Sunday, October 11, 2015

11.11 Malam Waktu Amsterdam

11.11 malam waktu Amsterdam.
Musim gugur, hujan dan angin dingin - typical dutch's weather.

Aku duduk di dalam kereta metro dari Weesperplein ke Gein.
Acara Amsterdam Mamas book club baru berakhir, diskusi seru dalam suasana hangat membuat otakku masih terasa hangat sehingga ia terasa masih segar tanpa perlu boosting kafein dalam kopi.

Kulihat wajah-wajah lelah dalam kereta.
Sebagian besar mencoba menenggelamkan diri dengan gadgetna masing-masing: mencari tahu berita terbaru apa, membuka pesan di facebook dan ada pula yang bermain game.

Wajah-wajah lelah setelah bergulat dengan aktivitas seharian; mungkin ada yang dikejar deadline kantor sehingga pulang selarut ini, mungkin ada yang kerja shift malam, bisa jadi ada yang sekedar pulang dari meet up seperti saya.

Setiap wajah punya persona dan ceritanya masing-masing.
Masing-masing adalah ciptaan agung yang Dia ciptakan dengan kedua tangannya.
Tidak ada yang kecil dalam hidup seorang insan.
Karena setiap orang - tanpa kecuali terlahir dengan potensi yang mulia.
Untuk memantulkan refleksi Dia, Yang rindu untuk dikenal...

Tuesday, August 25, 2015

A Little Speech From The Heart

Hari ini saya mengikuti Oudersbijeenkomst, pertemuan orang tua murid dan guru bulanan yang memilih topik "...". Di akhir sesi setiap orang tua dipersilahkan mengungkapkan apa kesan dan pelajaran yang didapatkan pada pertemuan hari ini. Karena Bahasa Belanda saya tidak begitu lancar, saya memilih mengungkapkan dalam bahasa Inggris, sambil terlebih dahulu minta maaf karena belum mahir berekspresi dalam Bahasa Belanda dan tidak sedikit orang tua yang menganggukkan kepalanya tanda empati dan mempersilakan saya untuk bicara apa adanya.

So I said this, "When I walked in this room and followed the session, I'm impressed by the sheer enthusiasm and passion that you all shared. I believe we all love our children and that we want them to become a better person. And that is enough for me...". Saya mengatakan itu dari lubuk hati saya seraya mencoba menatap mata mereka yang hadir satu per satu. Dan saya bisa merasakan koneksi saat mereka mendengarkan saya dan saat saya selesai berbicara mereka terdiam beberapa detik untuk kemudian serempak memberikan standin ovation, sesuatu yang saya tidak duga sama sekali. I guess a speech from the heart really touches heart as well...

Amsterdam, 25 Agustus 2015

Paper Towns

Quentin jatuh cinta pada pandangan pertama sejak Margo datang ke kota Orlando dan tinggal tepat di depan rumahnya. 

Margo adalah gadis pemberani dan penuh kejutan, sangat berbeda dengan Quentin yang selalu mengikuti aturan dan cenderung living a 'boring' life. 

Selama bertahun-tahun Quentin memendam rasa untuk Margo tapi tak jua diutarakan. Quentin merasa ia punya dunia yang berbeda denganya dan sedikit tidak percaya diri di hadapan Margo, anak gaul yang hampir menjadi queen of the prom, sampai ketika Jens, pacarnya ketahuan memacari perempuan lain.

It was the last week at high school, everybody was prepared and excited to go to the prom. Pada suatu malam Margo membawa Quentin ke petualangan yang tidak akan pernah dilupakannya. Dan keesokan harinya Margo hilang selama berhari-hari. Orang tua Margo mulai melibatkan polisi namun juga sudah skeptis dengan kepergian Margo seraya mengatakan bahwa ini sudah kelima kalinya ia melarikan diri dari rumah.

Quentin tersentak mendengar perkataan orang tua Margo yang menganggap anaknya tidak lain hanya pembuat onar. Yes, the very same girl who beat his heart faster and took him to the moon and back, ternyata hanya dipandang sebelah mata oleh orang tuanya, orang-orang terdekatnya.

Kepergian Margo meninggalkan tanda tanya besar bagi Quentin, hatinya terasa tercerabut justru pada saat ia merasa mulai merasakan kehidupan baru. Berbekal keping-keping petunjuk, Quentin akhirnya menemukan Margo, dengan bantuan sahabat-sahabatnya, mereka menempuh perjalanan dari Orlando ke sebuah kota kecil, disebut dengan paper towns, bernama Agloe.

Yang menarik dari film ini adalah akhir yang tidak seperti kebanyakan typical Hollywood happy ending. Quentin dan Margo berpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing. 

-----
Quentin: "so what's your plan?"
Margo: "I don't know, but I'm excited to find out."

Kita seringkali merasa kita tahu apa yang harus kita lakukan, tanpa berhenti sejenak dan mempertanyakan. Is this what I really want? Or is this what I should want?

Sejak di dalam kandungan, otak raga kita terbiasa menyerap informasi apapun yang dipaparkan lingkungan sekitar. Itu sebabnya banyak ibu yang mulai memperdengarkan lagu-lagu klasik pada janinnya dengan keyakinan hal itu bisa boosting perkembangan otak anak. Tidak hanya itu segala gejolak emosi ibu dikatakan berpengaruh kepada perkembangan janin. Otak manusia adalah seperti sponge, ia menyerap apapun yang dihidangkan di hadapannya. Oleh karena itu lingkungan sekitar sangat berperan membentuk seseorang: kesukaannya, preferensi musik, gaya rambut, cara berpakaian, buku atau film favorit, pekerjaan yang diinginkan hingga selera terhadap lawan jenis. 

"Tiga lapis kegelapan", demikian Al Qur'an (QS Az ZUmaar : 6) menjelaskan proses penghijaban jiwa insan yang merekam jelas kejadian di alam alastu, momen persaksian terhadap Sang Pencipta dan manakala setiap jiwa dikalungkan ke setiap lehernya ihwal misi hidup atau amanah yang sepatutnya dikerjakan di muka bumi. Lapis kegelapan pertama adalah yang paling dekat dengan dirinya yaitu raga insan yang menjadi kendaraan jiwa untuk menjalankan perannya. Lapis kegelapan kedua adalah sifat-sifat yang diturunkan oleh kedua orang tuanya, bisa jadi karena karakter bawaan atau sesuatu yang terbentuk saat tumbuh kembang. Adqapun lapis kegelapan yang ketiga adalah lingkungan dan dunia sekitarnya, mulai dari lingkungan terdekat di keluarga, pengasuh, teman-teman sekolah atau kantor juga tetangga dan segala kejadian serta orang-orang yang ditakdirkan beririsan kehidupannya dengan kita. Semua bercampur satu dan membentuk persona yang kita kenal per saat ini, tapi siapa sebenarnya diri kita? Dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup di dunia? Apakah sekadar singgah dan mencari kehidupan layak and have an happy ending ala fairy tales? Seriously, who are we? Who am I?

