Saturday, May 4, 2013

Agar Dimi'rajkan Dalam Kehidupan

Kisah tentang perjalanan Isra' Mi'raj Rasulullah saw sering kita dengar setiap tahun apalagi menjelang perayaan Isra' Mi'raj, selama bertahun-tahun lamanya kisah itu mampir di dalam imajinasi saya dan bahkan untuk berpikir bisakah saya isra' mi'raj bagaikan sebuah utopia semata. Benarkah demikian?
Di sisi lain, Rasulullah sebagai uswatun hasanah, contoh yang baik, semestinya bisa ditiru oleh umatnya, i mean logically speaking, untuk apa seorang rasul mendemonstrasikan sesuatu yang tidak mendatangkan kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh umatnya?

Isra' dan Mi'raj ternyata adalah sebuah tahapan yang sudah-sedang dan akan dilalui oleh setiap insan yang Ia ijinkan. Isra' yang artinya berjalan di muka bumi untuk kemudian dipersiapkan untuk melangit dalam sebuah mi'raj. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Surat Fushshilat "Allah mengkadar dan menciptakan bumi dengan berbagai makanannya, baru kemudian Allah bergerak kepada penciptaan langit"
Kehidupan Rasulullah saw yang lahir sebagai seorang yatim dan tak lama kemudian kehilangan ibunya juga, lalu diasuh oleh kakeknya, kemudian oleh pamannya, menikah dengan Siti Khadijah dan pada akhirnya kehilangan mereka semua dalam sebuah tahun yang disebut 'Tahun Duka Cita' adalah sebuah pengkadaran bumi bagi Allah, rangkaian dari isra'-nya Rasulullah untuk kemudian Allah anugerahkan mi'raj, sebuah proses pengembangan tujuh langit dalam diri Rasulullah, manakala beliau naik ke lelangit dan bertemu Allah Ta'ala di Sidratul Muntaha, dan beliau tidak tinggal di sana, akan tetapi turun kembali ke bumi dengan membawa kesadaran baru.

Kita pun semua sedang di isra'kan dalam kehidupan dengan semua ketetapan Allah yang telah disematkan dalam garis-garis kehidupan masing-masing. Orang tua kita, saudara kita, masa lalu kita, pekerjaan kita sekarang, pasangan kita saat ini, serta berbagai kadar-kadar kehidupan kita hari ini adalah bahan baku yang bisa melontarkan kita untuk mi'raj ke langitnya dalam setiap harinya, bukankah dikatakan bahwa "Shalat adalah mi'rajnya orang mukmin"?

Dalam kenyataannya memang saya sendiri merasa belum layak untuk dimi'rajkan, lha wong menjalani isra' saja masih keteteran, sekadar menjalani kehidupan dengan penyerahan diri yang baik dan menerima  ketetapanNya dengan senyuman di hati saja masih pontang-panting. Masih banyak sekian raksasa dalam diri yang harus ditertibkan, ditundukkan dalam sujud kepada-Nya. Saat cermin hati kita masih bergejolak oleh sekian fenomena kehidupan, takut ini-itu, khawatir ini-itu, gelisah, galau, over excited, terlalu ngoyo dsb rasanya saat itu pijakan kaki kita sedang tidak ajeg di bumi, alih-alih bisa melakukan isra' - perjalanan di bumi, untuk berdiri tegak saja kita masih limbung.

Seorang bijak dari Garut pernah berpesan kepada saya, "Seorang yang beriman itu hatinya seperti permukaan air yang tenang", riak apapun yang menggetarkan air akan hilang dengan cepat dan air yang tenang pun bisa menjadi cermin kembali untuk memantulkan cahaya-Nya.

Semoga tulisan ini menjadi doa, permohonan kepada Yang Maha Kasih, agar berkenan membuat hati kita tenang dalam menjalani kehidupan, agar bisa isra' dengan baik, hingga dengan ijin-Nya kita bisa dimi'rajkan oleh-Nya. Aamiin.

Amsterdam, 5 Mei 2013
6.45 am

No comments:

Post a Comment