Monday, July 18, 2016

Sahabat Yang Menginspirasi

Beberapa hari terakhir ini saya kedatangan tamu dari tanah air, bukan secara fisik akan tetapi kami melakukan diskusi yang intens melalui chat app. Mereka adalah sahabat-sahabat yang saya telah kenal lebih dari satu dekade lamanya. Mereka berdua sedang dilanda ujian yang berat dalam kehidupan yang menghimpit dada, menyakitkan dan sedemikian terasa berat hingga batin menjerit "kapankah kiranya pertolongan Allah itu tiba?"
Saya sangat bersyukur Allah hadirkan mereka dalam hidup saya, perjuangan mereka dan kekuatan pencarian mereka kepada Allah Ta'ala membuahkan inspirasi tersendiri. Bayangkan sudah babak belur, habis tenaga, pikiran, material sudah tak terhitung. Mereka masih bisa mengalunkan kata-kata dari lisannya: "Alhamdulillah, ini yang terbaik dari Allah Ta'ala."; "Kalau ini yang Allah inginkan maka akan saya lakoni."; "Bukankah takdir kita hari ini adalah takdir yang terbaik." " Semua indah pada saatnya." Semua adalah penggalan kata yang sering kita dengar, akan tetapi saat itu diucapkan dengan sungguh-sungguh oleh orang yang tengah meregang menahan beban ujian, maka kekuatan dari kata-kata itu sungguh merasuk ke dalam hati orang yang menyaksikannya.
Kiranya pagelaran yang tengah dilakoni oleh kedua sahabat saya ini makin mengokohkan keyakinan saya bahwa kekuatan manusia terletak dari kemampuannya untuk berserah diri, mengakui kefakiran dan kelemahan dirinya. Kekuatan yang berasal dari cahaya anugerah-Nya yang menembus ke relung kalbu yang tidak jarang harus didahului oleh sebuah episode penghancuran hijab hati yang menghalangi. Sehingga semakin kuat cahaya iman seseorang semakin rendah diri ia, tidak petantang-petenteng di hadapan manusia apalagi di hadapan Tuhannya yang senantiasa mengawasinya. Seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk...
Terima kasih sahabat atas kepercayaan dan secercah pengetahuan hidup yang dibagikan. Semoga Allah Ta'ala semakin meneguhkan pijakanmu dalam shiraathal mustaqiim.

Belajar Tenang dan Sabar Menunggu Pertolongan-Nya

Salah satu pesan guru saya yang selalu disimpan di hati adalah "Bersikaplah tenang menghadapi kondisi segila apapun dan jangan terburu-buru mengambil keputusan hingga Allah bukakan jalan keluarnya."
Kebetulan sekali siang ini saya diberi kesempatan mendemonstrasikan jurus di atas. Ceritanya saya dan suami mengikuti acara Sufi Summer School di Katwijk, sebuah acara tahunan yang diselenggarakan oleh Sufi Movement, bagian dari murid-murid almarhum Hazrat Inayat Khan, seorang sufi yang menyebarkan Islam ke Eropa tahun di 1910. Kami bergantian memasuki kelas di saat salah satu mengasuh anak-anak.
Hari ini pergantian "piket" dilaksanakan di pinggir pantai, depan restoran tempat anak-anak bisa puas bermain pasir pantai. Semburan matahari musim panas mulai terasa menyengat. Dan kami pun melaksanakan serah terima anak-anak dengan lancar kecuali satu hal, kunci kamar yang kami sewa di bread and breakfast lupa dialihkan! Saya baru menyadari hal itu setelah berada di depan pintu penginapan kami dengan kondisi Rumi tertidur di stroller dan Elia sudah hampir tertidur kelelahan di atas sepeda kayunya.
Mau telepon baterenya habis, mau menghubungi resepsionis sudah tutup kantornya jam 12 dan ini hari minggu dimana kebanyakan toko dan aktivitas tutup. Mau menyusul papanya anak-anak ke Soefi Temple yang memakan perjalanan sekitar 30 menit dengan berjalan kaki agak tidak mungkin karena Elia sudah hampir tertidur kelelahan.
Nah inilah saatnya mempraktikkan jurus yang diajari guru saya itu. "Tenang...tenang...." Ujar saya menenangkan diri sendiri. Kami kemudian mencari tempat duduk kecil di pinggir jalan tepat di sebelah pintu hotel. Pikiran saya menerawang menelaah sekian skenario, dari mulai memanjat ke kamar yang terletak di lantai dua, mencongkel jendela di bawah hingga mengaktivasi alarm kebakaran, okey yang terakhir rasanya terlalu ekstrim dan bisa-bisa saya dipenjara karena berbuat onar.
Saya pun mulai berdzikir "laa hawla wa laa quwaata illa billah" untuk mengendapkan ide-ide nekad yang bermunculan itu. Anak-anak mulai tertidur. Saya pun telah menyiapkan mental hingga dengan skenario menunggu papanya anak-anak datang membawa kunci di sore hari, which is about 4-5 hours from now...(sigh).
"Ok, let's make the best of it" bisik saya berikhtiar memompakan semangat kepada diri sendiri. Pandangan saya tertuju kepada wajah-wajah polos anak-anak yang tertidur lelap, kemudian menelusuri biru langit yang cerah hingga mengamati pola trotoir jalan yang unik yang belum pernah saya perhatikan sebelumnya. Ketika saya tengah terlarut dalam simfoni alam tiba-tiba kedua mata saya menangkap sesosok wajah yang saya kenal! Perempuan muda ramah yang bertugas di pagi hari melayani sarapan di ruang makan para penghuni penginapan, ia menghampiri dan menyapa. It doesn't take a genius untuk melihat kami tengah terdampar di pinggir jalan. Ia pun mengeluarkan kunci cadangannya sambil berkata "you are very lucky, i was supposed to go home hours ago but somehow something drove me here".
Ah memang betul, tenang saja dan bersabar hingga Dia bukakan jalan keluarnya Alhamdulillah

