Wednesday, March 30, 2016

Apa Yang Terjadi Saat Kita Menghargai Setiap Saat Dalam Hidup?

Saat mengingat bahwa setiap titik air hujan dibawa oleh satu malaikat untuk disimpan di lokasi yang telah ditempatkan jadi termenung bahwa setiap mainan anak-anak lelakiku yang berceceran di rumah tentunya bukan sekadar karena telah mereka mainkan. Adalah Dia di balik segala sesuatu yang termanifes di dunia ini, tidak ada satu butir atom pun yang berada di luar kendali dan pengetahuan-Nya.

Bagi saya, sekeping kesadaran ini sangat menggugah jiwa, menjadi lebih menghargai apapun yang dihadirkan di hadapan kita. Bagi saya misalnya, harus membereskan keping demi keping mainan yang kecil-kecil untuk dikembalikan ke kotaknya, kadang memunguti mainan yang tersebar di bawah sofa, dekat dapur atau bisa jadi di tempat yang tidak terduga seperti di dalam sepatu dan pernah di dalam kotak suara gitar, serta merespon keinginan anak untuk bermain saat si emak sedang asyik menerjemahkan buku. Semua bisa menjadi sarana dzikir, menyambungkan hati kita dengan Dia yang menciptakan adegan demi adegan dalam hidup.

Jurus yang sama bisa diterapkan oleh siapa pun untuk menerjang kelelahan dan kebosanan rutinitas karena seolah-olah harus menapaki kehidupan yang itu-itu saja. Di setiap kemacetan yang kita harus terjang, saat berpapasan dengan pak satpam di pagi hari - yang kerap luput kita sapa, melempar senyum dan sapa kepada petugas tol yang setiap hari harus menghisap polusi sedemikian rupa, sekadar menanyakan kabar kepada office boy yang sering kita minta tolong untuk membelikan makanan, dan masih banyak lagi.

Dengan menghargai setiap fenomena yang dihadirkan kita menjadi lebih menghayati hidup itu sendiri dan tentunya makin bahagia. Ternyata bahagia itu sederhana...

Monday, March 28, 2016

Apa Yang Terjadi Pada Saat Pemilihan Pancasila Sebagai Dasar Negara

Tanggal 1 April tentara Amerika menyerbu Okinawa. Tanggal 29 April Kaisar setuju pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tanggal 7 Mei Jerman menyerah. Tanggal 28 Mei Badan Penyelidik mengadakan sidangnya yang pertama di bekas gedung Volksraad. Gedung itu khas berarsitektur Belanda yang berat dan berlebih-lebihan. Ruang yang luas dibagi-bagi menjadi 10 deret. Enam meja kursi terdapat di setiap deretnya. Satu-satunya ang teratur dalam sidang itu hanyalah ruangannya saja. Rapat-rapat yang diselenggarakan benar-benar kacau.

Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan menghadiri sidang dengan masing-masing sebelumnya membuat rencana, aturan dan usul-usul berisi tetek bengek yang menyiksa. Tidak ada yang melakukan koordinasi dengan orang lain. Orang-orang terpelajar yang berpikiran sempit dari Jawa, para pedagang dari Sumatera, para penduduk di pulau-pulau perbatasan, masing-masing tidak memiliki dasar pemikiran yang sama. Saat istirahat dari jam satu sampai jam lima petang, kelompok Islam melakukan pertemuan sendiri, kelompok kebangsaan melakukan pertemuan sendiri, kaum federalis dan pendukung negara kesatuan melakukan pertemuannya masing-masing. Mereka yang menuntut wilayah kami mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda membentuk satu kelompok. Yang lain, yang menuntut wilayah lebih luas lagi atau puas dengan wilayah yang lebih sempit, membentuk kelompok yang lain. Kaum Islam yang ortodoks mendorong bentuk negara berdasarkan Islam. Ada lagi kelompok moderat yang berpandangan bahwa kami sama sekali belum matang untuk memerintah sendiri. Terjadilah silang pendapat yang sengit tanpa ada titik temunya. Selama tiga hari terdapat perbedaan yang besar berkenaan dengan prinsip dasar dari Indonesia Merdeka.

