Wednesday, March 2, 2016

Mati Sebelum Mati

Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang saya pindah dari "comfort zone" di Indonesia untuk berkelana di Negeri Kincir Angin. Memang sekilas terlihat menyenangkan bahkan ada yang berkomentar 'sukses' walau saya tidak merasa demikian. Saya hanya buah catur di ujung tangan Sang Penguasa Alam.
Kepindahan saya ke luar negeri untuk membangun keluarga bersama suami tercinta dengan membawa buah hati kami yang baru berusia kurang dari setahun harus saya akui diiringi rasa gamang, semua orang pasti takut menempuh area yang tidak dikenali. Hingga guru saya memberi dorongan keras dengan berkata "Tessa mubazir tinggal di Indonesia!". Namun saya dengan sadar diri melepaskan karir yang saya sukai dan keluarga serta teman-teman yang saya cintai demi membangun bahtera keluarga dan masa depan bersama.
Tahun 2016 ini genap tiga tahun sudah saya melakoni kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan di Indonesia, dari mulai ngga pernah menginjak dapur hingga bisa bikin bermacam menu masakan setiap hari, yang awalnya pekerjaan rumah tangga banyak dibantu oleh asisten rumah tangga sekarang hampir semua saya kerjakan sendiri plus mengasuh dua anak balita laki-laki yang membutuhkan perhatian yang intensif. Saya yang terbiasa bertemu banyak orang dan memiliki sekian banyak kegiatan sosial seakan 'dilempar' di benua baru yang hanya mengenali satu-dua orang dan harus pede (kalau ngga nekad) berbaur dengan masyarakat sekitar dengan kemampuan bahasa lokal saya yang apa adanya.
Tiga tahun penuh melalui episode 'penguburan eksistensi diri' ternyata memberikan efek yang luar biasa. Karena tiga tahun dalam penempaan diri dan penggerindaan jiwa yang efektif dalam rumah tangga saya rasakan memiliki dampak melebihi dua belas tahun bersuluk yang sekarang saya sadari banyak pengetahuan yang baru diserap baru ke level akal pikiran. Saya lebih mengerti mengapa 'pernikahan' disebut juga sebagai 'jalan kematian'- tanpa bermaksud menakut-nakuti terutama mereka yang masih jomblo. Tapi melalui mekanisme hidup bersama dengan pasangan yang haq terasa betul mekanisme pengasahan jiwa hingga kedalaman yang bahkan saya tidak sadar punya potensi tersebut sebelumnya. Maka dikatakan “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi).
Melalui pernikahan ini identitas kemisian hidup dalam rangka membangun Ad Diin (agama) diri masing-masing mulai terkuak lebar. Banyak variabel lama dan keinginan yang pudar sesuai dengan berjalannya waktu dan diganti dengan variabel baru dengan fokus yang lebih kepada meretas jalan kesejatian diri.
Melalui interaksi bersama pasangan hidup dan kemudian diberi dua buah hati yang menjadi cahaya mata saya mulai belajar menjadi 'tidak ada'.
Mulai menggerus keinginan saya, ambisi saya dan sekian banyak atribut 'kesayaan'yang ternyata banyak menggelantungi jiwa dan membuat ia berat melangkah sebelumnya.
Dalam 'pertapaan' saya di tengah-tengah kesibukan mengasuh anak dan mengurus keluarga yang seolah tiada henti saya merasa seperti benih yang ditenggelamkan ke dalam tanah, persis seperti kalimat yang disampaikan oleh salah satu Syaikh dari Tariqah Syadziliyyah di bawah.
Dunia saya tiba-tiba 'digelapkan', ijazah saya ngga begitu dianggap di sini, pengalaman kerja pun mentah karena kemampuan bahasa lokal yang belum mumpuni dan kalaupun saya hendak meng-upgrade semua kemampuan itu untuk sekadar kuliah atau bekerja lagi ada variabel anak-anak yang masih sangat butuh perhatian khusus. Saya belajar untuk menjadi Putera Sang Waktu dan berjalan mengikuti arus kehidupan yang ada dan mulai menikmatinya. Semoga sang benih mulai bertumbuh dan pada saatnya menghasilkan buah-buahan yang membuat senang Sang Penanam Benih. Aamiin...

---
"Kuburlah eksistensimu di dalam bumi ketiadaan!
Karena segala yang tumbuh namun tidak ditanam dengan baik,
tidak akan sempurna buahnya."
- Al Hikam Pasal 11, Ibnu AthaĆ­llah

No comments:

Post a Comment