Itu pertanyaan yang berkelibat dan membuat saya sulit tidur bermalam-malam sejak saya menginjak usia 13 tahun. Sejak itu saya membuka buku-buku agama dan menghadiri berbagai forum pengajian. Menelisik lebih jauh tentang ide "life after death" yang banyak menginspirasi saya hingga sekarang. Perjalanan batin yang menuntun saya menemukan sang guru sejati yang membuat segala kegelisahan saya mulai redam dan diajarkan melihat keping demi keping puzzle kehidupan sebagai suatu pesan yang suci dan penuh cinta dari Sang Maha Pencipta.

Dua puluh dua tahun telah berlalu, sang gadis kecil telah melalui sekian banyak fase pembelajaran dari-Nya. Banyak hal berubah, namun pertanyaan yang sama senantiasa bergaung. "Who am I?"

Amsterdam, 25 Agustus 2015

Friday, August 7, 2015

"Messy Life"

Anak-anak suka "messy play".
Berikan mereka ruang dan peralatan yang baik untuk mengeksplorasi indera dan mereka akan asyik sendiri. Setelah itu ajarkan mereka untuk ikut beres-beres bersama, walau dalam praktiknya seringkali mereka malah bikin makin berantakan, tapi ya namanya juga proses pembelajaran.

Dalam ilmu perkembangan anak, proses "messy play" ini penting untuk merangsang sensorik-motorik mereka. Saat tangan mungil sang buah hati menyendok sesuatu pada tahap awal makanan lebih banyak yang berceceran di sekitar piring dibandingkan yang masuk ke dalam mulutnya. Tapi itu cara anak belajar.

Tampaknya demikian juga ketika Tuhan membiarkan hamba-hamba-Nya belajar dalam kehidupan. Setiap orang punya "messy episode" di dalam hidupnya masing-masing. Perbuatan, perkataan atau tindakan yang membuat kita malu untuk membicarakannya, menyesal sangat dalam atau sedemikian "messy"nya sehingga andai saja bagian itu bisa dihapus dari catatan hidup kita. Sesuatu yang sebenarnya tanpa setiap jejak langkah itu kita tidak akan menjadi diri kita yang sekarang ini.

Ternyata kalau ditilik-tilik, "our messy life" may not be messy at all.
“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagi anda. Mintalah pertolongan kepada Allah. Jangan lemah. Ketika anda tertimpa sesuatu, janganlah anda berucap: ‘Seandainya aku begini dan begitu pastilah jadinya begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah: ‘Ini telah Allah tentukan berdasarkan apa yang Dia kehendaki.’ Karena ungkapan “Seandainya/sekiranya/jika” akan membuka amalan syaithan.”
(Diriwayatkan oleh Muslim 2664)
Semuanya bagian dari pendidikan Ilahiyah.

Sunday, August 2, 2015

Kembali Ke Asal

Manusia tampaknya cenderung mencari tahu asal muasalnya dan merasakan kenyamanan semakin mendekati asal dirinya. Itu kenapa tradisi berkumpul bersama orang tua dan keluarga dalam berbagai momen seperti idul fitri, natal, tahun baru, thanksgiving, deepavali dsb adalah salah satu yang dinanti-nanti. Karena kita sejenak meretas kembali jalan menuju asal. Orang tua yang melalui mereka kita dilahirkan ke dunia.
Mengetahui asal muasal ternyata hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Saya mendapat kesan yang dalam tentang hal ini saat menyaksikan tayangan wawancara dengan seorang komedian terkenal di Belanda yang asal Indonesia - diadopsi sejak bayi oleh suami istri orang Belanda karena orang tuanya tidak mampu membersarkan dia. Namun saat ia beranjak remaja mulai muncul pertanyaan, "saya anak siapa?" karena jelas lewat kulitnya yang sawo matang dan perawakan khas Asia berbeda dengan kedua orang tuanya yang kulit putih. I mean this guy is a comedian, a funny one yang profesinya membuat orang tertawa. Namun dalam satu penggal dalam wawancara yang berkaitan dengan ibu kandungnya, lidahnya mulai kelu, suaranya parau dan air mata mengalir di pipinya. Dia ungkapkan selalu ada perasaan ingin tahu siapa orang tua kandungnya, walaupun orang tua yang membesarkan dia super baik. Ya, tampaknya manusia memang selalu ingin kembali ke asalnya masing-masing, walau sekedar sekeping informasi yang membuatnya lebih mengetahui asal muasalnya.
Lebaran, adalah momen kembali ke fitrah.
Asal jati diri kita masing-masing.
Momen yang pas saat kita bersuka ria bercengkrama bersama handai taulan, bercermin kembali tentang asal muasal kita. Keluarga tempat raga kita dititipkan.
Dan jiwa kita? Dari mana dia berasal...
Selamat berlebaran! taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum heart emoticon

"Sungguh Hamba Malu..."

Duh Tuhan, sesungguhnya hamba malu...
Malu saat berucap "inni wajahtu..." - kuhadapkan wajahku kepada-Mu - dalam shalatku yang seringkali tak khusyu itu.
Menyadari wajahku seringkali kuhadapkan kepada obyek-obyek selain-Mu.
Sasaran pandangku seringkali pada kepentingan memenuhi keinginan berbau hawa nafsu dan syahwat.
Yang mendominasi pikiranku kebanyakan bagaimana menikmati hidup dan menjauhi serta mengakali sebisa mungkin kepayahan mengerjakan amanah-Mu.
Yang menjadi tujuan hidupku adalah kesuksesan hidup di mata orang banyak dan karenanya aku habiskan waktu-waktu yang Engkau berikan kepadaku untuk mengejar keinginan menjadi sukses agar orang tua, handai taulan, tetangga, teman kantor dan orang-orang sekitar berdecak kagum dan bangga kepadaku. Sedemikian rupa sehingga aku melupakan misi hidup yang Engkau kalungkan saat jiwaku Engkau tiupkan ke dalam rahim ibunda.
Sungguh Tuhan aku malu...
Malu saat berucap dalam shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam"
Padahal Engkau paling tahu ada sedemikian banyak obyek-obyek kecintaan kepada selain diri-Mu dalam hati ini.
Engkau sebenarnya tahu, shalatku kadang sebatas menggugurkan kewajiban saja.
Engkau pasti tahu hidupku tertambat pada cinta kepada makhluk-makhlukmu.
Dan Engkau pun Maha Tahu, trilyunan keinginan yang bising di dalam hati yang jika hamba mati saat ini mereka juga terbawa mati.
Tetapi Engkau Maha baik,
Walaupun penghadapan hamba adalah penghadapan yang tidak sepenuh hati.
Walaupun keikhlasan masih jauh dari diri.
Walaupun persembahan hamba masih berupa koin palsu.
Engkau masih setia menjawab dan berkata "Aku disini hambaKu"
Engkau masih meminjamkan nafas dan kehidupan dengan fasilitas yang mewah ini.
Lalu bagaimana hatiku tidak luluh menerima semua keberlimpahan kebaikan dari-Mu ini?
Jadi Tuhanku yang Maha Baik,
Mohon terimalah persembahanku yang ala kadarnya ini.
I know it's far from perfect.
Tapi ijinkan hamba berkata, di antara sekian banyak hal yang kusekutukan Engkau, semoga sebutir pasir persembahan ini untuk-Mu semata.
Wahai Yang Maha Kasih...
With love,
Yours faithfully
Katwijk aan zee, 11 Juli 2015
6.50

