Monday, March 28, 2016

Apa Yang Terjadi Pada Saat Pemilihan Pancasila Sebagai Dasar Negara

Tanggal 1 April tentara Amerika menyerbu Okinawa. Tanggal 29 April Kaisar setuju pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tanggal 7 Mei Jerman menyerah. Tanggal 28 Mei Badan Penyelidik mengadakan sidangnya yang pertama di bekas gedung Volksraad. Gedung itu khas berarsitektur Belanda yang berat dan berlebih-lebihan. Ruang yang luas dibagi-bagi menjadi 10 deret. Enam meja kursi terdapat di setiap deretnya. Satu-satunya ang teratur dalam sidang itu hanyalah ruangannya saja. Rapat-rapat yang diselenggarakan benar-benar kacau.

Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan menghadiri sidang dengan masing-masing sebelumnya membuat rencana, aturan dan usul-usul berisi tetek bengek yang menyiksa. Tidak ada yang melakukan koordinasi dengan orang lain. Orang-orang terpelajar yang berpikiran sempit dari Jawa, para pedagang dari Sumatera, para penduduk di pulau-pulau perbatasan, masing-masing tidak memiliki dasar pemikiran yang sama. Saat istirahat dari jam satu sampai jam lima petang, kelompok Islam melakukan pertemuan sendiri, kelompok kebangsaan melakukan pertemuan sendiri, kaum federalis dan pendukung negara kesatuan melakukan pertemuannya masing-masing. Mereka yang menuntut wilayah kami mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda membentuk satu kelompok. Yang lain, yang menuntut wilayah lebih luas lagi atau puas dengan wilayah yang lebih sempit, membentuk kelompok yang lain. Kaum Islam yang ortodoks mendorong bentuk negara berdasarkan Islam. Ada lagi kelompok moderat yang berpandangan bahwa kami sama sekali belum matang untuk memerintah sendiri. Terjadilah silang pendapat yang sengit tanpa ada titik temunya. Selama tiga hari terdapat perbedaan yang besar berkenaan dengan prinsip dasar dari Indonesia Merdeka.

Aku duduk di tengah keributan itu dan membiarkan setiap orang mengeluarkan pendapatnya. Bulu kudukku berdiri ketika mendengarkan setiap orang menguraikan rencana yang mencakup hal-hal paling kecil. Mereka terlalu banyak bicara "seandainya"dan menduga-duga. Dengan cara pandang demikian, tak seorang pun dari kami akan mengalami kemerdekaan sampai masuk lubang kubur. Kalau Jepang memberi kemerdekaan pada kami di hari itu juga, tentulah kami akan berkata, "Nanti dulu ... tunggu sebentar. Kami belum siap."

Aku telah 16 tahun mempersiapkan apa yang hendak kukatakan. Dalam kuburanku yang gelap di Banceuy, prinsip-prinsip yang akan menjadi dasar dari republik sudah mulai tampak dalam pikiranku. Aku tahu, kami tidak dapat mendasarkan bangsa kami pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Juga tidak pada Manifesto Komunis. Kami tidak dapat meminjam pandangan hidup bangsa lain, termasuk Tenno Koodo Seishim dari Jepang. Marhaenisme Indonesia tidak dapat disamakan dengan konsep bangsa lain. Dari tahun ke tahun aku mempertimbangkannya dalam pikiranku.

Di Pulau Flores yang sepi, dimana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.

Di malam sebelum aku akan berbicara di Badan Penelidik, aku pergi ke luar pekarangan rumahku. Seorang diri. Dan aku memandang bintang-bintang di langit. Dan aku kagum pada ciptaan yang sempurna itu. Dan aku meratap pelan-pelan. Kusampaikan kepada Tuhan, "Aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu."

"Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku."

Pada pukul sembilan pagi, seperti biasa, kami bersiap di meja yang memiliki papan nama kami masing-masing. Setelah sidang dibuka, kemudian aku bangkit dan melangkah ke podium marmer yang berada di tempat yang lebih tinggi. Di tempat itu, di antara dua pilar tinggi, dimana pernah berdiri Gubernur Jenderal untuk membuka resmi Volksraad, aku mengupas kelima mutiara berharga: Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Aku menjelaskan, hari depan kami harus berdasar pada Kebangsaan, karena "orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya."

Kemudian aku menguraikan batas-batas dari kebangsaan kami. "Allah SWT membuat peta dunia. Seorang anak kecil pun - jikalau dia melihat peta dunia - dapat menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan kepulauan di antara Samudera Pasifik dan Lautan Hindia dan di antara benua Asia dan Australia. Bangsa Indonesia, karena itu, meliputi semua orang yang tinggal di seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang di ujung utara Sumatera, sampai Merauke di Papua."

Lalu aku menuju kepada mutiara kedua. Internasionalisme. "Itu bukanlah Indonesia Uber Alles."kataku tegas. "Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia. Ingatlah kata-kata Gandhi, saya seorang nasionalis, tapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."

Berpidato tanpa teks, aku mengingatkan mereka untuk melawan pandangan yang tidak benar, yang menganggap ada keunggulan dari bangsa Arya yang berambut jagung dan bermata biru. Dan aku menyampaikan kepada sidang, "Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme."

Mutiara ketiga adalah Demokrasi. Selama berabad-abad negeri kami hidup dengan kebiasaan asli berupa musyawarah dan mufakat. Ini adalah perundingan demokratis model Asia. Sebagai seseorang yang meyakini bahwa kekuatan terletak dalam pemerintahan atas dasar perwakilan, aku berkata, "Kita tidak akan menjadi negara untuk satu orang atau satu golongan"tetapi "Semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu."

"Biarlah orang-orang Islam bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian terbesar dari kursi-kursi Dewan Perwakilan Rakyat diduduki oleh utusan-utusan Islam. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap peraturan dari Negara Indonesia dijiwai Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan adalah orang Kristen. Itu adil!"

"Seperti halnya kita menumbuk dan membersihkan sekam dari padi agar diperoleh beras, biarkan pikiran kita terus-menerus bergosokan satu sama lain."

Tidak terdengar satu suara pun di dalam ruang sidang itu. Bahkan kipas angin yang tergantung di atas berputar tanpa suara. Air mata berlinangan di mata saudara-saudaraku anggota Badan Penyelidik itu.

Mutiara keempat adalah Keadilan Sosial. "Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera karena merasa diayomi oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?"tanyaku.

Yang terakhir adalah Ketuhanan Yang Maha Esa: "Marilah kita menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa", tetapi "Biarkan masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya tiap-tiap orang menjalankan ibadahnya sesuai dengan cara yang dipilihnya. Marilah kita jalankan asas kelima dengan cara yang berkeadaban: Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat-menghormati satu sama lain."

Pidatoku yang memakan waktu lama itu kuakhiri dengan memperkenalkan nama Pancasila, yang "Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan Indonesia tulen, yaitu gotong-royong. Gotong royong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, berjuang bahu-membahu bersama. Amal semua buat kepentingan semua."

"Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah, Saudara-Saudara, yang kuusulkan kepada Saudara-Saudara."

Tepuk tangan terdengar gemuruh. Para anggota berdiri dari kursinya dan menerima falsafah negara yang kuusulkan dengan aklamasi.

(Biografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams)

No comments:

Post a Comment