Tuesday, December 27, 2016

"Apa yang harus saya lakukan dalam penggal kehidupan yang satu ini?"

"Apa yang harus saya lakukan dalam penggal kehidupan yang satu ini?"

Pertanyaan itu mulai menyeruak saat usia saya 13 tahun, dipicu oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga orang tua saya. Perlahan-lahan saya mulai mencari-cari makna kebahagiaan sejati. Selama bertahun-tahun saya didera kegelisahan di malam hari, sang logika mencoba mereka setiap penggal kehidupan yang saya rancang untuk masa depan. Namun seribu satu macam skenario yang dimainkan oleh akal tetap berakhir di titik sama, apakah benar manusia hanya dirancang untuk tumbuh kembang, sekolah setinggi mungkin, berkeluarga, berkarir secemerlang mungkin dan meninggalkan alam dunia ini seperti debu di atas batu yang ditiup angin, hanya menyisakan serpihan kenangan? Something was telling me that we have bigger purpose than that.

Maka sejak usia 15 tahun saya memutuskan untuk hidup sendiri, i need some space to think, sedikit menjauh dari manusia, demikianlah selama hampir dua dekade saya memang ditakdirkan selalu menggelandang, hidup dari satu kota ke kota lain, rata-rata tinggal di sebuah tempat tidak lebih dari 3 tahun. Mentalitas nomaden itu membuat episode hijrah saya ke benua lain di penggal usia ini menjadi relatif ringan. Salah seorang sahabat saya memang pernah berkomentar, "Tessa itu kalau burung seperti Elang, you are a loner."

Saya tumbuh dan melalui banyak ketidakpastian dan terpaan ujian kehidupan. Semua itu melatih saya untuk bisa mandiri, tidak berpangku tangan dan mengharapkan belas kasihan orang lain, namun pelajaran yang paling penting adalah ketika saya perlahan tapi pasti ditarik ke dalam pusaran asa kepada Yang Maha Kuasa. Saat semua hal dan makhluk selalu berakhir mengecewakan maka saya tahu bahwa saya selalu bisa mengandalkan Dia. Setelah itu saya menemukan sebuah oase ekstase yang luar biasa di tengah-tengah deru keruwetan dunia yang tidak ada habis-habisnya. Saya mulai merasakan Allah itu hidup dan sangat akrab. Dia bukan sesuatu yang jauh dari jangkauan.

Sang mursyid berpesan agar kita senantiasa berjuang menjadi anak Sang Waktu, menjaring kebersyukuran pada apapun yang Ia tengah sematkan pada diri kita dari waktu ke waktu dengan keberserahdirian dan penghadapan wajah yang baik. Hanya dengan itu rasanya kita bisa mulai mengurai benang halus yang terbentang kepada asal muasal kita, untuk benar-benar mengenali jiwa kita.

Wednesday, December 14, 2016

Menelisik Sakit Sedang Yang Dihadirkan

Semasa saya masih praktik di klinik dan rumah sakit serta berinteraksi dengan berbagai pasien boleh dibilang hanya sebanyak 1% dari mereka yang kritis bertanya ihwal sakitnya; apa yang menyebabkan ia sakit, apa faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap sakit itu, bagaimana pola diet dan aktivitas yang baik hingga bagaimana mencegah penyakit itu menyerang dirinya. Sisanya yang 99% fokus kepada gejala dan obatnya apa untuk menghilangkan sakitnya kalau bisa yang instan, pake obat paten dan mahal biar cespleng!
Saya harus akui tidak mudah untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap seorang pasien karena keterbatasan waktu pelayanan dan sistem konsultasi dokter yang masih mengandalkan pay per visit, artinya seorang dokter kalau mau "makmur" paradigmanya semakin banyak pasien maka semakin dipandang sukses. Saya harus minta maaf banyak-banyak pada semua pasien saya yang dilayani tidak dengan optimal. Alih-alih berperan sebagai dokter, kerap kali saya hanya berperan sebagai robot pendiagnosa dan peresep obat dan jauh dari menyentuh akar permasalahan yang menjadi sebab sakitnya.
Mungkin itu sebabnya saya beralih jalur ke arah healthcare marketing, karena profesi ini memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan orang sedalam mungkin, bahkan kita difasilitasi kantor untuk melakukannya:) Baru-baru ini saya melakukan tes yang disertifikasi internasional yang disarankan oleh Career Coach saya, hasilnya menunjukkan saya orang yang mendapatkan energi dari berinteraksi dengan orang lain, klop sudah!
Perlahan tapi pasti rasanya saya mulai menemukan profesi yang akan saya tekuni hingga akhir hayat. I rather call it being a "compassionate listener", walau teman-teman saya menjuluki saya macam-macam : ustadzah, cikgu, spiritual coach atau mentor. Latar belakang pendidikan saya di bidang kedokteran membantu untuk memahami aspek raga manusia dan segala dinamikanya.
Namun hal yang lebih menakjubkan adalah ketika setiap hari chatting atau video conference dengan orang dari seluruh pelosok Indonesia dan mereka berbagi pengalaman hidupnya masing-masing yang luar biasa. Anda semua adalah orang-orang kuat! Terima kasih sudah membuka diri berbagi pelajaran yang indah dari Allah. Saya mengerti setiap kita punya medan ujiannya masing-masing yang dirasa berar dan tak jarang menyakitkan.
Akan tetapi seperti halnya pasien yang mengeluhkan sebuah gejala sakit kepada dokter, sang rasa sakit yang sedang melingkupi kita pasti diijinkan-Nya hadir untuk sebuah alasan penting. Baik kiranya untuk bertanya "kenapa saya diuji seperti ini?" sambil introspeksi dibanding sekadar mencari-cari jalan dan berdoa dengan agak ngotot supaya ujiannya dicabut, sakitnya dihilangkan atau kesulitannya diberikan jalan keluar yang mudah.
Karena rasa sakit itu adalah utusan dari-Nya, Dia yang hendak menyampaikan sesuatu kepada kita, mari kita coba dengarkan baik-baik.[]

Saat Pertemuan Yang Dinantikan

Saat-saat penuh keajaiban yang menghangatkan hati itu adalah saat menjemput sang buah hati pulang sekolah. Dimana puluhan orang tua telah berjajar di sekitar pagar sekolah lalu rombongan anak-anak grup 1 (usia 4-5) tahun berjalan berbaris keluar dari gedung sekolah ke halaman didampingi gurunya sambil mencari-cari sesosok wajah yang mereka kenali masing-masing. Ada yang berlari dengan ceria menyambut sang penjemput, ada yang berjingkat-jingkat kegirangan, ada pula (seperti anak saya) melakukan ritual berjalan ala moonwalkernya Michael Jackson. :))
Apapun itu ekspresi anak-anak adalah lugu, jujur dan luar biasa indah. Bagaimana mereka mengungkapkan rasa bahagianya saat mengenali sosok yang menjemputnya merupakan pagelaran yang saya nanti setiap harinya, and this part of life, i won't trade it for the world.
Barangkali hal ini menjadi demikian berkesan bagi saya karena selama dua dekade ini hampir setiap hari saya selalu membayangkan saat-saat di yawmil akhir nanti tatkala Allah Ta'ala menampakkan dirinya - demikian dalam kerinduan hati untuk kembali bertatapan wajah dengan-Nya. Dan tentu kita akan bisa mengenalinya, sebagaimana anak-anak tadi yang mengenali orang tua mereka masing-masing, karena kita berasal dari genggaman Sang Pencipta serta bukankah dulu kita sama-sama telah mengusung sebuah kesaksian dihadapan-Nya?
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"(QS Al A'raaf:172)

Tuesday, November 22, 2016

Saat Si Masam Mulai Membalas Senyuman :)

Hampir setiap hari aku berjumpa dengannya, seorang ayah yang menunggu anaknya pulang. Bersamanya dan puluhan orang tua lain kami berdiri menanti sang buah hati bubar sekolah. Setiap kali berjumpa dengannya - entah sudah berpuluh kali, aku selalu melemparkan senyuman dan menyapa "selamat siang" dan setiap kali itu pula wajahnya melengos masam.

"Apa yang salah?"pikirku setiap kali. Dia dan tiga orang lain berespon mirip setiap kali aku mencoba menyapa mereka ramah.
"Mungkin karena tutup kepalaku?"
"Mungkin karena warna kulitku yang berbeda dengan mereka?"
Segala macam rasionalisasi aku lemparkan ke dalam pikiranku, supaya aku bisa mengerti akan fenomena yang menurutku aneh ini.

Hampir dua bulan berselang, setiap hari aku selalu melempar senyum kepada siapapun yang kutemui, termasuk mereka yang selalu membalas dengan wajah yang kaku dan tak jarang membalikkan wajah. "Do good anyway" begitu kataku dalam hati mengingat pesan Bunda Theresa dan firman Allah, “Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat : 34).

Hari ini orang terakhir yang paling sulit melemparkan senyumannya mulai membalas sapa dan senyumanku. Benar kata Rasulullah “Senyum manismu dihadapan saudaramu adalah shadaqah” (HR. Tirmidzi). Shadaqah adalah bagaikan pemberian yang baik dan hati orang pasti akan luluh dengan pemberian yang baik, hanya menunggu waktunya.

Barangkali setidaknya ini adalah kontribusi kita dalam "menolong agama Allah", dengan menebarkan senyum. Bukan hanya sebatas senyuman fisik akan tetapi senyuman yang terurai dalam kata-kata yang sopan dan tidak menyakiti sesama. Karena bukankan dengan menyakiti seorang manusia kita secara tidak langsung tengah menyakiti Sang Pencipta?