Perempuan Dan Laki-Laki

Perempuan itu beda dengan laki-laki. Tidak hanya secara fisik, naluri, emosi juga yang terpenting sesuatu yang berkaitan dengan fitrah diri, sesuatu yang dikalungkan di leher kita masing-masing. Hal yang Jalaluddin Rumi dengan indah sampaikan dalam puisinya, "...There is one thing in this world that must not ever be forgotten. If you were to forget all else, but did not forget that, then you would have no reason to worry..."
Saya terlahir dalam jasad seorang perempuan. Namun saya merasa kurang mendapatkan pendidikan yang laik untuk mempersiapkan diri menyongsong pekerjaan paling berat dalam kancah hidup manusia, yaitu merawat dan mendidik anak. Saya teropong balik semua jenjang pendidikan yang saya lalui, memang pernah ada pelajaran 'keputrian' saat SD dan SMP sebatas masak bareng, menjahit dan merajut (yang gagal total buat saya- karena ternyata motorik halus saya kurang baik). Tapi dibutuhkan kualitas lain dari sekedar pintar masak dan jahit untuk jadi seorang ibu (dan istri). Dan saya pikir ini lebih mendasar. Kualitas kesabaran, kelembutan, ketangguhan menjalankan segunung pekerjaan sehari-hari yang seringkali tampak tiada akhir.
Saya baru merasakan beratnya pekerjaan seorang ibu terutama ketika hidup di negeri yang jauh dari keluarga - dan praktis tanpa bantuan asisten rumah tangga. I was not trained to do this. I think this is a huge gap in our education, kelalaian mempersiapkan pendidikan bagi orang yang paling bertanggung jawab bagi pembinaan generasi penerus kita, para perempuan!
Perempuan itu beda dengan laki-laki. Tapi pendidikan umum dan pekerjaan menyeret kami (kaum perempuan) harus berkompetisi dan perform sebagai laiknya laki-laki. This feels not right. Perempuan tidak seharusnya berkompetisi dengan laki-laki, kita adalah partner yang sejajar, kita saling mengisi dan bekerja sama.
Perempuan itu beda dengan laki-laki. Lihatlah perjuangan para perempuan yang bekerja sambil mengasuh buah hatinya yang baru dilahirkan, dia bersembunyi di sela-sela kegiatan kerja memeras susu untuk anaknya. Malam hari dia sukarela mengurangi jam-jam istirahatnya untuk memberi sang buah hati makanan yang ia anggap terbaik. Belum lagi aktivitas memasak, dan lain-lain pekerjaan rumah yang entah kenapa lebih lekat dikerjakan oleh kaum perempuan.
Perempuan itu beda dengan laki-laki. Karena dia punya rahim yang darinya ia lahirkan anak-anak penerus peradaban. Dan kualitas rahim (kasih sayang dan kelembutan) itu adalah kualitas utama yang anak-anak butuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Karen seorang perempuan (ibu) punya tugas utama yang mulia - mendidik anaknya- selaiknya pemerintah, perusahaan besar dan masyarakat membantu ia untuk bisa menjalankan tugas utamanya dengan baik sembari memberi kesempatan bagi sang perempuan untuk mengaktualisasi dirinya. Beri dia pendidikan dan pelatihan yang layak untuk menjadi ibu. Beri dia keluangan untuk menyusui bayinya dengan tenang dengan memberikan masa cuti minimal 6 bulan. Beri dia keleluasaan untuk memilih pekerjaan paruh waktu (20 jam per minggu) agar ia bisa lebih banyak meluangkan waktu dengan anak-anaknya. Bikinkan tempat penitipan yang baik dan dekat dengan tempat ia bekerja. Dan tentu, beri perempuan-perempuan yang berpotensi besar ini kesempatan untuk mengembangkan diri - (dan pada akhirnya) tempat kerjanya masing-masing. Dan sudilah kiranya pemerintah menyisihkan dananya untuk mensubsidi para ibu (dan orang tua) agar mereka tidak terlalu terbelenggu oleh rantai 'pemenuhan kebutuhan anak dan sehari-hari' yang bisa mencerabut mereka dari waktu-waktu berharga bersama anak-anaknya.
"Perempuan adalah tiang negara" - Rasulullah saw.
Saya perhatikan negara-negara yang mempunyai sistem yang baik untuk mengedukasi perempuannya dan memberikan iklim yang kondusif agar mereka bisa merawat anak juga bekerja (kalau mereka mau) dan kalau mereka memilih untuk mengurus anak-anaknya secara intensif maka pemerintah akan memberikan tunjangan buat ibu dan anak - rata-rata mereka punya ekonomi yang kuat, masyarakat yang tertib dan damai. Bukti hadits kanjeng Rasulullah saw, negara yang mampu me-manage perempuannya dengan lebih baik terbukti lebih unggul. Masih ada asa untuk Indonesia! Kembalikan 'kedaulatan' dan keluhuran perempuan sesuai dengan fitrahnya. Semoga generasi yang akan datang lebih baik lagi...
Amsterdam, 2 Juli 2014
- renungan di akhir hari di bulan Ramadhan, sambil menyaksikan dua buah hati yang tertidur lelap heart emoticon

Monday, June 29, 2015

Ramadhan Mengajari Kita Untuk Diam

Ibnu 'Arabi dalam Futuhat al-Makkiyya mengatakan, 
"Tidak ada (ibadah) seperti puasa..."
Karena berbeda dengan ibadah lain yang bersifat aktif, puasa justru melatih manusia untuk berdiam diri, diawali dengan mendiamkan hal-hal yang fisik; menahan mulut dari makan dan minum sepanjang hari dan juga menahan syahwat. Kemudian diharapkan sang hamba beranjak mendiamkan hal-hal yang bersifat batin, seperti pikirannya yang bercabang-cabang dan penuhdengan keinginan ini dan itu, mendiamkan amarah, emosi dan sakit hati masa lalu serta sekian banyak hal yang berkecamuk dalam hati.
Kenapa sangat penting melatih diri untuk berdiam diri?
Karena manusia seyogyanya adalah makhluk satu-satunya yang dapat memantulkan kualitas-kualitas Allah Ta'ala dengan sempurna. Seperti air yang tenang dan diam sedemikian rupa sehingga bisa memantulkan bayangan dengan sempurna. Lain halnya apabila airnya beriak, maka bayangan yang muncul di permukaan air pun akan buyar.
Ramadhan melatih hati sang hamba menjadi seperti air yang tenang, tidak beriak, tidak cemas, tidak grasa-grusu, tidak dikuasai oleh lintasan perasaan dan emosi sesaat ataupun keinginan dihormati orang, dipandang sukses, takut dibilang gagal dan bertrilyunan aktivitas di dalam hati manusia.
"Shaum itu untuk-Ku"
Pesan Sang Maha Kasih bagi hamba-Nya.
Dia yang telah memberikan sekian banyak kepada kita hanya meminta sedikit saja, itu pun kita tidak perlu melakukan apa-apa; tidak perlu mengeluarkan uang, tidak perlu beli ini-itu, tidak perlu melakukan aktifitas fisik yang luar biasa.
Sekadar berdiam sejenak. Mendiamkan hasrat dan keinginan yang sudah demikian menggurita. Karena hanya saat diri berdiam, suara-Nya mulai samar-samar terdengar.
Ramadhan bagaikan bulan pesta suguhan bagi para pencari-Nya.
Momen ketika Sang Tuan Rumah menyediakan hadiah kebahagiaan di saat berbuka dan saat bertemu dalam perjamuan dengan-Nya. *
Patutlah kiranya Al Qur'aan (disebut juga Al Huda - Kitab Petunjuk) pun diturunkan pada bulan yang mulia ini.
Baik rasanya untuk meluangkan waktu sejenak untuk berdiam, bahkan barangkali berdiam dari meminta ini dan itu kepada-Nya.
Sambil sesekali bertanya, "Duhai Allah, apa yang Engkau inginkan dariku?"
Semoga Dia berkenan menurunkan petunjuk-Nya ke dalam hati kita masing-masing yang sangat membutuhkan arah dalam menempuh setiap fase dalam kehidupan ini.
Aamiin ya Rabb...
Amsterdam, 29 Juni 2015 (12 Ramadhan 1436 H)
Teruntuk guruku yang mengajarkan diam (tenang) dalam menyaksikan setiap penyingkapan qadha dan qadarnya di setiap saat.
===
* “Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kasturi.” (Hadits Muttafaq alaih).

