Tuesday, December 27, 2016

"Apa yang harus saya lakukan dalam penggal kehidupan yang satu ini?"

"Apa yang harus saya lakukan dalam penggal kehidupan yang satu ini?"

Pertanyaan itu mulai menyeruak saat usia saya 13 tahun, dipicu oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga orang tua saya. Perlahan-lahan saya mulai mencari-cari makna kebahagiaan sejati. Selama bertahun-tahun saya didera kegelisahan di malam hari, sang logika mencoba mereka setiap penggal kehidupan yang saya rancang untuk masa depan. Namun seribu satu macam skenario yang dimainkan oleh akal tetap berakhir di titik sama, apakah benar manusia hanya dirancang untuk tumbuh kembang, sekolah setinggi mungkin, berkeluarga, berkarir secemerlang mungkin dan meninggalkan alam dunia ini seperti debu di atas batu yang ditiup angin, hanya menyisakan serpihan kenangan? Something was telling me that we have bigger purpose than that.

Maka sejak usia 15 tahun saya memutuskan untuk hidup sendiri, i need some space to think, sedikit menjauh dari manusia, demikianlah selama hampir dua dekade saya memang ditakdirkan selalu menggelandang, hidup dari satu kota ke kota lain, rata-rata tinggal di sebuah tempat tidak lebih dari 3 tahun. Mentalitas nomaden itu membuat episode hijrah saya ke benua lain di penggal usia ini menjadi relatif ringan. Salah seorang sahabat saya memang pernah berkomentar, "Tessa itu kalau burung seperti Elang, you are a loner."

Saya tumbuh dan melalui banyak ketidakpastian dan terpaan ujian kehidupan. Semua itu melatih saya untuk bisa mandiri, tidak berpangku tangan dan mengharapkan belas kasihan orang lain, namun pelajaran yang paling penting adalah ketika saya perlahan tapi pasti ditarik ke dalam pusaran asa kepada Yang Maha Kuasa. Saat semua hal dan makhluk selalu berakhir mengecewakan maka saya tahu bahwa saya selalu bisa mengandalkan Dia. Setelah itu saya menemukan sebuah oase ekstase yang luar biasa di tengah-tengah deru keruwetan dunia yang tidak ada habis-habisnya. Saya mulai merasakan Allah itu hidup dan sangat akrab. Dia bukan sesuatu yang jauh dari jangkauan.

Sang mursyid berpesan agar kita senantiasa berjuang menjadi anak Sang Waktu, menjaring kebersyukuran pada apapun yang Ia tengah sematkan pada diri kita dari waktu ke waktu dengan keberserahdirian dan penghadapan wajah yang baik. Hanya dengan itu rasanya kita bisa mulai mengurai benang halus yang terbentang kepada asal muasal kita, untuk benar-benar mengenali jiwa kita.

No comments:

Post a Comment