#keep smiling :)

Tuesday, November 8, 2016

Biar Ga Kepincut Orang Ketiga

Hati-hati untuk kaum perempuan dan laki-laki, apalagi yang sudah berpasangan. Supaya tidak terjebak dengan masalah PIL/WIL (pria idalam lain/wanita idaman lain) apalagi di tempat-tempat tertentu dimana daun-daun muda dan segar berseliweran. Tipsnya adalah MENJAGA PANDANGAN dan yang dimaksud di sini bukan sekadar menundukkan pandangan secara fisik. Karena bisa aja mata nunduk tapi hati liar. Kontak mata pertama dikatakan 'rejeki' tak terduga tapi kalau tetap kontak mata atau batin itu namanya doyan!
Tersebut dulu di zaman ayahnya Nabi Idris a.s. ada dua ratusan malaikat yang kompakan turun ke muka bumi untuk melakukan perzinaan dengan anak-anak perempuan manusia yang cantik jelita, diawali karena mereka tidak menundukkan pandangan sehingga gelora syahwat birahi membara dan sulit untuk dipadamkan.
Berikut adalah panduan dari Al Qur'an dan Sunnah agar kita bisa terhindar dari cobaan syahwat ini, insya Allah.
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Qs. An- Nuur (24): 30)
"Penglihatan adalah bagaikan anak panah beracun yang dilepaskan dari busur panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepadaku, maka aku akan memberikan suatu ketenangan yang kemanisannya itu dapat ia rasakan di dalam hatinya." (Hadits riwayat Ahmad dan Ath-Thabari)
“Hai 'Ali, jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan yang lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan yang pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh." (Hadits riwayat At-Turmudzi dan Abu Dawud.
Dan ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh jabir bin Abdillah tentang pandangan yang datang secara tiba-tiba, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Palingkanlah pandanganmu itu." Dikeluarkan oleh Muslim, At-Turmudzi dan Abu Dawud
"Ada tiga orang yang api neraka tidak akan melihat kepada mata mereka; mata yang memelihara dijalan Allah, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang menahan dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah." (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Monday, October 24, 2016

Jangan Biasakan Buka Hape Pasangan

Jangan biasakan sembunyi-sembunyi buka hape pasangan, kecuali beliau mengijinkan.
Pertama, kita sebaiknya menghargai ruang privasi masing-masing dan memberikan ruang kepercayaan kepada pasangan.
Kedua, pesan yang diterima hanya yang bersangkutan yang mengerti konteks dan cerita utuhnya.
Ketiga, dalam setiap saatnya ada kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap diri. Sangat besar kemungkinan buka-buka hape orang bukan bagian dari kewajiban itu.
Ingat segala sesuatu akan dihisab!
Lebih baik fokus pada tugas kita masing-masing.

Sunday, September 18, 2016

Jangan Memaksakan Diri Jadi Pemimpin

Terkesan oleh keputusan yang diambil oleh dua orang kolega suami saya yang tergolong senior dalam profesinya untuk menanggalkan posisi sebagai manajer secara sukarela dan kembali berkecimpung dalam posisi non-manajerial. Padahal dua-duanya diakui kapasitasnya yang baik dalam pekerjaan, salah satunya bahkan ditawari ruangan khusus untuk mengerjakan fungsinya, sesuatu yang ia tolak dengan halus karena tidak ingin nampak beda dari rekan-rekannya yang lain.

Ini fenomena yang baru saya dengar, karena yang pernah saya saksikan adalah orang bisa sikut kiri-kanan, jilat sana-sini untuk bisa naik jabatan dan sangat suka menonjolkan diri agar terlihat beda dan dipandang lebih hebat dibanding yang lain.

Perlu kejujuran dan pengetahuan akan kejatidirian yang baik untuk bisa menakar apakah suatu pekerjaan atau posisi adalah hal yang pas (thayyib) bagi diri. Jadi pemimpin atau manajer sesungguhnya bukan ukuran kesuksesan, karena keberhasilan yang sesungguhnya adalah menemukan bidang dan posisi yang pas dengan natur jiwa kita. Yang hanya dengan itu kebahagiaan sejati akan dapat dirasakan.

Perihal mengidentifikasikan pekerjaan yang pas ini digambarkan oleh guru saya seperti mengidentifikasi jenis tunggangan apa yang sang jiwa kita kendarai. Apakah raga kita berjenis kuda pacu atau keledai? Kuda pacu tidak lebih baik dari keledai, karena dua-duanya adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan kebaikan masing-masing. Akan tetapi keledai yang memaksakan diri melatih ototnya ingin menjadi kuda pacu tidak akan bahagia sama halnya dengan kuda pacu yang emoh berlatih dan memilih mengangkut-angkut barang bagaikan keledai.

Nah, kembali ke contoh kedua orang di atas, mereka bisa jadi adalah contoh sedikit dari mereka yang memahami kadar dirinya. Tidak memaksakan diri menjadi pemimpin kalau bukan bidangnya.

Tuesday, August 30, 2016

Bagaimana Mungkin Muhammad Yang Lembut Mengajarkan Kekerasan?

Muhammad saw adalah orang yang sangat (kalau tidak paling) lembut yang pernah hidup.
Beliau yang selalu membalas kebaikan dengan keburukan dan memaafkan mereka yang pernah menyakitinya baik secara lisan atau fisik.
Beliau yang menganjurkan kalau sedang bertiga maka yang dua orang jangan berbisik-bisik di hadapan teman yang lain, karena untuk menjaga perasaannya.
Beliau yang mengajarkan kalau orang bersin maka doakan ia kebaikan, tidak cuek dan seolah bersikap itu bukan urusannya. Sebuah demonstrasi sebuah empati yang luar biasa.
Beliau yang memilih tidur di depan pintu rumah saat sang istri tidak jua bangun saat rumahnya diketuk di malam hari.
Sangat sulit bagi saya membayangkan pribadi yang luar biasa tinggi akhlaknya tidak hanya terhadap sesama tetapi kepada binatang dan alam semesta ini memerintahkan menyakiti seorang insan seperti yang diklaim oleh para pelaku kekerasan itu...

Saturday, August 20, 2016

Menangis Mendengar `La Isla Bonita`

Sore ini terdengar suara dari tetangga sebelah yang memutar lagu `La Isla Bonita´nya Madonna. Kenangan saya melayang pada salah satu fragmen dalam hidup saya sekitar 13 tahun yang lalu di kota Cilegon.
Pagi hari selepas malamnya mengikuti pengajian di rumah sang mursyid, kami meluangkan waktu membersihkan rumah beliau secara sukarela. Ada yang mencuci piring, ada yang menyapu musholla dan saya kebagian melap perabotan yang ada di ruang tamu. Aktivitas saya terhenti sejenak saat mengamati koleksi kaset bapak mursyid, salah satunya ada album Madonna `La Isla Bonita`. Wooow! Bapak suka juga denger Madonna, pikirku dalam hati.
Lalu beberapa detik kemudian bapak yang tengah berada di ruangan lain berkata dengan lantang `Ya, bapak juga kan pernah muda`. Duh aku lupa bahwa mursyidku itu pandangannya bisa menembus jauh apalagi hanya disekat oleh dinding. Tidak berhenti di situ, bapak mursyid mendekati saya yang saat itu salah tingkah dan mulai mengambil kaset Madonna tersebut untuk kemudian memutarnya sambil melayangkan senyuman khasnya kepada saya. Beliau tahu tampaknya kalau saya suka Madonna. Itulah sekeping ingatan akan mursyidku yang jenaka, baik hati dan selalu kuingat dengan senyumnya yang indah.
Sore ini, saat saya mendengar lagu itu tak terasa air mata mengalir deras di pipi dan saya pun menangis mengenang beliau. Untung hanya ada saya dan laptop di ruangan. Agak aneh soalnya jika ada yang melihat orang menangis sesenggukan mendengarkan `La Isla Bonita`
#al faatihah untuk beliau

Monday, July 18, 2016

Sahabat Yang Menginspirasi

Beberapa hari terakhir ini saya kedatangan tamu dari tanah air, bukan secara fisik akan tetapi kami melakukan diskusi yang intens melalui chat app. Mereka adalah sahabat-sahabat yang saya telah kenal lebih dari satu dekade lamanya. Mereka berdua sedang dilanda ujian yang berat dalam kehidupan yang menghimpit dada, menyakitkan dan sedemikian terasa berat hingga batin menjerit "kapankah kiranya pertolongan Allah itu tiba?"
Saya sangat bersyukur Allah hadirkan mereka dalam hidup saya, perjuangan mereka dan kekuatan pencarian mereka kepada Allah Ta'ala membuahkan inspirasi tersendiri. Bayangkan sudah babak belur, habis tenaga, pikiran, material sudah tak terhitung. Mereka masih bisa mengalunkan kata-kata dari lisannya: "Alhamdulillah, ini yang terbaik dari Allah Ta'ala."; "Kalau ini yang Allah inginkan maka akan saya lakoni."; "Bukankah takdir kita hari ini adalah takdir yang terbaik." " Semua indah pada saatnya." Semua adalah penggalan kata yang sering kita dengar, akan tetapi saat itu diucapkan dengan sungguh-sungguh oleh orang yang tengah meregang menahan beban ujian, maka kekuatan dari kata-kata itu sungguh merasuk ke dalam hati orang yang menyaksikannya.
Kiranya pagelaran yang tengah dilakoni oleh kedua sahabat saya ini makin mengokohkan keyakinan saya bahwa kekuatan manusia terletak dari kemampuannya untuk berserah diri, mengakui kefakiran dan kelemahan dirinya. Kekuatan yang berasal dari cahaya anugerah-Nya yang menembus ke relung kalbu yang tidak jarang harus didahului oleh sebuah episode penghancuran hijab hati yang menghalangi. Sehingga semakin kuat cahaya iman seseorang semakin rendah diri ia, tidak petantang-petenteng di hadapan manusia apalagi di hadapan Tuhannya yang senantiasa mengawasinya. Seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk...
Terima kasih sahabat atas kepercayaan dan secercah pengetahuan hidup yang dibagikan. Semoga Allah Ta'ala semakin meneguhkan pijakanmu dalam shiraathal mustaqiim.

