Saturday, May 18, 2013

Tiga Cerita Tentang Diskriminasi

Kamus Oxford memberi batasan tentang diskriminasi sebagai suatu perlakuan yang tidak adil atau 'prejudicial' khususnya berkaitan dengan ras, usia atau jenis kelamin.

Saya punya tiga kisah menarik berkaitan dengan perlakuan yang tidak adil semata-mata karena ras atau warna kulit berbeda yang didapatkan dari teman baik saya. Kurang lebih begini ceritanya ...

Cerita Pertama
Seorang wanita Amerika bersama suaminya sedang mengantri di supermarket di suatu negeri di Timur Tengah ketika tiba-tiba wanita lain -yang tampak dari pakaian dan wajahnya seperti orang lokal- mendekatinya dan menyuruh wanita itu dengan kasar untuk minggir dari antrian sehingga ia bisa lebih dulu dilayani. Sang perempuan Amerika yang 'tahu aturan' ini pun tidak serta merta menuruti kemauan aneh bin ajaib si perempuan itu, dibantu oleh suaminya yang padahal nota bene orang Timur Tengah juga, mereka memperjuangkan 'nasibnya', terjadilah perang mulut sengit yang berakhir dengan dorong mendorong dan mengakibatkan luka memar di tubuh sang wanita Amerika.

Pak satpam pun datang melerai. Akan tetapi ketika wanita Amerika dan suaminya ini menjelaskan duduk perkara dengan harapan mendapat pembelaan dari sang petugas keamanan, jawabn yang didapat cukup membuat mulut menganga, dia bilang 'bapak ibu sabar aja ya kalau melawan pun ngga akan menang di sini mah, orang lokal selalu menang!'

Memang perilaku kasar dari beberapa penduduk di negara ini sudah saya dengan sejak lama, teman saya yang dokter pun tidak bertahan lama bekerja di sana karena mendapat perlakuan yang buruk. Konon selain orang Arab you are nobody there and deserve to get treatment like a slave...*rolling eyes*

Cerita Kedua
Sebut saja namanya Oscar, dia adalah orang asli Belanda yang jatuh cinta dengan keramahan Indonesia, hingga dalam 10 tahun terakhir dia selalu menyisihkan gajinya untuk bisa liburan keliling Indonesia. Satu hal katanya yang tidak ia sukai dari perilaku beberapa orang Indonesia yang mendiskriminasikan bule.

Ceritanya Oscar suatu hari belanja suatu barang di toko A dan dikatakan harga barangnya 70 ribu rupiah, terjadilah tawar menawar dan Oscar pulang dengan wajah sumringah karena berhasil menawar harga barang menjadi 50 ribu rupiah. Beberapa hari kemudian barang yang sama dibutuhkan tapi kali ini yang membeli adalah istrinya Oscar yang orang Indonesia asli, bisa ditebak ceritanya?
Pulang dari toko istrinya Oscar ngomel-ngomel karena dia mendapatkan barang yang persis sama dengan harga 10 ribu saja...*gubrak!*

Pengalaman lain yang bikin gondok Oscar adalah waktu dia diajak mertuanya makan di warteg ;) saat mereka selesai makan kagetlah sang ayah mertua - yang biasa dengan tarif warteg- karena jumlah yang ditagihkan ke menantunya yang bule jauh di atas harga standar.

Cerita Ketiga
Kisah ini terjadi di negerinya Hans Christian Andersen. Tersebutlah dua orang perempuan Indonesia sedang asyik ngerumpi di dalam bus dalam bahasa persatuan (meminjam istilah Sumpah Pemuda). Sedang asyik-asyik ngobrol tiba-tiba seorang nenek -penduduk asli sana- menghampiri dan menghardik mereka dengan keras 'hei, kamu kalau mau tinggal di sini ngomong pake bahasa Denmark dong!', dalam bahasa Denmark yang mereka mengerti dan meninggalkan kedua perempuan itu melongo.