Thursday, June 25, 2015

Manusia : Makhluk Peniru

Anak-anak usia pra sekolah (toddler) mulai sering meniru apa yang mereka lihat, ini adalah sesuatu yang bagus. Karena hal itu menunjukkan secara emosional mereka mempunyai ikatan dengan orang tuanya - atau caregiver - siapapun yang meluangkan waktu lebih lama bersamanya. Semakin dalam ikatan emosionalnya maka si anak akan semakin banyak meniru orang tua. Proses meniru itu menunjukkan bahwa sang anak percaya dan merasa nyaman berada dalam asuhan orang tua. Salah seorang pengamat pendidikan anak mengatakan proses 'mimicri' (meniru) ini lebih urgen dibandingkan belajar angka atau huruf, karena dalam proses ini emosi anak mulai tersalurkan dan teridentifikasi.
Kita semua, manusia juga melalui berbagai tahap meniru dari kecil hingga sekarang, kita mengambil nilai-nilai dari sekitar kita, kemudian lingkaran itu makin meluas dan kita makin banyak mengambil nilai-nilai atau hal-hal yang kita anggap baik atau 'keren' untuk ditiru. Oleh karena itu siapa kita sangat diwarnai oleh lingkungan yang membesarkan kita.
In a way, Tuhan berharap kita jadi peniru-Nya yang baik. Semakin dekat hubungan seseorang dengan Allah Ta'ala, maka derajat peniruannya semakin baik. Oleh karena itu manusia paripurna yang disebut "insan kamil" adalah mereka yang berhasil menempa jiwanya menjadi cermin yang sempurna untuk 'meniru' bayangan yang jatuh ke dalamnya. Bayangan Dia, Yang rindu untuk dikenal...heart emoticon

Mempersembahkan Apa Yang Tuhan Tidak Punya

Guru Marketing saya pernah mengajarkan kalau mau memberikan seseorang hadiah yang akan dikenang seumur hidupnya, berilah ia sesuatu yang tidak dia miliki dan sangat dia inginkan atau butuhkan saat itu. Terdengarnya seperti commonsense biasa, tapi pada pelaksanaannya tidak mudah ternyata menebak dengan akurat apa yang seseorang benar-benar butuh per saat itu. Butuh intensitas pertemanan yang cukup lama dan terbuka hingga betul-betul bisa menangkap aspirasinya. Atau jalan pintas, tanya istri, suami atau teman-teman terdekatnya! wink emoticon ‪#‎ada‬ seribu jalan ke Roma.
Bagaimana kalau Tuhan? Apa yang Dia tidak punya? Wong Dia Maha Kaya dan Berkuasa?
Well, not really...
Ada satu hal yang Dia tidak punya. Dia tidak punya kefakiran. Fakir sering diterjemahkan sebagai 'poor' dalam Bahasa Inggris. Sifat fakir ini hanya melekat kepada makhluk-Nya (apalagi) yang bernama manusia.
Definisi 'fakir' menurut Imam Hambali adalah "orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya". Walaupun demikian, orang yang hartanya berlimpah bisa jadi tergolong fakir, karena ia merasa kesepian. Sebenarnya tidak ada manusia yang tidak fakir, seandainya ia menyadari sepenuhnya bahwa hidupnya dan diamnya pun sebenarnya mutlak bergantung kepada Dzat Yang Memberikan kehidupan.
Allah Yang Maha Kaya sebenarnya tidak butuh uang zakat kita, -apalagi cuma zakat 2,5%. Tapi seratus perak koin yang dimasukkan ke dalam kotak sumbangan masjid dengan hati yang memelas memohon pertolongan kepadaNya akan mutlak jadi sasaran pandang Tuhan.
Allah Yang Maha Besar tidak butuh disembah-sembah oleh makhlukNya, karena kalaupun semua ciptaan menyembah Dia tidak akan menambah sebutir debu pun kemuliaan-Nya demikian juga saat semua makhluk membangkang-Nya tidak akan setitik pun menurunkan kekuasaan Dia Yang Maha Kuasa. Tetapi sujud seseorang yang dilakukan dengan hati yang luluh memohon pertolongan-Nya akan sontak meraih perhatian-Nya.
Bulan Ramadhan adalah momen latihan raga kita dibuat fakir. Dilatihnya raga menahan semua syahwatnya seharian supaya kita ingat bagaimana rasanya lapar. Karena sering kali we take it for granted, merasa perihal makanan adalah hal yang biasa, lupa kalau semua adalah pemberian-Nya.
Jadi kalau mau mempersembahkan apapun yang kita lakukan untuk-Nya, pastikan hati kita menunduk ciut dan tak berdaya di hadapanNya. Memberikan satu-satunya hal yang Dia tidak punya, kefakiran...
Wallahua'lam
Amsterdam,24 Juni 2015
20.46