Belajar Tenang dan Sabar Menunggu Pertolongan-Nya

Salah satu pesan guru saya yang selalu disimpan di hati adalah "Bersikaplah tenang menghadapi kondisi segila apapun dan jangan terburu-buru mengambil keputusan hingga Allah bukakan jalan keluarnya."
Kebetulan sekali siang ini saya diberi kesempatan mendemonstrasikan jurus di atas. Ceritanya saya dan suami mengikuti acara Sufi Summer School di Katwijk, sebuah acara tahunan yang diselenggarakan oleh Sufi Movement, bagian dari murid-murid almarhum Hazrat Inayat Khan, seorang sufi yang menyebarkan Islam ke Eropa tahun di 1910. Kami bergantian memasuki kelas di saat salah satu mengasuh anak-anak.
Hari ini pergantian "piket" dilaksanakan di pinggir pantai, depan restoran tempat anak-anak bisa puas bermain pasir pantai. Semburan matahari musim panas mulai terasa menyengat. Dan kami pun melaksanakan serah terima anak-anak dengan lancar kecuali satu hal, kunci kamar yang kami sewa di bread and breakfast lupa dialihkan! Saya baru menyadari hal itu setelah berada di depan pintu penginapan kami dengan kondisi Rumi tertidur di stroller dan Elia sudah hampir tertidur kelelahan di atas sepeda kayunya.
Mau telepon baterenya habis, mau menghubungi resepsionis sudah tutup kantornya jam 12 dan ini hari minggu dimana kebanyakan toko dan aktivitas tutup. Mau menyusul papanya anak-anak ke Soefi Temple yang memakan perjalanan sekitar 30 menit dengan berjalan kaki agak tidak mungkin karena Elia sudah hampir tertidur kelelahan.
Nah inilah saatnya mempraktikkan jurus yang diajari guru saya itu. "Tenang...tenang...." Ujar saya menenangkan diri sendiri. Kami kemudian mencari tempat duduk kecil di pinggir jalan tepat di sebelah pintu hotel. Pikiran saya menerawang menelaah sekian skenario, dari mulai memanjat ke kamar yang terletak di lantai dua, mencongkel jendela di bawah hingga mengaktivasi alarm kebakaran, okey yang terakhir rasanya terlalu ekstrim dan bisa-bisa saya dipenjara karena berbuat onar.
Saya pun mulai berdzikir "laa hawla wa laa quwaata illa billah" untuk mengendapkan ide-ide nekad yang bermunculan itu. Anak-anak mulai tertidur. Saya pun telah menyiapkan mental hingga dengan skenario menunggu papanya anak-anak datang membawa kunci di sore hari, which is about 4-5 hours from now...(sigh).
"Ok, let's make the best of it" bisik saya berikhtiar memompakan semangat kepada diri sendiri. Pandangan saya tertuju kepada wajah-wajah polos anak-anak yang tertidur lelap, kemudian menelusuri biru langit yang cerah hingga mengamati pola trotoir jalan yang unik yang belum pernah saya perhatikan sebelumnya. Ketika saya tengah terlarut dalam simfoni alam tiba-tiba kedua mata saya menangkap sesosok wajah yang saya kenal! Perempuan muda ramah yang bertugas di pagi hari melayani sarapan di ruang makan para penghuni penginapan, ia menghampiri dan menyapa. It doesn't take a genius untuk melihat kami tengah terdampar di pinggir jalan. Ia pun mengeluarkan kunci cadangannya sambil berkata "you are very lucky, i was supposed to go home hours ago but somehow something drove me here".
Ah memang betul, tenang saja dan bersabar hingga Dia bukakan jalan keluarnya Alhamdulillah

Michael Buble - BeeGees & Pharell Williams

Dalam enam tahun terakhir saya diperjalankan dalam episode "Michael Buble", "BeeGees" kemudian "Pharell Williams".
Pada awalnya saya merasa "im in control of my life" ‪#‎singing‬ i've got the world on a string.
Life was like a walk in a park, damai, rejeki lancar mengalir, terbilang cukup sukses versi pakem kebanyakan orang.
Hingga saya mulai dicemplungkan dalam dunia pernikahan, dua tahun pertama bagaikan naik roller coaster, komunikasi di antara kami belum lancar, tidak punya pekerjaan dan income sendiri, harus mengurus anak-anak tanpa pembantu dan jauh dari keluarga. That was an episode of annihilation for me. Dihancur leburkan ego saya. #singing how can you mend a broken heart.
Hari demi hari dan malam demi malam saya terus berjalan menerjang semua kelelahan lahir dan batin, menangkis semua kepenatan setelah mengurus anak dan rumah tangga seharian penuh, rasanya perjalanan suluk saya selama 12 tahun seakan dipersiapkan untuk menghadapi episode ini. Tidak jarang dalam sujud saya menitikkan air mata, lelah, sedih dan kebingungan seakan menyelubungi akal sehat saya dan membuat dada sesak. Ada rasa marah, sedih, putus asa bergejolak di dalam hati; namun saya juga masih merasakan ada kualitas cinta, pemaafan, kasih sayang dan asa yang berpijar di lubuk yang terdalam. Hingga akhirnya lisan saya berkata lirih "I give up Lord, i give up my life, my expectations, my dreams my all to You completely. Silakan lakukan apapun yang Engkau ingin lakukan terhadap hamba dan kehidupan hamba. Karena aku adalah milik-Mu semata, bukan milik mimpi dan keinginanku apalagi egoku.
Tak lama setelah itu saya mulai merasakan denyut kehidupan mulai mengalir di dalam jiwa. Disusul oleh pancaran kekuatan spiritual yang luar biasa yang berasal dari dalam diri. Kiranya Dia membalas ijab qabul saya saat itu juga. Ya, Dia yang berlari ketika hamba-Nya berjalan mendekat. Dia yang tidak pernah sekali pun memalingkan wajah bahkan saat si hamba tersibukkan oleh ilusinya sendiri.
Sejak malam itu dada saya dibuat menjadi lapang dalam menerima kehidupan. Tadinya saya sangat terobsesi dengan melakukan banyak hal baik dalam pencapaian duniawi atau spiritual. Sekarang saya mulai perlahan berjalan, less doing and start being, accepting all things as they are. Efeknya? Saya jadi ibu yang lebih sabar dan menghadapkan diri lebih baik kepada anak-anak. Suami saya bilang komunikasi kita menjadi lebih baik dan pernikahan kita comes to another level. Inspirasi datang mengalir dan direstui oleh mursyid sebagai amal sholeh yang saya sangat syukuri.
Jadi siapapun yang sedang dirundung dalam kesedihan, kesulitan hidup, kegalauan hati yang kadang membuat kita berteri "kapan kiranya pertolongan Allah tiba?" Just hang in there. Semua akan reda jika ia telah memenuhi kadarnya dengan pertolongan Allah Ta'ala. This too shall pass.
Kita nikmati dan hayati setiap tamu Tuhan yang dihadirkan, baik secara fisik atau yang halus di dalam hati. #singing "because i'm happy..."
- Disampaikan pada Sufi Summer School 2016, Katwijk. The Netherlands.

Monday, July 11, 2016

Biarkan Anak Kita Menjadi Dirinya Sendiri

Tekanan sosial itu sudah mulai dirasakan sejak sang janin berada di dalam kandungan. Harapan akan berat badan tertentu, jenis kelamin tertentu sudah mulai dikalungkan di pundaknya. Pun ketika sang bayi lahir seribu satu pertanyaan sudah menantinya seiring dengan pertumbuhan raganya: "sudah bisa merangkak belum?" "sudah bisa bicara apa?". Kemudian menginjak masa sekolah "Sekolah dimana?" "Berapa nilai ujiannya?" Memasuki perguruan tinggi ditanya "Kuliah dimana? Jurusan apa?" Saat terjun ke masyarakat pertanyaan yang sering dilontarkan "Kerja dimana? Bagian apa? Posisi apa? (kalau perlu) gajinya berapa?" Dan tak lama kemudian here comes the one million dollar question, "sudah punya pasangan? sudah menikah?" Dan tentu itu tidak berhenti di sana: "kapan punya momongan" and the cycle continues.

Suka atau tidak suka kita berada dalam samudera besar bernama dunia yang setiap tetes airnya memiliki menekan setiap pori-pori tubuh kita. Demikianlah jiwa kita yang terlahir fitrah bertumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan untaian harapan-harapan dari orang sekitar: dari orang tua, saudara, masyarakat dan tak terlepas harapan diri yang secara tidak sadar terbawa pola di lingkungan mana ia dibesarkan.

Masyarakat cenderung membuat kotak-kotak, laki-perempuan; pandai-bodoh atau kurang pandai; cantik-kurang cantik dst yang sebenarnya mekanisme otomatis trilyunan jalinan sel saraf yang membentuk sistem saraf pusat manusia. Akan tetapi ketika perbedaan itu disusupi dengan muatan tertentu: seolah-olah jika anak perempuan lebih kurang mantap dibanding laki-laki; sepertinya kalau kurang cantik menjadi kurang keren; seakan-akan kalau kurang pintar dalam akademik maka jadi orang yang gagal. Nah di situ letak bahaya penghakiman massal yang terselubung, it's almost like social bullying.