Michael Buble - BeeGees & Pharell Williams

Dalam enam tahun terakhir saya diperjalankan dalam episode "Michael Buble", "BeeGees" kemudian "Pharell Williams".
Pada awalnya saya merasa "im in control of my life" ‪#‎singing‬ i've got the world on a string.
Life was like a walk in a park, damai, rejeki lancar mengalir, terbilang cukup sukses versi pakem kebanyakan orang.
Hingga saya mulai dicemplungkan dalam dunia pernikahan, dua tahun pertama bagaikan naik roller coaster, komunikasi di antara kami belum lancar, tidak punya pekerjaan dan income sendiri, harus mengurus anak-anak tanpa pembantu dan jauh dari keluarga. That was an episode of annihilation for me. Dihancur leburkan ego saya. #singing how can you mend a broken heart.
Hari demi hari dan malam demi malam saya terus berjalan menerjang semua kelelahan lahir dan batin, menangkis semua kepenatan setelah mengurus anak dan rumah tangga seharian penuh, rasanya perjalanan suluk saya selama 12 tahun seakan dipersiapkan untuk menghadapi episode ini. Tidak jarang dalam sujud saya menitikkan air mata, lelah, sedih dan kebingungan seakan menyelubungi akal sehat saya dan membuat dada sesak. Ada rasa marah, sedih, putus asa bergejolak di dalam hati; namun saya juga masih merasakan ada kualitas cinta, pemaafan, kasih sayang dan asa yang berpijar di lubuk yang terdalam. Hingga akhirnya lisan saya berkata lirih "I give up Lord, i give up my life, my expectations, my dreams my all to You completely. Silakan lakukan apapun yang Engkau ingin lakukan terhadap hamba dan kehidupan hamba. Karena aku adalah milik-Mu semata, bukan milik mimpi dan keinginanku apalagi egoku.
Tak lama setelah itu saya mulai merasakan denyut kehidupan mulai mengalir di dalam jiwa. Disusul oleh pancaran kekuatan spiritual yang luar biasa yang berasal dari dalam diri. Kiranya Dia membalas ijab qabul saya saat itu juga. Ya, Dia yang berlari ketika hamba-Nya berjalan mendekat. Dia yang tidak pernah sekali pun memalingkan wajah bahkan saat si hamba tersibukkan oleh ilusinya sendiri.
Sejak malam itu dada saya dibuat menjadi lapang dalam menerima kehidupan. Tadinya saya sangat terobsesi dengan melakukan banyak hal baik dalam pencapaian duniawi atau spiritual. Sekarang saya mulai perlahan berjalan, less doing and start being, accepting all things as they are. Efeknya? Saya jadi ibu yang lebih sabar dan menghadapkan diri lebih baik kepada anak-anak. Suami saya bilang komunikasi kita menjadi lebih baik dan pernikahan kita comes to another level. Inspirasi datang mengalir dan direstui oleh mursyid sebagai amal sholeh yang saya sangat syukuri.
Jadi siapapun yang sedang dirundung dalam kesedihan, kesulitan hidup, kegalauan hati yang kadang membuat kita berteri "kapan kiranya pertolongan Allah tiba?" Just hang in there. Semua akan reda jika ia telah memenuhi kadarnya dengan pertolongan Allah Ta'ala. This too shall pass.
Kita nikmati dan hayati setiap tamu Tuhan yang dihadirkan, baik secara fisik atau yang halus di dalam hati. #singing "because i'm happy..."
- Disampaikan pada Sufi Summer School 2016, Katwijk. The Netherlands.

Monday, July 11, 2016

Biarkan Anak Kita Menjadi Dirinya Sendiri

Tekanan sosial itu sudah mulai dirasakan sejak sang janin berada di dalam kandungan. Harapan akan berat badan tertentu, jenis kelamin tertentu sudah mulai dikalungkan di pundaknya. Pun ketika sang bayi lahir seribu satu pertanyaan sudah menantinya seiring dengan pertumbuhan raganya: "sudah bisa merangkak belum?" "sudah bisa bicara apa?". Kemudian menginjak masa sekolah "Sekolah dimana?" "Berapa nilai ujiannya?" Memasuki perguruan tinggi ditanya "Kuliah dimana? Jurusan apa?" Saat terjun ke masyarakat pertanyaan yang sering dilontarkan "Kerja dimana? Bagian apa? Posisi apa? (kalau perlu) gajinya berapa?" Dan tak lama kemudian here comes the one million dollar question, "sudah punya pasangan? sudah menikah?" Dan tentu itu tidak berhenti di sana: "kapan punya momongan" and the cycle continues.

Suka atau tidak suka kita berada dalam samudera besar bernama dunia yang setiap tetes airnya memiliki menekan setiap pori-pori tubuh kita. Demikianlah jiwa kita yang terlahir fitrah bertumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan untaian harapan-harapan dari orang sekitar: dari orang tua, saudara, masyarakat dan tak terlepas harapan diri yang secara tidak sadar terbawa pola di lingkungan mana ia dibesarkan.

Masyarakat cenderung membuat kotak-kotak, laki-perempuan; pandai-bodoh atau kurang pandai; cantik-kurang cantik dst yang sebenarnya mekanisme otomatis trilyunan jalinan sel saraf yang membentuk sistem saraf pusat manusia. Akan tetapi ketika perbedaan itu disusupi dengan muatan tertentu: seolah-olah jika anak perempuan lebih kurang mantap dibanding laki-laki; sepertinya kalau kurang cantik menjadi kurang keren; seakan-akan kalau kurang pintar dalam akademik maka jadi orang yang gagal. Nah di situ letak bahaya penghakiman massal yang terselubung, it's almost like social bullying.

So what kalau anak kita terlambat bicara, tidak bisa bicara sefasih anak tetangga, nilainya tidak sebagus anak si anu, and so on and so forth. Tentu kewajiban orang tua untuk membimbing dan memberikan pendidikan terbaik bagi anak. Akan orang tua harus menyadari bahwa setiap anak terlahir dengan bakat langit masing-masing, suatu kemampuan yang khas yang terhubung kepada Allah Ta'ala, inilah salah satu aspek fitrah insan.

Saya percaya setiap anak, and i mean it, SETIAP ANAK adalah jenius di bidangnya masing-masing. Jadi pada hakikatnya tidak ada anak yang bodoh, hanya belum menemukan bakat langitnya saja. Masalahnya dunia pendidikan saat ini menyamaratakan sistem penilaian, seperti karikatur di bawah dimana ujiannya disamaratakan. Itu seperti halnya menguji semua binatang dalam hutan berlomba memanjat pohon yang pasti akan dimenangkan oleh golongan kera. Lalu apakah sang gajah, sang burung, sang ikan makhluk yang bodoh? Ndak sama sekali, mereka punya keahliannya masing-masing yang justru tidak dimiliki sang kera.

Begitu pun anak kita, sejatinya ada yang jenius ototnya sehingga jadi olahragawan yang unggul, ada yang tajam rasa musiknya sehingga bisa jadi pemain musik yang menginspirasi atau ada yang pintar berbicara sehingga mahir di dunia marketing dan komunikasi. Salah satu aspek keberhasilan orang tua adalah ketika bisa membantu anak mengidentifikasi bakat langitnya dengan menjadi pengamat yang cermat dan kemudian memberikan stimulus yang tepat yang akan membuncahkan potensi alamnya.

Akhir kata, anak kita bukan milik kita, ia milik yang menciptakannya dan ia memiliki dunianya sendiri. Biarkan dia menjadi dirinya apa adanya, bukan dipaksakan bertumbuh dalam bayang-bayang kita atau lingkungannya demi hanya mengejar prestise di mata orang banyak dengan mengorbankan kebahagiaannya yang hakiki.

Friday, July 8, 2016

EMOTIONAL MARKETING: Jurus jitu menjual produk di Indonesia.

Waktu saya masih bekerja di salah satu distributor alat kesehatan dan obat salah seorang senior di bidang marketing yang telah malang melintang lebih dari tiga dekade menelorkan produk dan membuat sukses produk suplemen berseloroh sungguh-sungguh "Jual obat bebas atau suplemen di Indonesia itu gampang, sentuh emosi masyarakat maka bisa dalam hitungan bulan omset menggelontor milyaran rupiah ke saku produsen. Natur orang Indonesia itu gampang percayaan dan suka ngerumpi maka produk yang biasa saja bisa dikemas dengan apik bisa booming, just move their emotion!"
Saya perhatikan di sekeliling saya kiranya demikian yang kerap terjadi, betapa mudah orang merogoh isi dompetnya untuk membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan demi memuaskan emosinya sesaat. Maka kalau kita lihat secara berkala akan tampil trend penjualan produk tertentu, produk yang makin sering mendapat sorotan di media massa biasanya akan makin gencar diserbu pembeli. Nah, laporan dari "Data Monitor Consumer Survey"yang dirilis tahun 2013 menunjukkan bahwa konsumen Indonesia paling nda ngerti kegunaan dan teknologi suatu produk bahkan dibanding negara tetangga sebelah Malaysia dengan beda persentase yang cukup tajam.
Kondisi yang menjanjikan untuk para marketer