Thursday, June 11, 2015

Shalat: Cerminan Kedekatan Kita Dengan-Nya

Bayangkan kita menerima surat undangan untuk bertatap muka selama 5 menit dengan tokoh yang kita segani di dunia, bisa jadi ia seorang pemimpin dunia, seorang ulama besar yang kita hormati, atau artis kawakan yang kita sukai. Saya bisa bayangkan, kita akan sibuk jauh-jauh hari memilih baju yang pantas dan mempersiapkan dengan detil kata-kata apa yang akan disampaikan lengkap dengan latihan bicara berkali-kali di depan cermin.
Orang bilang, persepsi kita terhadap seseorang akan tercermin melalui interaksi dengan yang bersangkutan. Jika seseorang yang kita ajak bicara adalah orang yang kita segani, cara kita menatap beliau, duduk dan kata-kata pun dipilih betul. Bandingkan 'body language' kita yang cuek bebek saat bertemu orang yang kita anggap 'nobody'.
Jadi, betul kiranya cerminan beberapa menit pertemuan kita dengan seseorang bisa jadi merupakan resume hubungan kita dengan orang tersebut.
Guru saya berpesan bahwa "sholat adalah resume hubungan kita dengan Allah Ta'ala". Sholat yang kering dan dikerjakan asal telah ditunaikan bisa jadi gambaran hambarnya komunikasi hati kita dengan Sang Pencipta di luar sholat. Adapun orang yang berhasil membangun -bata demi bata- hubungan pribadi dengan Penciptanya diceritakan akan tercekat kerongkongannya bahkan saat awal mengangkat tangan - simbol kepasrahan - seraya lisannya berkata "Allahu Akbar" dengan penuh kesadaran bahwa Allah lebih besar, lebih penting, lebih layak ditakuti, lebih pantas diandalkan, lebih nyata dibandingkan apapun selain-Nya.
Ah, saya masih harus banyak belajar untuk sholat dengan baik...

Friday, May 29, 2015

Menjadi Murid Shaolin

Masih ingat cerita klasik murid shaolin yang disuruh naik turun gunung untuk mengambil air selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum akhirnya diajari jurus kungfu tertentu? Dibalik rutinitas yang terlihat biasa itu ternyata sang guru bertujuan agar muridnya melatih otot-otot tertentu dengan mengangkat ember berisi air naik turun gunung, suatu hal yang melelahkan dan memerlukan kesabaran. Diceritakan tidak sedikit murid yang mengundurkan diri, tidak tahan dengan pola pengajaran sang guru dan akhirnya hanya tersisa beberapa murid saja yang bertahan hingga akhir pelajaran untuk melanjutkan mempelajari jurus kungfu tertentu.
Hidup kita mirip dengan cerita di atas.
Kita semua sedang belajar dalam lautan ilmu-Nya.
Kita semua sedang dilatih mengencangkan otot-otot kesabaran, syukur, pengasih dan sekian banyak asma-Nya yang tersembunyi dalam rutinitas keseharian yang bisa jadi melelahkan atau menjemukan itu.
Ada yang harus berkutat dengan mengganti ribuan popok anak, mencuci ratusan baju dan ratusan piring kotor dalam setahun (curcol.com).
Ada yang dibuat berkelana dari rumah ke kantor menempuh perjalanan jauh dan menerjang kemacetan setiap hari.
Ada yang ditakdirkan mengikuti pendidikan tertentu dan bersabar dengan caci-maki guru atau lingkungannya.
Ada yang diuji kekurangan.
Ada yang dicoba dengan kelimpahan.
Masing-masing kita berjalan dalam rel yang sudah Dia desain di Lauh Mahfuzh.
Tidak ada yang salah dalam ciptaan Dia.
Tidak ada yang salah dalam waktu yang telah lewat.
Teringat petuah sang guru, "sabar saja, semua ada masanya"
Semua bertujuan menguatkan 'otot-otot' pengetahuan kita
tentang kehidupan
tentang Dia
Ya, Dia yang rindu untuk dikenal...

Wednesday, May 27, 2015

Budaya Ngegosip (Or judging people)

"Eh, tahu ngga si anu sekarang ga pake jilbab lagi lho!"
"Ga nyangka artis itu ternyata gay ya!"
"Udah tahu mbak itu kan cerai karena ada pihak ketiga!"
---
BUDAYA NGEGOSIP (Or judging people)
Itu yang saya perhatikan dari banyak perbincangan orang Indonesia. Makanya infotaintment - ngga cukup nonton di tv, beli juga majalah dan tabloidnya - laku keras. Ternyata banyak orang yang pengen tauu aja - bahkan mungkin cenderung kecanduan - mengetahui seluk beluk hidup orang, terutama kalau sensasional, bisa jadi topik utama ngerumpi di cafe-cafe atau ngrumpi di dunia maya dengan jari jemarinya. Memang sepertinya seru membaca kehidupan orang, tapi hati-hatilah kalau waktu kita yang demikian singkat ini habis dengan mengurus hidup orang dan kita malah lupa membaca diri sendiri.
Beberapa penggal kalimat pembuka tulisan ini di atas baru segelintir dari berbagai komentar yang memojokkan dan mengadili orang lain yang. Saya teringat dengan tradisi yang pernah ada di abad ke-13 M di Perancis, dimana pendosa akan diseret ke tengah-tengah masyarakat untuk kemudian dipukul punggungnya berkali-kali oleh sang pendeta, bisa jadi selama bertahun-tahun- tergantung berat-ringannya dosa yang dilakukan. Tujuannya agar orang jera dan takut untuk melakukan sesuatu yang dianggap dosa oleh gereja. Di Indonesia mungkin tidak ada hukuman fisik seperti itu, tetapi 'social pressure' begitu kuat di sana, orang yang 'berdosa' atau punya kecenderungan 'berbuat dosa' atau berbeda dengan pakem orang banyak tidak akan berani melawan arus. Akibatnya tidak sedikit orang yang 'terpaksa' mengikuti 'mainstream' semata-mata agar selamat dari caci-maki masyarakat - suatu hukuman yang bisa jadi lebih menyakitkan dibandingkan hukuman fisik. Sehingga orang tidak leluasa menjadi dirinya sendiri karena takut dianggap beda dengan orang banyak.
Manusia adalah makhluk yang cenderung berbuat kesalahan dan dosa. Sedemikian rupa hingga Rasulullah saw bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, sekiranya kalian tidak berdosa niscaya Allah memusnahkan kalian. Lalu Allah akan mengganti kalian dengan kaum yang berbuat dosa, tetapi mereka memohon ampunan kepada-Nya dan mereka pun diampuni." (HR Muslim).
Tentu bukan dibaca sebagai, "Silakan berbuat dosa semaunya!". Tetapi bahwa Dia Sang Pencipta pun maklum akan kelakukan kita, manusia.
"Tugasmu adalah menyeru mereka dengan hikmah (cara yang baik)" demikian panduan Allah Ta'ala dalam Al Qur'an, demikian lugas.
Jadi sama sekali bukan tugas kita mengadili seseorang, melabel dia dengan 'kafir' 'pendosa' 'penzina' 'musyrik' dll. Itu wilayahnya Tuhan, bukan manusia.
Menyampaikan dengan cara yang baik itu ada seninya, butuh kepekaan hati dalam menyampaikan nilai kebenaran, tidak asal jeplak, apalagi dilakukan di media sosial dimana orang banyak termasuk mereka yang tidak mengerti betul permasalahannya secara utuh - ikut membaca. Ini kejadian betul beberapa hari yang lalu, saat salah satu teman saya dengan bahagia posting foto reunian lalu ada pengunjung dunia maya yang memberi komen kira-kira "nice! alangkah lebih cantik lagi kalau kamu pake jilbab!". Duh, kalau mau menyeru orang alangkah lebih baik kalau dilakukan secara pribadi, tidak frontal di forum umum seperti itu. Pesan baik yang disampaikan serampangan bisa jadi menjadi bumerang, orang yang diseru menjadi tersinggung, merasa dihakimi. Bukankah kita diseru untuk menjadi rahmatan lil 'alamiin, menyebarkan kasih sayang?
Dan terakhir mari kita berhenti pula menggunjing aib orang, dengan status ini saya menyatakan dengan tegas tidak akan meladeni atau mengikuti obrolan-obrolan (chat group) yang bersifat 'ngomongin orang'. I'm simply gonna walk away.
Rasulullah saw cukup keras melarang ummatnya untuk bergunjing, beliau bersabda, “Ghibah itu lebih keras daripada zina.” Mereka bertanya: “Bagaimana ghibah lebih keras dari zina, wahai Rasululloh?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya seseorang telah berzina, kemudian bertaubat dan Alloh pun mengampuni dosanya, sedangkan orang yang melakukan ghibah tidak akan diampuni Alloh, hingga orang yang di-ghibah-nya mengampuninya.”(HR. Baihaqi)
Let's just talk about something positive and profound in life, shall we? smile emoticon

Friday, May 15, 2015

Corruption in Healthcare

Worldwide, 10–25% of public procurement spending in health (medical devices and pharmaceuticals) is lost to corrupt practices
- Data from a report of "Corruption in the Healthcare Sector" released in 2013 by the European Commission

Diperkirakan seperempat dana yang dialokasikan untuk kesehatan masyarakat bocor karena korupsi. Gambarannya, industri farmasi saja bernilai sekitar 900 milyar dolar; berarti setiap tahunnya setidaknya 90 milyar dolar mengalir ke kantung-kantung pelaku korupsi.

Modus-modus korupsi di sektor kesehatan bisa berbagai macam, mulai dari suap pengadaan obat atau alat medis, hubungan marketing yang tidak sehat, penyalahgunaan wewenang, mark-up klaim kesehatan hingga penjejalan resep obat yang tidak masuk akal kepada pasien. Berbagai praktik seperti ini ternyata ditemukan di berbagai belahan dunia, mulai dari beberapa pekerja sektor kesehatan di Asia yang menikmati pemberian fasilitas barang mewah oleh perusahaan farmasi atau alat kesehatan; sekumpulan dokter di Jerman yang terbukti menerima aliran dana untuk peluncuran obat baru atau beberapa ahli kesehatan yang memberikan obat kepada pasien dengan pola yang ditentukan perusahaan farmasi di Amerika dengan imbalan uang.

Korupsi di bidang kesehatan bisa disebabkan oleh adanya kelemahan di sistem kesehatan (struktur gaji yang rendah, budget kesehatan atau penelitian di bidang kesehatan yang tidak memadai hingga hubungan yang kurang sehat antara industri dan penyedia jasa kesehatan), juga bisa jadi  karena adanya kelemahan dalam sistem pengawasan kesehatan, lembaga anti-korupsi atau efektivitas yang rendah dari sistem keadilan. Pada akhirnya pencederaan integritas dan penyalahgunaan wewenang tergantung pada motivasi, norma dan nilai yang dijunjung tinggi oleh orang per orang.

Setidaknya ada lima efek besar yang ditimbulkan oleh praktik korupsi dalam kesehatan.

1. Efek pada harga
Korupsi dalam pengadaan obat atau sarana kesehatan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak masuk akal dan dapat menggerus anggaran kesehatan yang sedianya bisa dialokasikan seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat.

2. Efek pada kualitas pelayanan kesehatan
Keputusan untuk memberikan obat atau menyediakan alat kesehatan yang dilandasi oleh praktik korupsi dapat mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan kesehatan, karena pertimbangan utama bukan lagi untuk keputusan yang terbaik untuk pengguna pelayanan kesehatan, akan tetapi motif individu atau kelompok.

3. Efek terhadap aksesibilitas kesehatan
Korupsi dalam bidang kesehatan bisa mengakibatkan makin sempitnya akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau karena meningkatnya biaya pelayanan kesehatan beserta obat-obat, dan ini bisa menimbulkan kesenjangan sosial dimana pelayanan kesehatan yang baik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu.

4. Efek imej yang buruk terhadap penyedia pelayanan kesehatan
Di era merebaknya sosial media dimana orang bisa melontarkan sesuatu dan menyebar secara 'viral' dibaca oleh ribuan hingga jutaan orang - informasi yang negatif tentang oknum dokter yang memberikan obat tidak rasional misalnya seringkali menjadi bulan-bulanan hujatan pembaca - yang seringkali tidak menelaah ceritanya dengan menyeluruh dan lebih dalam. Bahwa ada dokter yang korupsi dan melakukan kolusi dengan perusahaan farmasi atau alat kesehatan - iya, memang demikian faktanya. Namun tidak sedikit dokter yang berdedikasi tinggi dan mengorbankan waktu dan kepentingannya untuk pasien, dan sayangnya golongan dokter yang terakhir ini barangkali kurang begitu menarik untuk disebarkan kisahnya di media sosial. Sebagaimana jargon dunia publikasi, "bad news is good news".

5. Efek tidak langsung dalam masyarakat
Korupsi dalam sektor kesehatan bisa menimbulkan berkurangnya produktivitas manusia karena buruknya pelayanan kesehatan, selain itu ketidakpercayaan publik kepada pemerintah sebagai badan yang meregulasi sistem kesehatan dan menurunnya kepercayaan kepada dokter atau para penyedia pelayanan kesehatan bisa mengakibatkan orang menebak-nebak sendiri cara untuk mengbati dirinya, itu barangkali salah satu faktor yang mengakibatkan iklan obat bebas dan pengobatan alternatif menjamur sedemikian rupa di Indonesia dalam satu dekade belakangan ini.

Institusi yang kuat & masyarakat yang aktif : Solusi mengatasi korupsi dalam pelayanan kesehatan

Walaupun tidak ada satu kebijakan yang bisa berfungsi sebagai 'obat dewa' dalam mengobati penyakit korupsi di tubuh dunia kesehatan, penelitian yang dilakukan di Eropa dan dilansir oleh 'European Commission' tahun 2013 menunjukkan bahwa kunci utama keberhasilan melawan korupsi adalah kombinasi yang baik antara adanya institusi yang bebas korupsi dan kuat dan partisipasi yang aktif dari masyarakat untuk menolak praktik-praktik korupsi. Karena sekedar membentuk institusi anti-korupsi tanpa melibatkan masyarakat untuk melakukan evaluasi dari hari ke hari, maka akan terjadi korupsi terselubung seperti yang terjadi di Yunani.