So what kalau anak kita terlambat bicara, tidak bisa bicara sefasih anak tetangga, nilainya tidak sebagus anak si anu, and so on and so forth. Tentu kewajiban orang tua untuk membimbing dan memberikan pendidikan terbaik bagi anak. Akan orang tua harus menyadari bahwa setiap anak terlahir dengan bakat langit masing-masing, suatu kemampuan yang khas yang terhubung kepada Allah Ta'ala, inilah salah satu aspek fitrah insan.

Saya percaya setiap anak, and i mean it, SETIAP ANAK adalah jenius di bidangnya masing-masing. Jadi pada hakikatnya tidak ada anak yang bodoh, hanya belum menemukan bakat langitnya saja. Masalahnya dunia pendidikan saat ini menyamaratakan sistem penilaian, seperti karikatur di bawah dimana ujiannya disamaratakan. Itu seperti halnya menguji semua binatang dalam hutan berlomba memanjat pohon yang pasti akan dimenangkan oleh golongan kera. Lalu apakah sang gajah, sang burung, sang ikan makhluk yang bodoh? Ndak sama sekali, mereka punya keahliannya masing-masing yang justru tidak dimiliki sang kera.

Begitu pun anak kita, sejatinya ada yang jenius ototnya sehingga jadi olahragawan yang unggul, ada yang tajam rasa musiknya sehingga bisa jadi pemain musik yang menginspirasi atau ada yang pintar berbicara sehingga mahir di dunia marketing dan komunikasi. Salah satu aspek keberhasilan orang tua adalah ketika bisa membantu anak mengidentifikasi bakat langitnya dengan menjadi pengamat yang cermat dan kemudian memberikan stimulus yang tepat yang akan membuncahkan potensi alamnya.

Akhir kata, anak kita bukan milik kita, ia milik yang menciptakannya dan ia memiliki dunianya sendiri. Biarkan dia menjadi dirinya apa adanya, bukan dipaksakan bertumbuh dalam bayang-bayang kita atau lingkungannya demi hanya mengejar prestise di mata orang banyak dengan mengorbankan kebahagiaannya yang hakiki.

Friday, July 8, 2016

EMOTIONAL MARKETING: Jurus jitu menjual produk di Indonesia.

Waktu saya masih bekerja di salah satu distributor alat kesehatan dan obat salah seorang senior di bidang marketing yang telah malang melintang lebih dari tiga dekade menelorkan produk dan membuat sukses produk suplemen berseloroh sungguh-sungguh "Jual obat bebas atau suplemen di Indonesia itu gampang, sentuh emosi masyarakat maka bisa dalam hitungan bulan omset menggelontor milyaran rupiah ke saku produsen. Natur orang Indonesia itu gampang percayaan dan suka ngerumpi maka produk yang biasa saja bisa dikemas dengan apik bisa booming, just move their emotion!"
Saya perhatikan di sekeliling saya kiranya demikian yang kerap terjadi, betapa mudah orang merogoh isi dompetnya untuk membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan demi memuaskan emosinya sesaat. Maka kalau kita lihat secara berkala akan tampil trend penjualan produk tertentu, produk yang makin sering mendapat sorotan di media massa biasanya akan makin gencar diserbu pembeli. Nah, laporan dari "Data Monitor Consumer Survey"yang dirilis tahun 2013 menunjukkan bahwa konsumen Indonesia paling nda ngerti kegunaan dan teknologi suatu produk bahkan dibanding negara tetangga sebelah Malaysia dengan beda persentase yang cukup tajam.
Kondisi yang menjanjikan untuk para marketer 

Thursday, June 30, 2016

Semua Profesi Adalah Mulia

Setiap kali ada petugas pengumpul sampah saya membawa anak-anak saya melihat proses bagaimana bak-bak sampah itu dimasukkan dengan praktis ke dalam truk dengan bantuan mesin dan sedikit tenaga manusia untuk mendorong bak sampah ke dekat mesin yang menempel di belakang truk sampah.
Elia yang selalu tertarik melihat proses yang berbau mekanik senantiasa loncat kegirangan melihat proses tersebut sedangkan adiknya di belakang melongo melihat tingkah polah kakaknya. Kemudian setelah para petugas sampah itu hendak pergi anak-anak saya ajarkan untuk berucap terima kasih yang selalu disambut dengan senyum mengembang dari para petugas.
Anak-anak harus diajari bahwa setiap manusia mempunyai fungsi dalam pemakmuran bumi ini, ada yang memang dimudahkan membersihkan jalanan, ada yang bertanam tumbuhan, ada yang berternak, ada yang jago memasak, ada yang pandai mengajar, ada yang otaknya encer untuk membuat formula kebijakan dalam masyarakat. Apapun itu setiap profesi adalah mulia sepanjang dilakukan dengan ketaqwaan. Artinya, lebih baik jadi tukang sampah tapi menjalankan dengan hati ikhlas dan dengan menyertakan Dia daripada duduk di posisi tinggi dengan bergelimang kemewahan dan dipandang terpandang oleh kebanyakan manusia akan tetapi ditunggangi oleh nafsu syahwat semata.
Anak-anak harus memahami konsep sebuah kesuksesan bukan diukur dari kacamata kebanyakan manusia ataupun decak kagum mereka, tapi sejauh mana hal itu bisa membawa mereka mendekat hatinya kepada Sang Pencipta. Memang tidak mudah karena ibarat melawan arus kebanyakan orang, dibutuhkan keberanian luar biasa untuk sekadar memulainya.
Laa hawla wa laa quwwata illaa billah...

Thursday, June 23, 2016

Chanson De L'adieu

Pagi ini selepas mengantar si sulung ke sekolah begitu tiba di rumah terdengar alunan nada lagu "chanson de l'adieu'-nya mas Chopin. Rumi yang punya taste musik langsung mengajak mamanya dansa. Lalu saya angkat dia dan mengayunkan tubuh bersama hanyut dalam ayunan denting piano yang syahdu. Wajah kami berdekatan sangat bahagia, saya bisa melihat pancaran kebahagiaan di mata dan dari lengkung senyumnya yang menawan. Betapa saya sangat menikmati saat-saat akrab seperti ini. Suatu saat nanti kalau Rumi sudah besar, please remember me this way...our happy moments.

Masih terhanyut dalam ketukan irama "chanson de l'adieu'
Teringat masa-masa indah bersama almarhum ayah, fragmen demi fragmen terlintas dalam benak pikiran. Tak terasa senyum saya makin mengembang dan bulir-bulir air mata menetes di pipi.
Rumi yang memerhatikan wajah saya langsung bereaksi, "Mama sedih?"
"Ngga sayang, mama ngga sedih, mama bahagia...."

Saya bahagia bisa memiliki ayah yang luar biasa, pribadi yang menyenangkan, lucu dan selalu memberi dukungan serta semangat pada putrinya.
Saya bahagia memiliki ayah yang begitu terlibat dalam setiap kegiatan anak-anaknya,
Beliau selalu ada dalam setiap 'milestone' perjalanan hidup : saat mengantar hari pertama ke taman kanak-kanak, mengambil raport, mengajar berenang, mengajar menunggang kuda, mengajar mengendarai mobil, mengajarkan berhitung, hari pertama SMP, SMA, kuliah, bekerja di klinik, job interview di Jakarta, saat membeli rumah di Purwakarta, ah masih banyak lagi.
He's always there....hanya satu keinginannya yang tidak tercapai yaitu melihat putri satu-satunya menikah. Beliau sudah keburu berpulang ke hadirat Ilahi. Betapa saya sangat mencintai ayah saya. Namun saya yakin cinta Allah lebih besar untuknya...

Al fatihah untukmu ayahku sayang, semoga Allah melapangkan dan melimpahkan rahmat-Nya di alam barzakhmu

Sunday, June 5, 2016

Pecinta Itu Tak Masuk Akal!

Para pecinta itu tindakannya kerap mencengangkan. Tidak masuk akal!
Hanya demi berjumpa dengan idaman hatinya ia rela menggelontorkan berapapun dan menerjang jarak sejauh apapun. Tidak masuk akal!
Demi mendengarkan pujaan hatinya berkata-kata ia rela menahan kantuk dan menghabiskan malam demi malam membayangkan saat-saat perjumpaan dengan sang kekasih. Tidak masuk akal!
Demi meraup seutas senyum sang pujaan hati ia rela menahan segala keinginan dan mendahulukan keinginan sang kekasih. Tidak masuk akal!
Tapi tunggu dulu, ada lagi mereka yang berbuat lebih tidak masuk akal. Karena obyek cinta mereka sesuatu yang tidak tertangkap oleh mata jasadiyah.
Mereka rela bangun di malam hari saat kebanyakan orang terbuai dalam tidur lelapnya, katanya "Demi berjumpa dengan Sang Kekasih" sambil menggelar sajadahnya. Tidak masuk akal!
Mereka menahan lapar, haus dan tarikan syahwat dan hawa nafsu sebulan penuh di bulan Ramadhan, katanya demi "mendapatkan ridho Sang Kekasih". Tidak masuk akal!
Mereka rela menggelontorkan harta berbagi dengan sesama bahkan tak jarang menyisakan ala kadarnya untuk diri dan keluarganya, ujar mereka "semoga Allah senang". Lagi-lagi tidak masuk akal!
Sepertinya jalan Muhammad ini adalah jalan para pecinta, karena syari'atnya akan menjadi hambar jika dibela semata-mata oleh logika akal pikiran trilyunan saraf otak manusia yang terbatas ini. Seperti halnya bagaimana menjelaskan aspek keadilan di balik hukum waris, poligami, pelarangan makan babi dan alkohol, juga berbagai sunnah yang batiniyah yang jumlahnya tak terkira itu. Ya tentu kita selalu bisa mengajukan argumen logis, akan tetapi seribu satu logika hanya akan memancing perdebatan dimensi horisontal yang tak berkesudahan.
Seperti halnya para pecinta yang merindu sang kekasih hati, cukup kiranya alasan meniru jejak langkah baginda Rasulullah semata-mata karena ingin menyenangkan Tuhannya, titik. And i think it's more than enough...