Aku duduk di tengah keributan itu dan membiarkan setiap orang mengeluarkan pendapatnya. Bulu kudukku berdiri ketika mendengarkan setiap orang menguraikan rencana yang mencakup hal-hal paling kecil. Mereka terlalu banyak bicara "seandainya"dan menduga-duga. Dengan cara pandang demikian, tak seorang pun dari kami akan mengalami kemerdekaan sampai masuk lubang kubur. Kalau Jepang memberi kemerdekaan pada kami di hari itu juga, tentulah kami akan berkata, "Nanti dulu ... tunggu sebentar. Kami belum siap."

Aku telah 16 tahun mempersiapkan apa yang hendak kukatakan. Dalam kuburanku yang gelap di Banceuy, prinsip-prinsip yang akan menjadi dasar dari republik sudah mulai tampak dalam pikiranku. Aku tahu, kami tidak dapat mendasarkan bangsa kami pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Juga tidak pada Manifesto Komunis. Kami tidak dapat meminjam pandangan hidup bangsa lain, termasuk Tenno Koodo Seishim dari Jepang. Marhaenisme Indonesia tidak dapat disamakan dengan konsep bangsa lain. Dari tahun ke tahun aku mempertimbangkannya dalam pikiranku.

Di Pulau Flores yang sepi, dimana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.

Di malam sebelum aku akan berbicara di Badan Penelidik, aku pergi ke luar pekarangan rumahku. Seorang diri. Dan aku memandang bintang-bintang di langit. Dan aku kagum pada ciptaan yang sempurna itu. Dan aku meratap pelan-pelan. Kusampaikan kepada Tuhan, "Aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu."

"Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku."

Pada pukul sembilan pagi, seperti biasa, kami bersiap di meja yang memiliki papan nama kami masing-masing. Setelah sidang dibuka, kemudian aku bangkit dan melangkah ke podium marmer yang berada di tempat yang lebih tinggi. Di tempat itu, di antara dua pilar tinggi, dimana pernah berdiri Gubernur Jenderal untuk membuka resmi Volksraad, aku mengupas kelima mutiara berharga: Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Aku menjelaskan, hari depan kami harus berdasar pada Kebangsaan, karena "orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya."

Kemudian aku menguraikan batas-batas dari kebangsaan kami. "Allah SWT membuat peta dunia. Seorang anak kecil pun - jikalau dia melihat peta dunia - dapat menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan kepulauan di antara Samudera Pasifik dan Lautan Hindia dan di antara benua Asia dan Australia. Bangsa Indonesia, karena itu, meliputi semua orang yang tinggal di seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang di ujung utara Sumatera, sampai Merauke di Papua."

Lalu aku menuju kepada mutiara kedua. Internasionalisme. "Itu bukanlah Indonesia Uber Alles."kataku tegas. "Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia. Ingatlah kata-kata Gandhi, saya seorang nasionalis, tapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."

Berpidato tanpa teks, aku mengingatkan mereka untuk melawan pandangan yang tidak benar, yang menganggap ada keunggulan dari bangsa Arya yang berambut jagung dan bermata biru. Dan aku menyampaikan kepada sidang, "Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme."

Mutiara ketiga adalah Demokrasi. Selama berabad-abad negeri kami hidup dengan kebiasaan asli berupa musyawarah dan mufakat. Ini adalah perundingan demokratis model Asia. Sebagai seseorang yang meyakini bahwa kekuatan terletak dalam pemerintahan atas dasar perwakilan, aku berkata, "Kita tidak akan menjadi negara untuk satu orang atau satu golongan"tetapi "Semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu."

"Biarlah orang-orang Islam bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian terbesar dari kursi-kursi Dewan Perwakilan Rakyat diduduki oleh utusan-utusan Islam. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap peraturan dari Negara Indonesia dijiwai Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan adalah orang Kristen. Itu adil!"

"Seperti halnya kita menumbuk dan membersihkan sekam dari padi agar diperoleh beras, biarkan pikiran kita terus-menerus bergosokan satu sama lain."

Tidak terdengar satu suara pun di dalam ruang sidang itu. Bahkan kipas angin yang tergantung di atas berputar tanpa suara. Air mata berlinangan di mata saudara-saudaraku anggota Badan Penyelidik itu.

Mutiara keempat adalah Keadilan Sosial. "Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera karena merasa diayomi oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?"tanyaku.