Hasil penelitian "European Commission" untuk mencari solusi mengatasi korupsi dalam sistem kesehatan di 28 negara (Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Republik Cekoslowakia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, Belanda, Potugal, Polandia, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia dan Inggris) merekomendsaikan pembentukan lembaga "Anti-Korupsi di bidang Kesehatan" sebagai institusi yang secara spesifik mengawasi praktik-praktik korupsi di sektor kesehatan, lembaga ini tidak hanya mendapat mandat untuk melakukan pengawasan, tetapi juga dapat menjatuhkan sanksi. Selain itu pemerintah harus kembali menggalakkan transparansi di bidang pelayanan kesehatan, mulai dari transparansi sistem pengadaan barang dan jasa, transparansi dokter terhadap resep yang ditulis ; misalkan menuliskan generik obat bukan merk obat. Tidak kalah pentingnya juga untuk terus menstimulasi keterlibatan media, 'civil society', lembaga-lembaga pengawas dan grup/perkumpulan pasien untuk mengidentifikasi dan melaporkan tindak-tanduk yang berbau-bau korupsi.

Tindak korupsi adalah cerminan kondisi insan dan secara akumulatif menjelma menjadi perilaku kolektif. Sifat-sifat dasar manusia seperti serakah, tamak, dan hawa nafsu memuaskan kebutuhan jasad memang menjadi sumbu mencuatnya korupsi. Pada dasarnya terapi yang paling utama adalah menarget individu per individu agar kembali kepada hidup yang lurus. Namun perangkat kemasyarakatan yang laik tak kalah pentingnya, karena korupsi khususnya di bidang kesehatan biasanya lebih jarang terjadi pada masyarakat yang sudah tinggi kesadarannya akan hukum, transparansi dan memiliki kepercayaan tinggi kepada institusi, dimana pelayanan kesehatan juga dilakukan dalam aturan main yang dapat diandalkan.[]





Dengan Cinta "aku" Menjadi "kami

Cinta tumbuh dalam kebersamaan. Pada saat yang sama, seseorang tentu selalu ingin bersama orang yang dicintai. Dengan cinta "aku" berubah menjadi "kami".
Dia yang Maha Kasih, ingin sang hamba merasakan kebersamaan dalam hidup.
Itulah mengapa pernyataan syahadah mutlak mencantumkan "tiada ilah selain Allah", Ia ingin sang hamba menyadari tidak ada yang bersamanya selain Dia.
Adalah Dia yang membentuk sang hamba dengan kedua tangan-Nya.
Adalah Dia yang menyusun dengan indah dan detil setiap takdir kehidupan.
Adalah Dia yang selalu bersama sang hamba dari awal hingga akhir.
Adalah Dia yang senantiasa berseru "Wahai hamba-Ku sayang, Aku lebih dekat dari urat nadimu sendiri..."
Namun, manusia memang makhluk yang lemah dan dzalim, selalu menginginkan warna kehidupan yang sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Senantiasa meraung-raung apabila hendak dibersihkan dalam celupan Ar Rahman.
Sedemikian rupa, sehingga kebersamaan dan cinta-Nya makin samar-samar, bahkan bagi sebagian orang Tuhan tidak ada.
Walaupun demikian, Dia selalu mendampingi segenap ciptaan dan merawatnya dengan baik. Setiap hamba-Nya, baik yang ingat maupun lupa; taat ataupun membangkang; diraupinya dengan sebaik-baik penghadapan. Sampai suatu saat manusia kembali ingat akan cinta dan kebersamaan dengan Sang Kekasih...
===
Manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang punya kapasitas paling besar untuk bertransformasi. Hati seorang manusia bisa melebihi kejahatan iblis tetapi juga punyapotensi untuk melampaui kesalehan malaikat.
Cinta adalah kekuatan yang dapat mengubah hati manusia dari sekeras batu cadas menjadi secair embun mengalir dari dedaunan. Inilah inti seruan para rasul dan kekasih-Nya, mereka ditempa melalui episode kehidupannya masing-masing untuk mendemonstrasikan cinta.
Cinta yang tergambar dalam kegigihan Adam a.s mencari Hawa setelah terpisah beratus tahun lamanya.
Cinta yang tersemai dalam hati Siti Hajar ketika mengikuti petunjuk Allah Ta'ala melalui suami tercinta, Ibrahim a.s. untuk berkelana di padang pasir tandus dengan bayi Ismail.
Cinta yang didemonstrasikan berulang kali oleh Rasulullah Muhammad s.a.w kepada mereka yang menentangnya, sedemikian rupa sehingga satu persatu orang luluh hatinya.
"By love the bitter becomes sweet
copper becomes gold
the king becomes a slave."
- Jalaluddin Rumi

Wednesday, April 29, 2015

Pain -Body

Pagi ini tetiba si sulung meraung-raung minta plester ditempel di jarinya, padahal tidak ada yang luka. Setelah beberapa lama dia mulai tenang dan bicara,
"Tadi Elia nangis". Sambil menyuapi si bungsu saya tanya bilang, "Iya, memangnya kenapa Elia nangis?". Jawabnya singkat tapi bikin hati meleleh, "Papa pergi...". Aah, i understand now, dia memang merengek bersamaan dengan saat sang papa mencium satu-satu anaknya sebelum pergi ke kantor. Rasa sakit ditinggal papanya dia asosiasikan dengan sakit kalau luka di tangan dan cara dia mengobatinya adalah dengan memberi plester! heart emoticon
Bicara tentang rasa sakit, setiap orang pasti memilki pain-body, sesuatu yang Eckhart Tolle definisikan sebagai : "a term for the accumulation of old emotional pain that almost all people carry in their energy field. I see it as a semi-autonomous psychic entity. It consists of negative emotions that were not faced, accepted, and then let go in the moment they arose. These negative emotions leave a residue of emotional pain, which is stored in the cells of the body."
Ada sakit hati yang terakumulasi sekian lama dan menjejak dalam di hati kita, bisa jadi karena rasa sakit ditinggal orang tua, dikecewakan orang yang dikasihi, dikelabui sahabat dekat dan banyak peristiwa hidup yang bisa menorehkan luka yang belum sembuh dan menimbulkan perasaan negatif dalam diri orang berupa dendam, amarah dan kebencian yang merasuk ke dalam setiap sel dalam tubuhnya - yang dalam jangka panjang bisa timbul dalam bentuk sakit secara fisik.
Seringkali orang tidak sadar bahwa berbagai residu masa lalu itu dapat muncul dan mewujud menjadi tindakan yang menyakiti orang sekitar. Dan alih-alih mengetahui sumber rasa sakit dalam diri sebenarnya, orang meraba-raba mencari 'plester' dalam hidup untuk menutupi rasa tidak nyaman dalam dirinya, bisa jadi berupa rasa sepi yang diplester dengan berganti-ganti pacar, amarah dengan masa lalu yang miskin dengan belanja sepuas-puasnya, kecewa dengan konflik dalam rumah tangga orang tua diplester dengan bersikap skeptis terhadap pernikahan dsb. Tampaknya satu-satunya cara mengobati betul sekian rasa tidak enak di hati adalah dengan melihat jauh ke dalam lubuk hati sendiri karena pengetahuan diri mengenai apa-apa yang ada di dalam hati sangat penting sebagai langkah awal untuk menyembuhkan penyakit hati tersebut. Dalam hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi dari Anas, dikatakan "bila Allah Swt akan mendatangkan kebaikan kepada seseorang, maka diberiNya pengertian tentang agama, zahid terhadap dunia, dan ditunjukkan keburukan dirinya,"