Amsterdam, 1 Ramadhan 1437 H, 6 Juni 2016
Selepas shubuh...

Friday, June 3, 2016

Di salah satu sesi pengajian ibu-ibu Amsterdam kemarin ada pertanyaan mengenai “Mengapa perempuan diwajibkan menutup auratnya sedemikian ketat melebihi kaum laki-laki?” diskusi pun berlangsung hangat ada yang membahas dari aspek fisik, logis dan etis. Memang bagi kami yang saat ini tinggal di negara dengan mayoritas populasi non Muslim pertanyaan serupa akan selalu muncul. Misalnya berkaitan dengan memasuki Ramadhan, timbul lagi pertanyaan “Mengapa perempuan yang haid tidak boleh puasa?” dst. Perlu kesabaran khusus untuk melayani satu per satu pertanyaan yang bisa jadi terkesan “ngeyel”itu ;)

Berdiskusi tentang gender dalam parameter Islam itu tidak sesimpel bicara tentang dua makhluk yang berbeda jenis kelaminnya, pembicaraan tentang gender tidak semata-mata pula bicara masalah aspek  hukum yang sederhana, pendekatan sosiologis, ataupun berbagai keberatan yang banyak dilontarkan oleh masyarakat Barat. Pembahasan mengenai gender sepatutnya melihat lebih dalam dalam ranah tradisi kosmologis intelektual dalam Islam yang serius membedah aspek maskulin-feminin dalam cermin yang lebih besar seperti makrokosmos (al alam al kabir) dan mikrokosmos (al alam al saghir).

Dengan kata lain berbicara tentang gender juga sepatutnya menyentuh hal-hal mendasar dalam tradisi Islam seperti kajian tentang : Siapa itu manusia? Apa entitas yang membentuk manusia? Setelah hal dasar itu ditelaah maka kita bisa lanjut dengan aspek fisik bahwa ada dua macam makhluk, perempuan dan laki-laki kemudian apa hubunganya satu sama lain, apa fungsi masing-masing. Untuk pembahasan lebih jauh bisa dibaca dari buku apik yang ditulis oleh Sachiko Murata berjudul The Tao of Islam.

Kalau kita melihat Al Qur’an maka pembahasan mengenai laki-laki dan perempuan termuat dalam salah satu ayat “Dan kami menciptakan segala sesuatu berpasangan, laki-laki dan perempuan”(QS 53:45). Tidak sedikit ayat di dalam Al Qur’an yang berbicara mengenai konsep keberpasangan ini. Termasuk pasangan pena dan kitab, langit dan bumi dst. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keberpasangan merupakan hal yang fundamental dalam prinsip penciptaan.

Kalau kita menelaah Al Qur’an dan hadits dengan dalam maka tampak bahwa pandangan dasar Islam terhadap aspek perempuan dan laki-laki menampilkan sebuah fungsi komplementer, yang satu melengkapi lainnya. Yang satu tidak sempurna tanpa kehadiran lainnya. Dengan demikian tidak ada hierarki, semua sesederhana menjalankan peran masing-masing yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Untuk menambah khazanah lain tentang “keperempuanan”mari kita lihat bahwa kata “nafs” atau jiwa dalam Bahasa Arab adalah bergender perempuan. Adapun jiwa adalah entitas manusia yang utama yang kerap kali tidak mendapatkan ruangan cukup dalam berbagai diskursus dalam kajian agama Islam, melainkan hanya bersifat superfisial.

Kemudian menarik untuk melihat bahwa kata “rahim” mempunyai akar kata yang sama dengan “rahman”. Pada kenyataannya rahim sang ibu adalah tempat dimana Tuhan memancarkan kasih sayangnya dengan pertumbuhan yang menakjubkan dari anak manusia.

Lalu Allah Ta’ala dikatakan memiliki sifat “Jalal” (kuat) sifat yang banyak terpancar di kaum laki-laki dan juga sifat “Jamal”(pengasih, penuh kelembutan) sifat yang banyak terpancar pada kaum perempuan.

Maka kita bisa lihat sekilas bahwa bicara tentang gender perempuan tidak hanya sebatas “perempuan”sebagai makhluk berjenis seksual yang berbeda dengan laki-laki saja.
Sebagai penutup, dalam sejarah Islam sebenarnya banyak cerita-cerita kepahlawanan yang sangat menginspirasi yang dilakoni oleh perempuan, hal yang jarang diungkap terutama oleh mereka yang hanya melihat aspek (seolah-olah) perempuan tidak mendapatkan perlakuan yang adil dalam Islam. 

Orang yang pertama syahid dalam Islam adalah seorang perempuan bernama Sumaya Zawgat Yasir. Sumaya dihukum dengan keji - saya tidak tega menceritakan dengan detil – di periode awal perkembangan Islam, beliau gugur sebagai syuhada dalam mempertahankan keimanannya.
Rasulullah SAW memuji Asma binti Umais yang berkelana jauh melintas laut dari Mekkah ke Abyssinia untuk menghindari pembantaian kaum Muslim.

Perempuan juga terjun ke medan perang laiknya laki-laki. Adalah seorang ksatria perempuan bernama Ummu Imara yang ikut dalam Perang Uhud. Mengenai beliau Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata ‘pada saat perang Uhud, tidaklah saya berpaling ke kiri atau ke kanan tanpa melihat Ummu Imara berperang melindungi aku.”[]

(Referensi: Pendahuluan yang ditulis oleh Dr. Zeenat Shaukat Ali dalam buku “Islam and Gender Justice: Questions at the Interface”karya V.A. Mohamad Ashrof)


Thursday, June 2, 2016

Just Pray And Then Wait

Bercermin dari perjalanan 25 tahun usia baligh saya, kalau ditilik-tilik setiap titik perubahan dalam hidup saya datang begitu saja bagaikan tamu Tuhan. Klinik tempat saya mempraktikkan ilmu kedokteran pertama kali, perusahaan farmasi tempat saya belajar menjadi seorang Training Manager, rumah sakit tempat saya didaulat menjadi salah satu direksinya, perusahaan multinasional tempat saya menimba ilmu menjadi seorang Marketing Manager dan jodoh yang kemudian menarik saya ke sisi lain dari bola dunia. Semuanya datang lewat pesan sms, lewat telepon, atau lewat email begitu saja, tanpa harus saya cari otak-atik gathuk. Justru proyek atau rencana yang saya susun lewat modus rekayasa atau otak-atik gathuk biasanya gagal, tidak bertahan lama atau tidak memberikan inspirasi yang dalam.

Benarlah kiranya saat Guru saya berpesan, kalau punya masalah dalam hidup apapun itu yang PERTAMA kali harus dilakukan adalah gelar sajadah dan bersujud memohoh kepada-Nya lakukan itu berulang kali hingga Ia menggerakkan tangan-Nya dan memberikan solusi yang jitu. Kalau belum apa-apa kita sudah panik minta tolong ini-itu, ngedukun sana-sini ya Tuhan akan hilang dan kita kehilangan kesempatan untuk mengenal-Nya melalui perbuatan-perbuatan Dia yang sangat indah, luar biasa dan kerap tak terbayangkan![]

Monday, May 30, 2016

Al Qur'an dan Surat Cinta

Beberapa hari setelah almarhum ayah saya dikebumikan saya menemukan buku catatan harian beliau yang tersimpan rapi di atas meja kerjanya. Air mata tak terasa mengalir saat saya membuka lembar demi lembar yang tertera tulisan beliau yang sangat rapi, saya usap tulisan itu untuk merasakan kedekatan dengan ayah saya yang telah melanjutkan perjalanan ke alam lain. Cinta saya untuk beliau demikian besar sehingga hati bergetar hanya dengan melihat tulisannya.

Demikianlah reaksi sang pecinta terhadap apapun yang berkaitan dengan mereka yang dicintainya. Maka jangan heran bila seseorang masih menyimpan surat cinta kekasihnya dan menyimpannya dalam tempat yang indah bahkan dibubuhi wewangian dan setiap kali ia akan membacanya tak lupa dibubuhinya surat itu dengan sekecup ciuman mesra.

Melalui proses mencintai seseorang itulah kita sebenarnya belajar untuk mencintai Dia yang lebih layak untuk dicintai dan diberikan cinta dan hati kita seratus persen. Saya baru bisa memahami mengapa Guru saya suatu kali pernah berkata "Kalau terjadi kebakaran di rumah saya, maka benda yang pertama kali saya selamatkan adalah Al Qur'an."Saat itu saya yang merupakan murid tengil hanya bisa tidak setuju dalam hati karena pikir saya bukankah kita bisa membeli Al Qur'an yang baru yang dijual banyak di toko buku? Yah itulah saya yang masih jauh dari mencintai Al Qur'an apalah lagi mencintai Allah. Belum memahami dan merasakan kecintaan yang demikian besar dari Guru saya kepada-Nya sehingga firman-Nya yang terukir segar dan tersusun rapih dalam mushaf merupakan harta berharga yang merupakan jejak kata-kata Sang Kekasih.[]

Thursday, May 12, 2016

Perempuan Pilar Keluarga

Rasulullah SAW bersabda:
“Kiranya seseorang di antaramu menjadikan hati yang bersyukur, lidah yang berdzikir dan istri yang sholihah yang menolong pada akhiratnya.”
Maka lihatlah bagaimana beliau menghimpun antara istri, dzikir dan bersyukur!
(Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin)

Wahai para perempuan, betapa mulianya Anda disandingkan dengan kebersyukuran dan hati yang tersambung kepada Allah Ta’ala dalam dzikir.  
Namun untuk memenuhi kriteria sebagai perempuan sholihah sungguh memerlukan perjuangan yang tiada henti, keberanian dan kekuatan hati untuk tidak menyerah dan tidak mudah mengeluh dengan apa yang Allah Ta’ala tetapkan kepada diri masing-masing.