Yang terakhir adalah Ketuhanan Yang Maha Esa: "Marilah kita menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa", tetapi "Biarkan masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya tiap-tiap orang menjalankan ibadahnya sesuai dengan cara yang dipilihnya. Marilah kita jalankan asas kelima dengan cara yang berkeadaban: Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat-menghormati satu sama lain."

Pidatoku yang memakan waktu lama itu kuakhiri dengan memperkenalkan nama Pancasila, yang "Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan Indonesia tulen, yaitu gotong-royong. Gotong royong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, berjuang bahu-membahu bersama. Amal semua buat kepentingan semua."

"Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah, Saudara-Saudara, yang kuusulkan kepada Saudara-Saudara."

Tepuk tangan terdengar gemuruh. Para anggota berdiri dari kursinya dan menerima falsafah negara yang kuusulkan dengan aklamasi.

(Biografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams)

Arti Beragama

Agama bukan pil pereda rasa sakit, hanya diminum kalau badan semeriwing (sedang dilanda ujian kehidupan)
Agama bukan sapu ijuk yang digadang-gadang untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak kita sukai.
Agama bukan barang dagangan yang bisa dijual demi memuaskan kepentingan, juga bukan sekadar asesoris yang dibalutkan ke jasad kita.
Agama adalah setiap nafas kita, perilaku kita sejak bangun hingga menutup mata di akhir hari.
Dia adalah cerminan adab kita terhadap Sang Pencipta, terhadap sesama dan terhadap alam semesta.
Dan sebaik-baik orang yang beragama adalah yang paling mulia akhlaknya.
 Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya. (HR. Bukhari No. 3559, dari Ibnu Umar, Muslim No. 2321)

Thursday, March 24, 2016

Apa Nada Pribadi Anda?

Dulu waktu SMP saya sempat ikut dites menyanyikan nada lagu untuk ikut paduan suara, setiap orang kemudian dipilah-pilah masuk kelompok yang mana: apakah sopran, mezzo-sopran atau alto untuk perempuan. Ternyata kemampuan pita suara menyanyikan nada-nada itu sudah bawaan dari lahir ya. Jadi setiap orang sudah mempunyai tangga nadanya masing-masing. Saya yang punya suara mezzo-sopran pasti akan kelabakan mengikuti lagu dengan nada alto.

Saya pikir demikian juga setiap sebenarnya punya bakat bawaannya masing-masing. Ada yang jago di bidang teknik, brilian dalam ilmu sains, hebat dalam berbisnis, tangannya terampil dalam melukis, analisanya dalam di bidang ilmu politik, kharismanya cocok menjadi seorang pemimpin dsb. Mirip dengan screening penyanyi tadi, mestinya setiap orang menemukan 'pitch'nya masing-masing sehingga kalau bernyanyi pas. Praktisnya mungkin begini, kalau orang ngga mumpuni jadi pemimpin atau manager pasti proyeknya berantakan, kalau dia nda ahli di bidang politik ya akan terdengar sumbang kalau dia memaksakan diri berkicau pada sesuatu yang bukan bidangnya. Maka kemampuan mengenal diri selaiknya dijadikan fokus pendidikan baik mereka yang masih menempuh jenjang pendidikan maupun mereka yang telah berkecimpung di dunia kerja. Because learning is an everlasting process...

Sunday, March 20, 2016

Children Learn More From What We Are

Ibu saya orang yang sangat dermawan, masih menjejak hangat di hati saya momen-momen ketika beliau sengaja menepikan kendaraannya dan menghampiri orang tua yang menenteng sapu untuk memberinya selembar uang kertas. Dan hal itu sering beliau lakukan, tak terhitung penjual kangkung keliling, nenek tua penjual gorengan, kakek penjual kacang dan masih banyak lagi. Beliau pun terhitung menjamu semua orang dengan baik, dari mulai tamu yang baru kenal, sanak keluarga yang hampir tiap akhir pekan menyerbu ragam masakannya yang dikenal super uennak hingga para asisten rumah tangga yang selalu disajikan makanan yang sama dengan makanan yang kami makan. Saya ingat kalau kami bepergian, pak supir selalu kami ajak duduk di meja makan yang sama dan menyantap makanan yang sama di restoran walau kerap disambut dengan sungkan dan malu-malu.
Dari ibunda saya belajar untuk banyak memberi dalam hidup, tidak hitungan dan menyandarkan keperluan diri pada Sang Pengatur Rezeki.

Ibu saya orang yang kuat. Segila apapun badai kehidupan yang menempa dan selelah apapun beliau bekerja seharian tidak pernah meluncur dari lisannya keluhan, tidak pernah selama saya berinteraksi dengannya tiga puluh tahun lebih. Maka saya pun belajar untuk tangguh dalam kehidupan.

Ibu saya adalah seorang "life enjoyer", beliau tidak akan mengijinkan kegagalan atau kondisi di luar dirinya membuat dirinya menderita. Beliau sering berpesan, "Bersusah-susah itu adalah hal biasa, tapi hati kita harus tetap senang." Tak terhitung jumlahnya beliau membangunkan semangat saya saat menghadapi ujian di sekolah, sempat gagal ujian di fakultas kedokteran karena mendapat dosen yang aneh, saat menanti mendapatkan pasangan hidup dan sekarang saat saya berumah tangga dan kadang kalut menghadapi anak yang sakit, dengan ketegaran hatinya yang memancar walaupun kami seringkali berkomunikasi lewat whatsapp - saya selalu dibuatnya tenang. Dari sikap beliau itulah saya belajar untuk senantiasa menikmati setiap fase kehidupan apapun bentuknya.

Semoga anak-anak saya juga bisa menyerap sifat-sifat baiknya yang diturunkan. Because children learn more from what we are than what we teach...

Wednesday, March 9, 2016

Menerima Perbedaan

Menerjemahkan teks yang digolongkan ke dalam kitab suci itu tidak semudah menerjemahkan satu kata ke dalam kata lainnya, harus dipertimbangkan konteks kata itu sedang disajikan dalam situasi apa, belum nuansa yang menyertai seperti apa dan asal kata dalam bahasa aslinya apa disertai sejarah yang melingkupinya. Saya kemudian bisa mengerti kenapa seorang yang banyak menerjemahkan buku dan profesional di bidangnya seperti Profesor William Chittick kemudian berkesimpulan untuk kembali mencantumkan kata asli di dalam terjemahannya karena selama tiga puluh tahun pengembaraannya ia tidak kuasa memindahkan aspek rasa yang tersembunyi di balik kata-kata kunci tertentu dalam dunia spiritual.

Oleh karenanya penting untuk senantiasa merujuk kepada teks asli kitab suci, alhamdulillah Al Qurán senantiasa disajikan dalam teks aslinya. Karena sangat sempit untuk sekedar menerjemahkan "Ad Diin" menjadi agama dalam pemahaman agama yang kebanyakan kita kenal, yaitu sebatas sesuatu yang bersifat ritual dan jarang menyentuh aspek rasa yang dalam. Padahal hanya satu pilar dari tiga pilar agama (Islam , Iman dan Ihsan) yang memproyeksikan ibadah lahiriyah, adapun sisanya betul-betul hal yang kasat mata dan dibutuhkan kemampuan mencecap rasa yang dalam untuk mengidentifikasinya.

Bisa jadi pendalaman makna ad diin yang baru dalam tahap superfisial itu yang mengakibatkan penampilan sekian banyak umat Islam menjadi terasa rigid, tidak fleksibel, kurang terasa merahmati dan jauh dari sifat mengampuni hingga terasa menjadi sumber ketakutan dan ancaman di beberapa titik di muka bumi. Di Indonesia sendiri saya memerhatikan melalui sosial media betapa perbedaan khazanah, pemahaman atau pendapat bisa memicu kekerasan, baik secara verbal maupun yang sudah menjadi kekerasan fisik.

Barangkali ada baiknya kita membuka diri masing-masing untuk terbuka menerima pendapat yang berbeda dan bersedia melihat dari sisi lain, karena bukankah tidak ada sesuatu yang tercipta dengan sia-sia, pun termasuk semua pendapat dan keyakinan yang kita anggap senyeleneh apapun, selama tidak mencederai norma kemasyarakatan dan kemanusiaan ada baiknya kita coba cicipi 'terjemahan' yang berbeda dari setiap orang itu.

Wallahua'lam

Monday, March 7, 2016

Ini Ciri Orang Yang Merdeka

“No one is free who has not obtained the empire of himself. No man is free who cannot command himself.” 
― Pythagoras

Orang yang merdeka adalah mereka yang bebas dari segala jenis perbudakan.
Karena bukan disebut orang yang merdeka apabila ia tidak dapat menentukan arah hidupnya sendiri juga tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan terbebas dari segala pengaruh yang mendominasi.

Orang yang merdeka terbebaskan hatinya dari perasaan malu karena merasa kendaraannya tidak sebagus teman-temannya, atau malu karena rumahnya tidak terletak di kawasan yang elit, atau malu karena belum bisa memakai barang-barang "branded"seperti orang-orang yang dia anggap keren.

Orang yang merdeka terbebas dari rasa takut dari makhluk-Nya. Takut dengan masa depan yang dia anggap tidak tentu, takut dengan masa depan orang yang dicintainya, takut dengan 'apa kata orang' dll yang bersumber dari lemahnya cahaya iman yang ada.

Orang yang merdeka sangat menikmati kehidupannya, warna kehidupan seperti apapun dilakoninya dengan baik, terbebas dari keinginan dipuji orang, biar kelihatan keren, ingin dianggap orang berilmu apapun yang menempatkan dirinya lebih tinggi di banding kebanyakan orang.

Silakan berenung dan mengidentifikasi jaring-jaring mana yang merenggut kemerdekaan kita masing-masing. Yang dengannya jiwa kita kehilangan kendali akan raga sebagai kendaraan kita di dunia dan akibatnya kehidupan kita diombang-ambing untuk sekadar memuaskan hawa nafsu dan syahwat semata tanpa kita sadari.

Sunday, March 6, 2016

Utamakan Memilih Pemimpin Muslim

Sejak kecil orang tua saya memberi contoh yang indah perihal hidup dalam nuansa keberagaman. Kami punya tetangga baik hati beragama Nasrani, hampir setiap minggu Pek Pendeta yang ramah itu berkunjung ke rumah sambil minum teh bersama almarhum ayah dan bertukar cerita dan diskusi tentang agama, dalam diskusi yang panjang itu tidak jarang saya mendengar mereka 'sepakat untuk tidak sepakat' terutama bila menyentuh diskusi bertopik trinitas, tapi mereka senantiasa menjadi teman ngobrol yang baik.

Demikian juga ketika kami pindah rumah, kebetulan ada sekumpulan masyarakat membeli tempat di sebelah kami dan meminta ijin untuk mendirikan gereja, orang tua kami pun tidak berkeberatan dan kami berdampingan secara damai lebih dari dua dekade lamanya hingga detik ini.

Saya secara pribadi berkawan baik dengan siapapun dari agama dan latar belakang apapun. Saya akui saya punya ketertarikan tinggi kepada ajaran Nasrani, tidak jarang saya menonton khotbah yang disampaikan dengan semangat oleh para Evangelist, teman-teman saya selama kuliah di Kedokteran sudah hafal dengan 'gaya khobah'saya yang bernuansa Evangelis. Dan ketertarikan mendalami Kitab-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru semakin besar manakala saya mendapat banyak petunjuk setelah menapaki jalan suluk. Sampai saat ini saya sedang mengerjakan terjemah salah satu manuskrip kuno yang termasuk Perjanjian Lama berjudul Kitab Nabi Idris.

Kembali kepada hubungan saya dengan orang-orang Nasrani dan ajarannya, boleh dikatakan cukup dekat hingga saya sekarang hijrah ke Belanda dengan mudah saya bisa mendapat akses berkala mengikuti kajian dengan jemaat Pentakosta, Evangelist juga Jehovah's Witness.

Penting saya menyampaikan latar belakang dan kondisi kekinian saya, karena merasa harus ikut menyuarakan pendapat saya terhadap sekian banyak pertanyaan mengenai topik memilih siapa yang menjadi Gubernur Jakarta berikutnya dengan tanpa dipersangkai menjadi suatu 'serangan'terhadap keyakinan atau ras tertentu. Adapun saya berharap masih ada orang Muslim yang dianggap mampu, dipercaya dan adil untuk memimpin Ibukota Indonesia untuk bisa lebih menjiwai aspirasi penduduknya yang lebih dari 85% beragama Islam. Wallahua'lam