Monday, April 6, 2015

Menafsir Ulang Produktivitas

Selama lebih dari 30 tahun saya terlatih dengan pola berpikir yang namanya produktif itu mengerjakan sesuatu yang banyak, dapat diukur secara kuantitatif, jelas outputnya - dibandingkan dengan input dan banyak lagi parameter khas masyarakat industri.
Dalam hal ibadah saya juga pernah punya buku harian khusus untuk memantau produktivitas harian ibadah saya, misal jumlah shalat dalam sehari minimal 40 rakaat, bacaan Al Qur'aan minimal 100 ayat dst. Setiap bulan saya simpan angka-angka itu dalam grafik, it's such a nice feeling to achieve it. Sampai saya menjadi seorang ibu. Semua jadwal saya 'berantakan', saya bahkan ngga berani memasang angka-angka itu lagi dalam grafik. I'm feeling lost.
Sampai kemudian saya diingatkan oleh guru saya, "Tessa, harus jadi putera Sang Waktu". Kalimat singkat yang membuat paradigma saya berbalik 180 derajat. Saya baru sadar jangan-jangan saya menjadikan ibadah saya selama ini sebagai 'berhala', demi meraih kesenangan dan kebanggaan diri melihat deretan angka banyak dan merasa sudah banyak beribadah. Astaghfirullahal'adziim.
Kalimat singkat petuah guru saya itu selalu terngiang-ngiang dalam keharian, saat saya menyuapi sendok demi sendok ke mulut kecil si bungsu dengan disertai sholawat, saat membasuh kotoran si sulung selepas bermain di bak pasir dan saat menggantung helai demi helai pakaian yang baru dicuci. Ternyata beribadah kepada-Nya se-simple mengalirkan diri dalam karsa-Nya dari waktu ke waktu. Jauh dari dogma dan paksaan 'harus ini dan itu'.
Terkait dengan produktivitas, saya merasa hidup saya merasa lebih produktif, it's a kind of 'peaceful productivity', setelah saya belajar melihat dan menerima segala sesuatu apa adanya. Mengalir dalam karsa-Nya. Subhanallah...
‪#‎kembali‬ bergegas gendong si bungsu

A,msterdam, 6 April 2015, 5.58 pm

Thursday, April 2, 2015

The Habit of Judgmental Thoughts

Selama berdekade lamanya pikiran kita terbiasa dengan refleks mengkotak-kotakkan sesuatu fenomena, 'buruk-baik', "salah-benar", "kurang-berlebih" dst. Sehingga apabila ada fenomena tersaji di depan kita sang pikiran otomatis memasukkan informasi itu ke dalam folder tertentu. Memang itu sebuah fase perkembangan seorang manusia. Tantangannya adalah untuk beranjak dari tahapan yang cenderung "judgmental" ke tahap "non-judgmental", untuk melihat sesuatu itu sebatas fakta dan tidak memberi muatan apapun di dalamnya.
Memang ini adalah permainan yang halus di dalam hati tapi getarannya dapat terasa di tataran fisik. Misalnya ada yang bertanya kepada seseorang yang baru saja diterima di sebuah bank ternama:
"Waah selamat ya, dapat kerja di bagian apa?"
Jawab, "Bagian cleaning service"
Respon :"Oooh...." (low pitch)
====
Kalau jawabannya, "Bagian 'investment analysis'"
Respon : "Oooh..." (high pitch)
Yes, we tend to judge. Kita terbiasa mengklasifikasikan sesuatu itu dalam kotak hitam putih. There's nothing wrong with it of course, like i said, it's a phase of human's development. Tapi saya diajarkan oleh guru saya tentang cara berpikir yang lebih membuat hati ringan dan lebih mudah untuk bersyukur. Guru saya itu berkata, "Pada semua yg diberikan-Nya itu tidak layak untuk kita nilai besar atau kecil, dibalik setiap karunia-Nya itu terdapat pintu renungan dan hikmah yang melimpah ..". Aamiin, semoga

Wednesday, February 25, 2015

Ancaman "Lost Generation" di Eropa

Kami kedatangan dua orang tamu yang berasal dari Eropa Tengah, mereka sudah menginap selama seminggu disini, berniat mengadu nasib di salah satu kota tujuan wisata dunia, Amsterdam.
Mereka dan jutaan generasi muda dari Eropa Timur atau Eropa Selatan banyak yang bermigrasi ke negara-negara 'kaya' di Eropa dengan tujuan utama mencari penghidupan. Sejak krisis menghantam Eropa di tahun 2008 terjadi perubahan pola imigrasi di Zona Eropa secara fundamental.
"Tidak mudah mencari kerja saat ini" kata sang tamu yang mengaku sudah mengirim ratusan lamaran kerja. Pengalaman bekerja di restoran selama empat tahun dengan kemampuan berbahasa Belanda yang cukup untuk percakapan sehari-hari pun belum bisa mendongkraknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ada memang pekerjaan sampingan sebagai pencuci piring atau petugas kebersihan, tapi upahnya tidak cukup untuk membiayai hidup di Belanda yang mahal, imbuhnya.
Mereka tidak sendiri, saat ini di Eropa terdapat lebih dari 8 juta penggangguran usia muda, sesuatu yang menurut Kanselir Jerman, Angela Merkel sebagai "Europe's most pressing problem" terkait dengan ancaman "lost generation"- suatu istilah yang dipopulerkan oleh Ernest Hemingway - bercermin pada kondisi pasca Perang Dunia I saat generasi muda terombang-ambing dalam kesulitan mencari pekerjaan sehingga mereka bingung, disorientasi dan kehilangan arah hidup.
Dalam khazanah sufistik, kondisi sulit dalam mencari penghidupan ini diistilahkan sebagai fase "dikeringkan dalam kehidupan", sebagaimana kisah Yusuf as di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya satu fase yang baik untuk pertumbuhan jiwa. Agar manusia tidak lupa kepada Sang Pencipta. Menarik melihat perkembangan dunia saat ini, semakin menyadari kita semua hanya bidak catur di ujung tangan Sang Pencipta.[]

Monday, February 2, 2015

Mengunyah Kehidupan



Guru saya selalu mengajarkan kalau makan hendaknya dikunyah perlahan dan cukup lama, mungkin lebih dari 20-an kali kunyahan. Beliau bilang itu salah satu cara belajar sabar dan bersyukur. Secara medis memang banyak penelitian yang menyebutkan manfaat yang baik dari mengunyah makanan lama, selain memberikan kesempatan mulut untuk mengeluarkan enzim pencernaan dengan optimal, juga otak dan tubuh diberi kesempatan untuk menangkap sinyal bahwa ada makanan sedang dicerna dan akhirnya akan membuat proses pencernaan makanan berjalan lebih efisien.

Sama halnya dalam kehidupan, setiap fase perjalanan hidup nampaknya memang perlu dikunyah dengan seksama dan khidmat, tanpa harus terburu-buru ingin beranjak ke fase berikutnya dengan kehilangan banyak makna di penggal kehidupan yang sedang berjalan.

(Amsterdam, 2 Februari 2015. 6:37 pm)