Perempuan yang sholih adalah ia yang menolong suaminya dalam urusan rumah tangga juga akhiratnya. Sang perempuan yang mencurahkan semua potensi kasih sayangnya untuk suami dan anak-anaknya sehingga setiap anggota rumah tangga merasakan kesejukan surgawi di rumahnya masing-masing. Sang perempuan yang bekerja keras me-manage- semua urusan yang ia pegang, mulai dari urusan dapur, keperluan anak, kebutuhan suami,kepentingan rumah tangga dan juga beragam urusan dirinya sendiri. Namun ia tidak tenggelam dalam kesibukan dunia semata. Di sela-sela kesibukannya ia mencoba meluangkan waktu untuk membentangkan sajadah dan meletakkan keningnya di atas tanah rapat-rapat sebagai ungkapan kebersyukuran dan penyerahdirian kepada Rabb-nya yang memegang kendali setiap aspek kehidupannya. Di antara padatnya aktivitas ia berusaha meraih Al Qur’an untuk ia baca, pelajari dan ajarkan kepada sang buah hati. Di sela-sela percakapannya dengan keluarga diupayakan ada nuansa untuk mengingatkan bahwa hidup dunia hanya sekadar lewat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan selanjutnya yang lebih lama.

Wahai perempuan, sungguh Anda adalah pilar bagi suami dan anak-anakmu. Maka berdiri tegaklah dan tegar dalam menjalani takdir-Nya. Jangan sekadar masalah keuangan dan dunia merusak harmoni keluarga yang karenanya sang pilar menjadi goyah. Apabila ada rasa kesal atau uneg-uneg yang belum terpecahkan kepada suami mohonkan kepada Allah Ta’ala yang menciptakan semua hal itu, kemudian bicarakan baik-baik dengan semangat memperbaiki dan penuh cinta kepada sang suami. Baik buruk suami Anda adalah cerminan Anda sendiri. Karena tidaklah semata-mata kebetulan kalian berdua dipersatukan oleh takdir-Nya dalam sebuah bahtera rumah tangga.

“Tapi itu tidak mudah!” sang perempuan menyahut. Memang tidak ada perjuangan yang mudah, apa kalian hendak surga akan tetapi tidak mau diuji?

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS. Al-Baqarah [2] : 214)


Benar, dunia adalah sebuah panggung ujian yang dahsyat dan sangat canggih. Sedemikian rupa sehingga kita kerap tidak sadar bahwa perilaku kita setiap saatnya disaksikan oleh banyak saksi mata, para leluhur kita, para nabi dan rasul juga anak-anak dan kita sendiri akan menyaksikan setiap detik tayangan kehidupan masing-masing. Maka berikanlah pertunjukan yang terbaik! 

Tuesday, May 10, 2016

Patience is the key to joy

"Patience is the key to joy"
- Mawlana Jalaluddin Rumi

Apabila Allah telah berkehendak menempatkan sang hamba pada derajat yang tinggi akan tetapi tidak dapat ia capai melalui aktivitas spiritual tertentu, maka Ia akan menguji sang hamba dengan pasangannya, keluarga terdekatnya atau ia harus menanggung kesabaran selama kurun waktu tertentu yang dengan semua itu derajat sang hamba menjadi mulia di hadapan-Nya.

Semua masalah dan kesulitan hidup yang telah, sedang dan akan kita hadapi bukan hadir tanpa sebab. Bukan pula karena salah si fulan. Semua dalam kendali kokoh Sang Pencipta yang tidak pernah dan tidak akan berbuat kesalahan bahkan satu helai rambut pun. Setiap yang menimpa hamba-Nya sudah ditakar dengan tepat dan presisi, dari hal yang tampak nyata dan dahsyat, kejadian sehari-hari yang terlihat begitu-begitu saja, hingga segala 'tamu Tuhan' yang dihadirkan dalam hati dan pikiran yang kasat mata. Hamba yang sejati tidak terhenti pandangannya pada fenomena semata, akan tetapi hatinya selalu menggapai-gapai 'tangan-Nya' yang menggerakkan setiap hal.

Berhenti menyalahkan orang lain. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Diamlah sesaat dan lihatlah dari mana semua itu sebenarnya berasal. Dan hanya mengingat-Nya hati menjadi tenang...


Monday, May 2, 2016

Bagaimana Mendengar Kata Hati

"Dengarkan kata hati..." demikian orang tua saya selalu berpesan manakala saya harus menjatuhkan pilihan. Mulai dari pemilihan jurusan di perguruan tinggi, memilih tempat bekerja hingga menentukan menerima pinangan yang mana wink emoticon
Tampaknya arahan dari orang tua untuk mengikuti kata hati nurani adalah petuah yang bijak, demikian pun yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam katakan kepada Wabishoh - salah seorang sahabat “Wahai Wabishoh, bertanyalah kepada hatimu (qalb), bertanyalah kepada jiwamu- Nabi katakan sebanyak tiga kali-. Kebaikan adalah apa yang hati merasa tenteram melakukannya. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan” (HR Ahmad no 18035)
Namun tidak mudah untuk menangkap apa yang hati nurani kita katakan, seringkali dalam upaya mendengarkan hati kita sebenarnya malah mendengarkan suara hawa nafsu, syahwat, dan pikiran yang kerap kali lebih lantang. Maka untuk benar-benar mendengarkan bisikan Tuhan yang ditiupkan melalui hati diperlukan keberanian untuk melepaskan diri dari semua suara dalam diri, dari semua angan-angan masa depan, dari ketakutan masa kini, dari kebencian masa lalu, dari bermacam paradigma, dari kungkungan "apa kata orang", karena bertanya kepada hati bukan perkara mengendalikan kehidupan justru kita harus berani melepas semua jubah pemikiran, perisai rencana dan sekian banyak pertahanan pribadi untuk berserah diri kepada bisikan agung yang Sang Maha Kuasa hembuskan ke dalam hati. Tampaknya untuk benar-benar bertanya ke dalam hati kita harus siap untuk mati dari segala kendali diri sendiri...

Sorrow is better than laughter

Sorrow is better than laughter, for by sadness of face the heart is made glad.
- Ecclesiastes 7:3
Terkadang Allah menempatkan kita dalam kondisi yang membuat hati kita sedih, terluka, kecewa, kesal atau marah. Jalan-jalannya bisa dari mana saja, pasangan yang membuat kecewa, orang tua atau mertua yang bisa jadi mengesalkan, anak yang bertingkah, rekan bisnis yang menipu, teman kantor yang menusuk dari belakang, pedagang yang curang, mbak-mbak di toko yang judes, kemacetan yang seolah tiada akhir, harga-harga melambung dan sekian banyak pintu keseharian yang bisa menggetarkan cermin hati kita setiap saat.
It's okay to feel sad, itu bagian dari menjadi seorang manusia. Rasa sedih itu harus diakui agar kita menjadi lebih mudah menjalaninya karena kita akan lebih ringan melangkah dengan menerima episode kesedihan itu. Bersedih bukan berarti menderita itu dua hal yang berbeda! Kita sangat bisa bersedih tapi menikmati hari-hari kita dengan hati yang menunduk dan berserah diri kepada-Nya. Dengan kesadaran bahwa setiap perasaan yang datang adalah tamu agung yang Dia kirim ke hati kita yang dengannya hati ini dibuat menjadi lebih bersih dan sehat. Jadi jangan takut dengan kesedihan, ia tak dapat dihindari. Berhenti pula meronta-ronta dan mencari-cari cara yang tidak alami dan tidak sesuai fitrah untuk sekadar mengobati kesedihan. Karena obat yang paling mujarab untuk hidup dengan kesedihan hanya datang dari resep Sang Pengirim kesedihan itu sendiri. Maka mintalah pada-Nya dengan hati yang bersujud...

Tuesday, April 19, 2016

Rejeki Tak Terduga

Rejeki Tak Terduga 1

Sang ibu tua menghitung kembali lembar demi lembar uang yang tergulung rapih di dompetnya yang lusuh "lima puluh empat ribu rupiah..." katanya dengan lirih. Tanggal tua saatnya mengetatkan ikat pinggang katanya dalam hati sambil menelan ludah. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, adik lelakinya berkunjung tiba-tiba dengan muka kusam dan pakaian penuh debu jalanan, ia berjalan kaki selama hampir satu jam demi menghemat ongkos. "Aku perlu pinjaman uang untuk membeli makanan, proyekku terlambat pencairan dananya. Lima puluh ribu saja..."
Sang ibu tua tersenyum, kok pas sekali jumlah yang ia butuhkan. Nuraninya tidak tega untuk menolak. Mengenai uang belanja besok yah kita lihat nanti saja, batinnya. Maka gulungan uang lima puluh ribu pun berpindah tangan. Menjelang sore hari, terdengar suara ketukan pintu lagi, kali ini tetangga di yang tinggal di belakang rumah, langganan yang memesan kue khas bikinan sang ibu tua untuk acara pengajian besok. "Ini bu, saya simpan DP Rp.150.000 dulu ya..."