Beberapa teman yang tinggal di negeri ini ternyata juga mendapatkan perlakuan diskriminatif serupa, tidak jarang dari mereka yang ngga betah dan ingin pindah ke tempat lain yang lebih welcome, uhmm..seperti Amsterdam, particularly in Reigersbos area hehe (sambil ngomporin auntie dipsie dan maria untuk pindah ke Belanda jika dimudahkan ;)

Menarik menyaksikan bahwa perlakuan tidak adil itu bisa terjadi di mana-mana...
Bercermin dari kisah-kisah itu, menemukan orang yang baik hati dan hangat itu memang suatu anugerah yang tak terkira ya :)

Groningen, 18 May 2013
4.14 pm

Saturday, May 4, 2013

Agar Dimi'rajkan Dalam Kehidupan

Kisah tentang perjalanan Isra' Mi'raj Rasulullah saw sering kita dengar setiap tahun apalagi menjelang perayaan Isra' Mi'raj, selama bertahun-tahun lamanya kisah itu mampir di dalam imajinasi saya dan bahkan untuk berpikir bisakah saya isra' mi'raj bagaikan sebuah utopia semata. Benarkah demikian?
Di sisi lain, Rasulullah sebagai uswatun hasanah, contoh yang baik, semestinya bisa ditiru oleh umatnya, i mean logically speaking, untuk apa seorang rasul mendemonstrasikan sesuatu yang tidak mendatangkan kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh umatnya?

Isra' dan Mi'raj ternyata adalah sebuah tahapan yang sudah-sedang dan akan dilalui oleh setiap insan yang Ia ijinkan. Isra' yang artinya berjalan di muka bumi untuk kemudian dipersiapkan untuk melangit dalam sebuah mi'raj. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Surat Fushshilat "Allah mengkadar dan menciptakan bumi dengan berbagai makanannya, baru kemudian Allah bergerak kepada penciptaan langit"
Kehidupan Rasulullah saw yang lahir sebagai seorang yatim dan tak lama kemudian kehilangan ibunya juga, lalu diasuh oleh kakeknya, kemudian oleh pamannya, menikah dengan Siti Khadijah dan pada akhirnya kehilangan mereka semua dalam sebuah tahun yang disebut 'Tahun Duka Cita' adalah sebuah pengkadaran bumi bagi Allah, rangkaian dari isra'-nya Rasulullah untuk kemudian Allah anugerahkan mi'raj, sebuah proses pengembangan tujuh langit dalam diri Rasulullah, manakala beliau naik ke lelangit dan bertemu Allah Ta'ala di Sidratul Muntaha, dan beliau tidak tinggal di sana, akan tetapi turun kembali ke bumi dengan membawa kesadaran baru.

Kita pun semua sedang di isra'kan dalam kehidupan dengan semua ketetapan Allah yang telah disematkan dalam garis-garis kehidupan masing-masing. Orang tua kita, saudara kita, masa lalu kita, pekerjaan kita sekarang, pasangan kita saat ini, serta berbagai kadar-kadar kehidupan kita hari ini adalah bahan baku yang bisa melontarkan kita untuk mi'raj ke langitnya dalam setiap harinya, bukankah dikatakan bahwa "Shalat adalah mi'rajnya orang mukmin"?

Dalam kenyataannya memang saya sendiri merasa belum layak untuk dimi'rajkan, lha wong menjalani isra' saja masih keteteran, sekadar menjalani kehidupan dengan penyerahan diri yang baik dan menerima  ketetapanNya dengan senyuman di hati saja masih pontang-panting. Masih banyak sekian raksasa dalam diri yang harus ditertibkan, ditundukkan dalam sujud kepada-Nya. Saat cermin hati kita masih bergejolak oleh sekian fenomena kehidupan, takut ini-itu, khawatir ini-itu, gelisah, galau, over excited, terlalu ngoyo dsb rasanya saat itu pijakan kaki kita sedang tidak ajeg di bumi, alih-alih bisa melakukan isra' - perjalanan di bumi, untuk berdiri tegak saja kita masih limbung.

Seorang bijak dari Garut pernah berpesan kepada saya, "Seorang yang beriman itu hatinya seperti permukaan air yang tenang", riak apapun yang menggetarkan air akan hilang dengan cepat dan air yang tenang pun bisa menjadi cermin kembali untuk memantulkan cahaya-Nya.

Semoga tulisan ini menjadi doa, permohonan kepada Yang Maha Kasih, agar berkenan membuat hati kita tenang dalam menjalani kehidupan, agar bisa isra' dengan baik, hingga dengan ijin-Nya kita bisa dimi'rajkan oleh-Nya. Aamiin.

Amsterdam, 5 Mei 2013
6.45 am