Wednesday, March 2, 2016

Mati Sebelum Mati

Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang saya pindah dari "comfort zone" di Indonesia untuk berkelana di Negeri Kincir Angin. Memang sekilas terlihat menyenangkan bahkan ada yang berkomentar 'sukses' walau saya tidak merasa demikian. Saya hanya buah catur di ujung tangan Sang Penguasa Alam.
Kepindahan saya ke luar negeri untuk membangun keluarga bersama suami tercinta dengan membawa buah hati kami yang baru berusia kurang dari setahun harus saya akui diiringi rasa gamang, semua orang pasti takut menempuh area yang tidak dikenali. Hingga guru saya memberi dorongan keras dengan berkata "Tessa mubazir tinggal di Indonesia!". Namun saya dengan sadar diri melepaskan karir yang saya sukai dan keluarga serta teman-teman yang saya cintai demi membangun bahtera keluarga dan masa depan bersama.
Tahun 2016 ini genap tiga tahun sudah saya melakoni kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan di Indonesia, dari mulai ngga pernah menginjak dapur hingga bisa bikin bermacam menu masakan setiap hari, yang awalnya pekerjaan rumah tangga banyak dibantu oleh asisten rumah tangga sekarang hampir semua saya kerjakan sendiri plus mengasuh dua anak balita laki-laki yang membutuhkan perhatian yang intensif. Saya yang terbiasa bertemu banyak orang dan memiliki sekian banyak kegiatan sosial seakan 'dilempar' di benua baru yang hanya mengenali satu-dua orang dan harus pede (kalau ngga nekad) berbaur dengan masyarakat sekitar dengan kemampuan bahasa lokal saya yang apa adanya.
Tiga tahun penuh melalui episode 'penguburan eksistensi diri' ternyata memberikan efek yang luar biasa. Karena tiga tahun dalam penempaan diri dan penggerindaan jiwa yang efektif dalam rumah tangga saya rasakan memiliki dampak melebihi dua belas tahun bersuluk yang sekarang saya sadari banyak pengetahuan yang baru diserap baru ke level akal pikiran. Saya lebih mengerti mengapa 'pernikahan' disebut juga sebagai 'jalan kematian'- tanpa bermaksud menakut-nakuti terutama mereka yang masih jomblo. Tapi melalui mekanisme hidup bersama dengan pasangan yang haq terasa betul mekanisme pengasahan jiwa hingga kedalaman yang bahkan saya tidak sadar punya potensi tersebut sebelumnya. Maka dikatakan “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi).
Melalui pernikahan ini identitas kemisian hidup dalam rangka membangun Ad Diin (agama) diri masing-masing mulai terkuak lebar. Banyak variabel lama dan keinginan yang pudar sesuai dengan berjalannya waktu dan diganti dengan variabel baru dengan fokus yang lebih kepada meretas jalan kesejatian diri.
Melalui interaksi bersama pasangan hidup dan kemudian diberi dua buah hati yang menjadi cahaya mata saya mulai belajar menjadi 'tidak ada'.
Mulai menggerus keinginan saya, ambisi saya dan sekian banyak atribut 'kesayaan'yang ternyata banyak menggelantungi jiwa dan membuat ia berat melangkah sebelumnya.
Dalam 'pertapaan' saya di tengah-tengah kesibukan mengasuh anak dan mengurus keluarga yang seolah tiada henti saya merasa seperti benih yang ditenggelamkan ke dalam tanah, persis seperti kalimat yang disampaikan oleh salah satu Syaikh dari Tariqah Syadziliyyah di bawah.
Dunia saya tiba-tiba 'digelapkan', ijazah saya ngga begitu dianggap di sini, pengalaman kerja pun mentah karena kemampuan bahasa lokal yang belum mumpuni dan kalaupun saya hendak meng-upgrade semua kemampuan itu untuk sekadar kuliah atau bekerja lagi ada variabel anak-anak yang masih sangat butuh perhatian khusus. Saya belajar untuk menjadi Putera Sang Waktu dan berjalan mengikuti arus kehidupan yang ada dan mulai menikmatinya. Semoga sang benih mulai bertumbuh dan pada saatnya menghasilkan buah-buahan yang membuat senang Sang Penanam Benih. Aamiin...

---
"Kuburlah eksistensimu di dalam bumi ketiadaan!
Karena segala yang tumbuh namun tidak ditanam dengan baik,
tidak akan sempurna buahnya."
- Al Hikam Pasal 11, Ibnu Athaíllah