Rejeki Tak Terduga 2

Sudah lama sang anak lelaki itu menabung untuk mengirim ibundanya ke tanah suci Mekkah, tetapi setiap kali dana sedikit terkumpul, ada saja orang yang datang dan minta bantuan tentang anaknya yang sakit, angkotnya yang mogok, ibunya yang kecelakaan sehingga dana untuk menabung itu akhirnya tidak pernah genap terkumpul. Sang anak lelaki tetap giat bekerja dan memiliki keyakinan suatu saat ia bisa memberangkatkan ibunda tercinta mewujudkan impiannya, menunaikan shalat langsung di depan Ka'bah. Hingga pada saat pengumuman bonus akhir tahun di perusahaannya secara tidak terduga ia meraih penghargaan khusus dan memenangkan hadiah umrah...

Rejeki Tak Terduga 3

Terdengar berita bahwa orang tuanya yang ada di tanah seberang meninggal dunia. Sebagai anak yang berbakti dia tentu harus pulang saat itu juga. Tapi kendalanya biaya tidak ada. Dia mencoba tidak panik dengan minta tolong sana-sini, alih-alih ia menggelar sajadah dan bersimpuh semalaman memohon kepada Yang Maha Memberi Rezeki. Ia punya prinsip untuk mengadu pertama kali kepada Sang Pencipta untuk kemudian mencoba mencari solusi dari manusia keesokan harinya. Menjelang pagi tiba-tiba sahabat dekatnya muncul di depan pintu dengan setengah terburu-buru kelihatannya dan tak sabar untuk menanyakan sesuatu, "Kak, tadi malam saya bermimpi untuk memberikan kakak uang sejumlah X rupiah." Jumlah yang persis dibutuhkan untuk membeli tiket pesawat pulang melayat orang tua tercinta...

Semua kisah di atas adalah kisah nyata, setiap orang yang mengalaminya saya kenal betul dan masih hidup saat ini untuk diminta verifikasi. Hidup terlalu luas untuk tenggelam dalam kepanikan sekadar masalah rezeki. Kemudian Tuhan Sang Pemberi Rezeki terlalu canggih untuk dibaca rencana menurunkan rezekinya jika hanya melihat komponen gaji bulanan, tabungan, deposito, pinjaman teman dan hal-hal yang bersifat horizontal lainnya. Tidak mudah memang untuk lebih percaya kepada rezeki yang di tangan Tuhan dibanding rezeki yang sudah bisa kita hitung, butuh lapisan iman yang tebal dan kepercayaan yang penuh kepada-Nya.

Thursday, April 14, 2016

Cara Mendapatkan Ketenangan

Ketenangan yang engkau cari bukan terletak pada berapa banyak harta yang kau kumpulkan dan dengannya kau bentengi dirimu sendiri dari ketakutan akan kemiskinan yang merayap dalam hatimu yang gelap.
Ketenangan yang kau cari tidak akan kau temui pada segenap obyek kesenangan yang kau kejar sedemikian rupa hingga tak lagi dapat kau pisahkan antara sensasi kesenangan sesaat dan kebahagiaan hakiki karena hatimu demikian berkarat dan tak mampu memantulkan cahaya-Nya.
Ketenangan yang kau cari pun tak akan dapat kau genggam dengan melemparkan sauh ke obyek-obyek kecintaan selain Aku. Karena apapun selain Aku akan musnah pada saatnya.
Maka carilah ketenangan dengan mendekatkan hatimu pada-Ku, kapan pun, dimana pun, Aku selalu ada bersamamu. Karena dengan mengingat-Ku hati menjadi tenang...
(QS Ar Ra'du:28)
‪#‎inspirasi‬ pagi pasca riyadhoh, Amsterdam 6.41 pagi sambil menunggui anak-anakku menjelang harinya

Thursday, April 7, 2016

Mengapa Indonesia Merdeka Tanggal 17 Agustus

Rumah ini dan sekitarnya gelap. Jauh di dalam di ruang duduk tampak satu lampu saja yang menyala. Di dalam kegelapan itu sekilas aku melihat sesuatu yang berkilat. Kelihatannya seperti sepotong baja. Aku menatapnya lagi dan melihat sebilah pisau. Sebilah pisau panjang yang disisipkan pada ikat pinggang salah seorang pemuda. Kemudian aku perhatikan, di saku masing-masing pemuda itu ada sesuatu yang menonjol. Para tamuku bersenjata lengkap dengan bedil, pisau, bahkan golok.

Di balik pintu yang menuju beranda aku dapat melihat sekilas bayangan Fatmawati, Sayuti Melik dan Trimurti. Mereka, juga, pasti melihat apa yang kulihat karena ketiganya dicekam ketakutan.
Meski terjadi perdebatan yang panas dan sengit, tak seorang pun yang memukul meja atau berteriak-teriak. Suara kami dapat dikendalikan. Di sekeliling rumah ada kebun terbuka dan kami berbicara sedemikian rupa, sehingga tak terdengar oleh orang lain.

Seorang dari para pemuda itu mengejekku dengan suara pelan: “Boleh jadi Bung Besar kita takut. Boleh jadi dia melihat hantu dalam gelap. Boleh jadi dia tetap menunggu-nunggu perintah dari Tenno Heika.

Wikana, pemimpin pemuda yang lain, mengikuti ejekan ini dengan gerakan yang mendadak dan mengejutkan. Dia mencoba menggertakku. “Kami tidak ingin mengancammu, Bung,”katanya dengan suara parau sambil mengancam ke arahku dengan pisau terhunus di tangannya. “Tapi revolusi sekarang ada di tangan kami dan Bung di bawah kekuasaan kami. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…”

“Lalu apa?” teriakku sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. “Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti kemauan kalian!”
Aku melompat ke tengah para pemuda yang memegang senjata itu, menekukkan kepalaku ke bawah, menjulurkan leherku keluar, dan membuat gerak untuk memotong tenggorokanku. “INI,”kataku mencemooh. “Ini leherku. Boleh potong… Hayo, boleh penggal kepalaku… kalian bisa membunuhku…tapi aku tidak pernah mau mengambil risiko untuk melakukan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena kalian hendak melakukan sesuatu menurut kemauan kalian.”
Mereka langsung diam, dan keheningan mencekam. Tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada yang bergerak. Mereka takut. Malu. Marah. Kecewa. Aku mengangkat kepala dan dengan sengaja aku menatap mereka. Aku menatap langsung ke wajah mereka sehingga mereka satu demi satu menjatuhkan pandangan mereka.

Aku duduk lagi. Butir-butir keringat menggantung di bibir atasku. Tak ada lagi yang menyebut Sukarno pengecut. Aku menangkap mata Fatmawati di bagian lain dari kusen pintu. Mukanya kelihatan murung dan tegang. Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan sungguh-sungguh. Dengan nada rendah kumulai kembali percakapan kami, “Yang paling penting di dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17.”

“Mengapa tanggal 17, tidak lebih baik sekarang saja atau tanggal 16?”tanya Sukarni.
“Aku percaya pada mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan di dalam relung hatiku bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran, benar tidak?”
“Ya.”
“Ini berarti saat yang paling suci, bukan?”
“Ya.”

“Hari Jumát ini Jum’at Legi. Jum’at yang manis. Jum’at suci. Dan hari Jum’at tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.”


“Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang , aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi ini akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti setelah itu…”

Friday, April 1, 2016

Mohon Bimbingan-Nya Ketika Mengeluarkan Harta

Almarhum mursyid sangat tertib dalam membelanjakan uangnya, seorang sahabat salik yang bertugas mengolah semua jurnal pribadi beliau bersaksi bahwa setiap hari beliau mencatat dengan detil semua pengeluaran uangnya yang tidak banyak itu. Sahabat salik lain yang seorang bankir yang kerap ditugasi menyimpan uang pemberian dari para murid beliau berkata bahwa hingga akhir hayat beliau uang pemberian para muridnya - yang diberikan karena kasih sayang dan sukarela, barangkali karena tersentuh melihat kehidupan mursyidnya yang demikian sederhana - setiap perak dari uang itu masih utuh tersimpan di bank. Almarhum mursyid tidak pernah menggunakan uang dari murid-muridnya untuk kepentingan pribadi.

Mursyid penerusnya demikian juga akhlaknya terhadap harta, sangat sederhana dan hati-hati dalam mengambil keputusan untuk membeli sesuatu. Pernah suatu hari istrinya bertanya untuk membeli mobil tipe tertentu karena butuh untuk kendaraan sehari-hari dan kebetulan dananya sudah tersedia, sang mursyid menjawab "Jangan mobil yang itu, tidak sesuai dengan kadar rumah tangga kita, cari yang lebih seederhana ya...". Padahal saya tahu persis kalau mursyid saya ini menunjuk sebuah mobil pasti murid-murid dekatnya berlomba-lomba ingin menghadiahkan itu untuknya sebagai tanda cinta. Tapi ya, kami para muridnya pun diajari untuk berhati-hati bahkan ketika memberi beliau hadiah.

Sikap hati-hati beliau berdua dalam melakukan setiap tindakan sangat berkesan. Tanpa banyak khotbah kehidupan mereka berbicara lantang tentang makna sebuah keberserahdirian. Bahwa hidup kita bukan milik kita demikian dengan apa pun yang dihadirkan dalam hidup kita. Jadi akhlak yang dibangun di sini dalam kehati-hatian adalah senantiasa memohon kepada Allah Ta'ala. Dalam hening sesaat, mencoba menyambungkan hati dengan-Nya, apabla ini kerap dilakukan maka kedekatan batin dengan Dia tak terelakkan. Dan pasti Dia akan memberi jawaban, karena hati (qalbu) adalah tempat insan menerima petunjuk Sang Maha Kuasa.

