dan keinginan dirinya untuk ‘mati’ dalam kehendak Allah Ta’ala.

Selain itu, patut kiranya kita bercermin kepada ciri orang-orang beriman yang Allah Ta’ala sebutkan dalam QS Al Mu’minuun [23]: 1-9, yaitu:
1. Orang yang khusyuk dalam shalatnya
2. Menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna
3. Menunaikan zakat
4. Memelihara kemaluannya, kecuali terhadap pasangannya yang sah.
5. Memelihara amanat dan janjinya
6. Memelihara shalat

Dengan demikian, perintah shaum dalam QS Al Baqarah 183 tersebut merupakan juga ajakan bagi kita untuk memperbaiki kualitas iman masing-masing, sebagai prasyarat untuk meraih ketaqwaan.

Puasa dan pembentukan ketaqwaan

Ibadah puasa sebenarnya sudah dilakukan selama berabad-abad dalam berbagai agama di dunia. Selain kaum Muslim, puasa juga ditemui pada kaum Nasrani, Yahudi, Konfusianis, Hindu, Taois dan agama lainnya. Bahkan suku pedalaman di Amerika Utara melakukan ritual puasa untuk menghindari bencana. Penduduk asli Mexico dan Inca di Peru melakukan puasa untuk “memuaskan para dewa”. Pada masa lampau, penduduk Asyiria dan Babilonia melakukan puasa sebagai bukti penebusan dosa.

Ibadah puasa dalam Islam menempati posisi yang spesial dibandingkan ibadah-ibadah lainnya, hal ini nampak pada sabda Rasulullah Saw menceritakan firman Tuhannya Azza wa Jalla:

"Setiap kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipat hingga 700 kali, kecuali puasa, karena puasa itu bagiku dan Akulah yang membalasnya."

"Sesungguhnya dia meninggalkan syahwat dan makanan serta minumannya demi Aku, maka puasa itu bagi-Ku dan Aku yang membalasnya."

Tidak diragukan lagi puasa berkaitan erat dengan proses memperkuat iman yang salah satu tandanya adalah ‘merenggangkan diri dari dunia’. Karena hal dahsyat yang salah satunya dapat diperoleh dari puasa adalah melemahkan syahwat manusia yang merupakan faktor penarik kuat pada cinta dunia, sebagaimana hadis Rasulullah saw berikut:

"Kalau saja setan-setan tidak berkeliaran di hati anak Adam, tentulah mereka melihat kepada kerajaan langit. Puasa itu membantu mematahkan syahwat."

Sebagaimana keadaan iman yang bertingkat-tingkat pada manusia, maka kondisi puasa seseorang ditentukan oleh keadaan imannya masing-masing. Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan tiga tingkatan puasa:

Pertama, mereka yang dikelompokkan sebagai orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan

Kelompok kedua adalah mereka yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Mereka menjaga lisannya dari berkata bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Mereka juga menjaga lisannya dari perbuatan tercela lainnya, seperti ghibah, mengadu domba, dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja.

Kelompok ketiga, menurut Al-Ghazali adalah mereka yang berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiyat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Mereka mengisi rongga hatinya hanya untuk mengingat Allah semata-mata. Mereka tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam hatinya untuk urusan duniawi. Mereka benar-benar mengontrol hatinya dari segala detakan niat yang menjurus pada urusan duniawi.

Maka semakin baik kualitas puasa seseorang semakin efektif menumbuhkan ketaqwaan. Karena orang yang sudah berada pada tingkat puasa khususul khusus akan semakin berhati-hati dalam hidupnya, yang merupakan salah satu ciri orang bertaqwa.

Seorang sahabat Rasul SAW, Ubay bin Ka’ab pernah memberikan gambaran yang jelas tentang hakikat taqwa. Pada waktu itu, Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay tentang apa itu taqwa. Ubay balik bertanya : “Apakah Anda tidak pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Umar menjawab : “Ya.” Ubay bertanya lagi : “Lalu Anda berbuat apa?” Umar menjawab: “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay menimpali : “Itulah taqwa.”

Di dalam Al Qur’an, makna taqwa terdiri dari tiga macam:

1. Perasaan takut
”Dan kepada-Ku lah kamu harus takut (tinggalkanlan maksiat karena takut kepada Allah Ta’ala)”

2. Bakti dan tunduk
”Wahai sekalian orang yang beriman berbaktilah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya bakti”

3. Membersihkan hati dari segala dosa (pensucian jiwa). Inilah hakikat taqwa
”Siapa-siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah serta taqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang beruntung”


Kaitan antara iman dan taqwa
Taqwa dalam Al Qur’an digambarkan sebagai pohon. Pohon taqwa ini merupakan pohon kehidupan diri masing-masing insan, yang merupakan kalimah thayyibah (kalimah yang baik).
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan bagi kalimah yang baik adalah bagaikan sebuah pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabang-cabangnya (merentang) di langit. Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seizin Rabb-Nya. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka selalu ingat.”(Q.S. Ibrahim : 24-25)
Akar pohon ini melambangkan aspek-aspek keimanan yang diteguhkan oleh Nur Iman, akarnya kokoh menghujam bumi diri dan bumi jagat secara. Batang pohon melambangkan ketaqwaan yang tumbuh diatas landasan akar keimanan yang kokoh; seperti yang Rasulullah SAW ungkapkan bahwa buah-buah keihsanan yang dihasilkan dari pohon taqwa ini, dari kalimah at-taqwa, adalah al-hasanah. Sari yang dihasilkan al-hasanah berupa minyak yang berkilau terang menampakkan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang haqiqah kehidupan, pengetahuan tentang rahasia Al-Haqq.
“Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu dan hiasannya malu.” (Al-Hadits)

“Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 282)6
Peran taqwa dalam meraih fitrah

Ketahuilah bahwa fitrah Allah, sebagai kondisi dan keadaan yang dengannya Allah menciptakan sesuatu, merujuk kepada keadaan esensial kemaujudan manusia. Ia adalah sesuatu yang ada dalam esensi penciptaan manusia itu . Tujuan sejati dari suatu pensucian jiwa (tazkiyatu-nafs) adalah untuk menemukan fitrah, yang merupakan qudrah atau kuasa Allah Swt yang ada di dalam nafs, sebagai mandat atau misi hidup yang harus dimanifestasikan.

Dengan demikian hakikat taqwa yang merupakan penyucian jiwa, juga berarti menemukan fitrah atau misi hidup masing-masing insan.

Barangsiapa mengenal nafs-nya maka akan melihat qudrah dirinya sebagai bayangan terbatas dari qudrah-Nya, dan barangsiapa yang mengenal kuasa-Nya maka akan mengenal Rabb-Nya, sebagaimana dikatakan Rasulullah Saw, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.” Dan kodrat diri ini tak lain merupakan fitrah Allah Swt yang disematkan kepada diri insan tertentu yang telah menegakkan ad-diin dalam dirinya.

“ Maka tegakkanlah wajahmu kepada ad-diin secara hanif. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah diin yang tegak, namun sebagian besar manusia tidak mengetahui.” (Q. S. Ar-Ruum [30] : 30).
Jika seseorang merealisasi fitrah dirinya, maka sebagaimana petala langit dan bumi ia hidup dalam energi minimalnya, dan akan mengalirkan suatu kekaryaan suci yang berguna untuk masyarakat. Apa yang ia lahirkan tak lain merupakan harta terpendam (kanzun makhfi)-Nya yang merahmati alam semestanya. Seorang insan yang telah berhasil merealisasi fitrah dirinya adalah seorang yang telah berhasil menegakkan ad-diin dalam dirinya, dan ini berarti ia telah berjalan dalam shirath al-mustaqim-nya.
Semakin seorang hamba bertaqwa, maka fitrahnya akan semakin teridentifikasi melalui mekanisme petunjuk yang senantiasa Allah berikan dalam hidupnya.

“Kitab (Al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
..yaitu mereka yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS Al Baqarah [2]: 2, 5)

Penutup

Demikianlah paparan singkat, sekedar ikhtiar menyambungkan khasanah yang terjalin indah dalam Al Qur’an, bahwa Iman yang mempersyaratkan berserah diri( islam), merupakan modal untuk melakukan shaum dengan derajat khususul khusus. Dengan shaum berkualitas seperti ini ketaqwaan akan terbangun dalam diri seseorang, untuk suatu tujuan yaitu menemukan fitrah (kodrat diri) masing-masing.

Mari kita memperbaiki setiap aspek ibadah lahir dan batin dalam bulan Ramadhan ini, karena saat setan-setan dibelenggu lebih mudah untuk mengendalikan hawa nafsu dan syahwat. Tiada lain agar iman dan taqwa kita lebih kuat dalam bulan-bulan berikutnya.

Semoga Allah mudahkan jalan ketaqwaan kita dalam menemukan shiraathal mustaqiim yaitu kodrat diri masing-masing.

Sebagai kata penutup, izinkan saya mengutip kata-kata indah Imam Khomeini, semoga bermanfaat menguatkan hati kita dalam jalan ini. Aamiin

Fitrah itu adalah fitrah untuk memalingkan wajah guna menatap Kekasih Mutlak; dan ia tak berubah. Sesungguhnya tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Ia adalah kecenderungan untuk mencari ma’rifah (pengetahuan tentang) Allah. Sampai kapan engkau akan menyia-nyiakan cinta fitri yang dilimpahkan Allah dengan mencintai sembarang kekasih karena khayalanmu yang sesat? Jika obyek cintamu adalah keindahan-keindahan tak sempurna, dan kesempurnaan-kesempurnaan yang terbatas, maka mengapakah api cintamu tak mereda setelah mencapainya dan mengapakah api cintamu semakin berkobar untuk mencapainya? Kini bangunlah dari tidur nyenyak yang membuatmu lupa, sambutlah kabar gembira ini, bergembiralah karena engkau memiliki seorang kekasih yang tanpa ketaksempurnaan, tanpa cacat, tanpa batas. Cahaya yang kau cari adalah Cahaya yang sinarnya menerangi alam semesta.

Referensi

1. Al Qur’an dan Terjemahnya. Penerbit Darus Sunah. 2002
2. Soleh. A Khudori. Puasa, Antara Shaum dan Shiyam. http://www.scribd.com/doc/4857963/Puasa-Antara-Shaum-dan-Shiyam
3. Dahlan. MD. Perjalanan Bangsa Kembali ke Fithrah Melalui Shaum Ramadhan. http://islamiccenter.upi.edu/wp-content/uploads/2011/03/PERJALANAN-BANGSA-KEMBALI-KE-FITHRAH-MELALUI-SHAUM-RAMADHAN.pdf
4. Tanuwijaya, Zamzam AJ. Catatan Materi Serambi Suluk. Yayasan Islam Paramartha. 1998
5. Imam Khomeini. 40 Hadis Nabi saw, telaah atas Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak
6. "Fasting," Microsoft® Encarta® 98 Encyclopedia. © 1993-1997 Microsoft Corporation.
7. Tanuwijaya, Zamzam AJ. Struktur Insan Dalam Al Qur’an dan Hadis: Misykat Cahaya-Cahaya. Yayasan Islam Paramartha. 1998
8. Tanuwijaya, Zamzam AJ. Yahdin Kuswandani. Shalat dan Transformasi Fitrah Diri. Yayasan Islam Paramartha. 2004
9. Soetomo, Herman. Kalimah Taqwa: Pohon Taqwa. Pengantar Mengenal Tashawwuf. Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS). 2002
10. Soetomo, Herman. Kalimah Taqwa: Cahaya Iman. Pengantar Mengenal Tashawwuf. Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS). 2002
11. Imam Al Ghazali. The Inner Dimension of Fasting. http://www.tasawwuf.org/basics/ghazali_fasting.htm
12. Imam Al Ghazali. Minhajul ‘Abidin. Terjemahan KH Abdullah bin Nuh. Penerbit Yayasan Islamic Center Al-Ghazaly. Januari 1994. Hal 120-121.

Budaya Lisan vs Literasi

Dari kajian yang disampaikan oleh Alfathri di Amare Book Club, mengulas tulisan A. Teeuw, Walter J. Ong dan Bambang Sugiharto @ Reading Light Cafe 12 Desember 2010.

Budaya lisan (oral) vs literasi ternyata punya implikasi yang dalam dalam membentuk peradaban.
Perjalanan sejarah yang dimulai dari Homer dengan Iliad dan Oddyseus-nya dengan kemampuan artikulasi yang nampaknya powerful, berhasil menorehkan tinta emas dalam meneruskan mitos kepahlawanan itu dari generasi ke generasi.

Homer adalah seorang penyair buta yang tidak bisa membaca selain itu pada saat itu komposisi orang yang bisa membaca hanya 1/3 dari seluruh populasi penduduk (?)
Dengan demikian budaya lisan untuk menyampaikan cerita merupakan sesuatu yang lazim pada zaman itu.

Budaya lisan sebagaimana budaya literasi masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan budaya lisan adalah kemampuannya dalam mengkomunikasikan aspek emosi, penjiwaan dan kadang hal-hal yang abstrak yang sulit dilakukan oleh budaya literasi, dalam kemasan audio visual yang sedemikian rupa bisa membuat tingkat partisipatif pendengar/pemirsa lebih tinggi. Respon manusia ketika mendengar beda dengan membaca. Respon mendengar lebih ke respon partisipatif, dimana seluruh sel tubuhnya ‘dipaksa’ konsentrasi ke satu titik (pendengaran) seringkali tanpa menyisakan jarak antara dirinya dengan informasi yang didengar. Fenomena psikis seringkali kita amati pada orang yang latah. Yaitu mereka yang berespon sedemikian rupa manakala ada rangsang tertentu yang dia terima, baik berupa rangsang mekanis atau melalui sensor pendengaran.

Karena sifat partisipatif inilah, saya menduga banyak perintah dan simbolisasi perintah di dalam kitab suci dinyatakan dengan “dengarlah!” dan dijawab dengan “aku dengar dan aku taat”, bukan “aku baca dan aku taat”
Bukankah di alam Alastu salah satu kalimat penyaksian adalah pertanyaan dari Allah Rabbul ‘Aalamiin berupa “Man Rabbuka?” – “Benarkah aku Rabbmu?”, menyuratkan ada proses lisan yang terjadi di sini dan direspon sedemikian rupa oleh kita, para makhluk-Nya.

Budaya literasi, bagaimanapun diakui sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia ini. Adanya institusi sekolah baru muncul setelah budaya literasi mulai berkembang (?) dan konon melalui komunitas gereja.
Masuk akal memang melihat adanya hubungan yang erat antara budaya literasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Karena dalam budaya literasi semuanya memerlukan suatu kepastian dan presisi. Hanya melalui bukti yang tercatat (literatur) suatu karya bisa disimpan secara otentik, tanpa kurang titik dan koma dan masih bisa diverifikasi di waktu yang akan datang. Ujian di sekolah-sekolah pun hanya mungkin apabila ada literatur yang merupakan acuan bagi para murid.

Salah satu dampak yang timbul dari budaya literasi adalah individualisme yang tinggi. Hal ini bisa dimengerti karena proses membaca sendiri merupakan proses individualisasi tinggi. Membaca pada umumnya merupakan proses yang terjadi secara sendiri dan butuh internalisasi yang cukup intens antara diri sang pembaca dengan materi yang sedang dipelajari. Masuk akal kiranya bila dalam masyarakat dengan budaya literasi tinggi, sifat individualisme ini terbawa dalam ritme kehidupan mereka sehari-hari. Hal lain dari budaya literasi adalah, proses membaca menciptakan jarak antara individu si pembaca dengan obyek yang dibaca. Hal ini membuat obyektivitas pembaca terlatih dengan baik. Maka budaya satir atau kritik di dunia Barat – yang merupakan simbol dari dunia literasi, merupakan salah satu konsekuensi logis dari budaya literasi di kalangan mereka. Kritik terbuka adalah hal biasa dan jarang berakhir dengan tawuran di masyarakat dengan budaya literasi kental, karena mereka terlatih untuk berjarak dengan obyek yang tengah mereka perdebatkan, sekalipun itu menyangkut obyek yang paling sensitif, misal masalah agama dan kepercayaan.

Memang, spasialisasi (adanya jarak) ini mempunyai dua mata pisau, yang satu bisa berdampak positif dan selayaknya banyak hal yang mempunyai dua kutub positif dan negatif, dalam hal tertentu yang berkaitan dengan tatanan kemasyarakatan yang menuntut hidup harmonis, individualisme yang tinggi merupakan barier bagi keguyuban dalam masyarakat literasi. Sebaliknya, partisipasi yang tinggi dan kadang cenderung keblinger, sering kita temui dalam masyarakat lisan.

Menarik untuk mencermati kesimpulan akhir A. Teeuw dalam bukunya “Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan” bahwa tantangan ke depan bagi bangsa Indonesia adalah untuk mengadaptasi hal-hal positif dan mensinergikan antara kekuatan budaya lisan dengan kekuatan budaya literasi.
Kaitannya dengan nubuwah bahwa pulau Jawa akan menjadi pusat ilmu dunia, sedangkan kondisi de facto pada saat ini yang secara rasional tidak memungkinkan masyarakat pulau Jawa ini memegang supremasi dalam dunia pengetahuan, patut kiranya kita perhatikan bagaimana Allah Ta’ala telah berkehendak menjadikan masyarakat berbudaya lisan sebagai fondasi awal, sebelum pada akhirnya berbaur dengan budaya literasi dan menjadikan negeri ini pusat ilmu dunia, yang kata Alfathri, “mungkin pada masa cucu kita nanti..”. Wallahua’lam[]