Barangkali kita harus lebih sering meminta petunjuknya, tidak hanya sebatas saat keputusan-keputusan 'besar' harus diambil seperti memilih jodoh, memilih pekerjaan, lokasi rumah atau lainnya. Tapi juga saat kita menerima gaji setiap bulannya. Teringat ilmu hujan, bahwa setiap titik air yang turun ditugaskan satu malaikat untuk ditempatkan di titik yang telah ditetapkan, maka setiap rupiah pendapatan kita pun pastinya telah ada peruntukannya. Sesuatu yang apabila kita cermat dan tepat menempatkannya maka insya Allah hisabnya ringan di akhirat nanti...

Wednesday, March 30, 2016

Apa Yang Terjadi Saat Kita Menghargai Setiap Saat Dalam Hidup?

Saat mengingat bahwa setiap titik air hujan dibawa oleh satu malaikat untuk disimpan di lokasi yang telah ditempatkan jadi termenung bahwa setiap mainan anak-anak lelakiku yang berceceran di rumah tentunya bukan sekadar karena telah mereka mainkan. Adalah Dia di balik segala sesuatu yang termanifes di dunia ini, tidak ada satu butir atom pun yang berada di luar kendali dan pengetahuan-Nya.

Bagi saya, sekeping kesadaran ini sangat menggugah jiwa, menjadi lebih menghargai apapun yang dihadirkan di hadapan kita. Bagi saya misalnya, harus membereskan keping demi keping mainan yang kecil-kecil untuk dikembalikan ke kotaknya, kadang memunguti mainan yang tersebar di bawah sofa, dekat dapur atau bisa jadi di tempat yang tidak terduga seperti di dalam sepatu dan pernah di dalam kotak suara gitar, serta merespon keinginan anak untuk bermain saat si emak sedang asyik menerjemahkan buku. Semua bisa menjadi sarana dzikir, menyambungkan hati kita dengan Dia yang menciptakan adegan demi adegan dalam hidup.

Jurus yang sama bisa diterapkan oleh siapa pun untuk menerjang kelelahan dan kebosanan rutinitas karena seolah-olah harus menapaki kehidupan yang itu-itu saja. Di setiap kemacetan yang kita harus terjang, saat berpapasan dengan pak satpam di pagi hari - yang kerap luput kita sapa, melempar senyum dan sapa kepada petugas tol yang setiap hari harus menghisap polusi sedemikian rupa, sekadar menanyakan kabar kepada office boy yang sering kita minta tolong untuk membelikan makanan, dan masih banyak lagi.

Dengan menghargai setiap fenomena yang dihadirkan kita menjadi lebih menghayati hidup itu sendiri dan tentunya makin bahagia. Ternyata bahagia itu sederhana...

Monday, March 28, 2016

Apa Yang Terjadi Pada Saat Pemilihan Pancasila Sebagai Dasar Negara

Tanggal 1 April tentara Amerika menyerbu Okinawa. Tanggal 29 April Kaisar setuju pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tanggal 7 Mei Jerman menyerah. Tanggal 28 Mei Badan Penyelidik mengadakan sidangnya yang pertama di bekas gedung Volksraad. Gedung itu khas berarsitektur Belanda yang berat dan berlebih-lebihan. Ruang yang luas dibagi-bagi menjadi 10 deret. Enam meja kursi terdapat di setiap deretnya. Satu-satunya ang teratur dalam sidang itu hanyalah ruangannya saja. Rapat-rapat yang diselenggarakan benar-benar kacau.

Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan menghadiri sidang dengan masing-masing sebelumnya membuat rencana, aturan dan usul-usul berisi tetek bengek yang menyiksa. Tidak ada yang melakukan koordinasi dengan orang lain. Orang-orang terpelajar yang berpikiran sempit dari Jawa, para pedagang dari Sumatera, para penduduk di pulau-pulau perbatasan, masing-masing tidak memiliki dasar pemikiran yang sama. Saat istirahat dari jam satu sampai jam lima petang, kelompok Islam melakukan pertemuan sendiri, kelompok kebangsaan melakukan pertemuan sendiri, kaum federalis dan pendukung negara kesatuan melakukan pertemuannya masing-masing. Mereka yang menuntut wilayah kami mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda membentuk satu kelompok. Yang lain, yang menuntut wilayah lebih luas lagi atau puas dengan wilayah yang lebih sempit, membentuk kelompok yang lain. Kaum Islam yang ortodoks mendorong bentuk negara berdasarkan Islam. Ada lagi kelompok moderat yang berpandangan bahwa kami sama sekali belum matang untuk memerintah sendiri. Terjadilah silang pendapat yang sengit tanpa ada titik temunya. Selama tiga hari terdapat perbedaan yang besar berkenaan dengan prinsip dasar dari Indonesia Merdeka.

Aku duduk di tengah keributan itu dan membiarkan setiap orang mengeluarkan pendapatnya. Bulu kudukku berdiri ketika mendengarkan setiap orang menguraikan rencana yang mencakup hal-hal paling kecil. Mereka terlalu banyak bicara "seandainya"dan menduga-duga. Dengan cara pandang demikian, tak seorang pun dari kami akan mengalami kemerdekaan sampai masuk lubang kubur. Kalau Jepang memberi kemerdekaan pada kami di hari itu juga, tentulah kami akan berkata, "Nanti dulu ... tunggu sebentar. Kami belum siap."

Aku telah 16 tahun mempersiapkan apa yang hendak kukatakan. Dalam kuburanku yang gelap di Banceuy, prinsip-prinsip yang akan menjadi dasar dari republik sudah mulai tampak dalam pikiranku. Aku tahu, kami tidak dapat mendasarkan bangsa kami pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Juga tidak pada Manifesto Komunis. Kami tidak dapat meminjam pandangan hidup bangsa lain, termasuk Tenno Koodo Seishim dari Jepang. Marhaenisme Indonesia tidak dapat disamakan dengan konsep bangsa lain. Dari tahun ke tahun aku mempertimbangkannya dalam pikiranku.

Di Pulau Flores yang sepi, dimana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.

Di malam sebelum aku akan berbicara di Badan Penelidik, aku pergi ke luar pekarangan rumahku. Seorang diri. Dan aku memandang bintang-bintang di langit. Dan aku kagum pada ciptaan yang sempurna itu. Dan aku meratap pelan-pelan. Kusampaikan kepada Tuhan, "Aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu."

"Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku."

Pada pukul sembilan pagi, seperti biasa, kami bersiap di meja yang memiliki papan nama kami masing-masing. Setelah sidang dibuka, kemudian aku bangkit dan melangkah ke podium marmer yang berada di tempat yang lebih tinggi. Di tempat itu, di antara dua pilar tinggi, dimana pernah berdiri Gubernur Jenderal untuk membuka resmi Volksraad, aku mengupas kelima mutiara berharga: Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Aku menjelaskan, hari depan kami harus berdasar pada Kebangsaan, karena "orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya."

Kemudian aku menguraikan batas-batas dari kebangsaan kami. "Allah SWT membuat peta dunia. Seorang anak kecil pun - jikalau dia melihat peta dunia - dapat menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan kepulauan di antara Samudera Pasifik dan Lautan Hindia dan di antara benua Asia dan Australia. Bangsa Indonesia, karena itu, meliputi semua orang yang tinggal di seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang di ujung utara Sumatera, sampai Merauke di Papua."

Lalu aku menuju kepada mutiara kedua. Internasionalisme. "Itu bukanlah Indonesia Uber Alles."kataku tegas. "Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia. Ingatlah kata-kata Gandhi, saya seorang nasionalis, tapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."

Berpidato tanpa teks, aku mengingatkan mereka untuk melawan pandangan yang tidak benar, yang menganggap ada keunggulan dari bangsa Arya yang berambut jagung dan bermata biru. Dan aku menyampaikan kepada sidang, "Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme."

Mutiara ketiga adalah Demokrasi. Selama berabad-abad negeri kami hidup dengan kebiasaan asli berupa musyawarah dan mufakat. Ini adalah perundingan demokratis model Asia. Sebagai seseorang yang meyakini bahwa kekuatan terletak dalam pemerintahan atas dasar perwakilan, aku berkata, "Kita tidak akan menjadi negara untuk satu orang atau satu golongan"tetapi "Semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu."

"Biarlah orang-orang Islam bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian terbesar dari kursi-kursi Dewan Perwakilan Rakyat diduduki oleh utusan-utusan Islam. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap peraturan dari Negara Indonesia dijiwai Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan adalah orang Kristen. Itu adil!"

"Seperti halnya kita menumbuk dan membersihkan sekam dari padi agar diperoleh beras, biarkan pikiran kita terus-menerus bergosokan satu sama lain."

Tidak terdengar satu suara pun di dalam ruang sidang itu. Bahkan kipas angin yang tergantung di atas berputar tanpa suara. Air mata berlinangan di mata saudara-saudaraku anggota Badan Penyelidik itu.

Mutiara keempat adalah Keadilan Sosial. "Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera karena merasa diayomi oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?"tanyaku.

Yang terakhir adalah Ketuhanan Yang Maha Esa: "Marilah kita menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa", tetapi "Biarkan masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya tiap-tiap orang menjalankan ibadahnya sesuai dengan cara yang dipilihnya. Marilah kita jalankan asas kelima dengan cara yang berkeadaban: Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat-menghormati satu sama lain."

Pidatoku yang memakan waktu lama itu kuakhiri dengan memperkenalkan nama Pancasila, yang "Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan Indonesia tulen, yaitu gotong-royong. Gotong royong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, berjuang bahu-membahu bersama. Amal semua buat kepentingan semua."

"Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah, Saudara-Saudara, yang kuusulkan kepada Saudara-Saudara."

Tepuk tangan terdengar gemuruh. Para anggota berdiri dari kursinya dan menerima falsafah negara yang kuusulkan dengan aklamasi.

(Biografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams)