Sunday, December 8, 2013

Siapa Yang Menolong Akan Ditolong

Dalam sebuah perbincangan hangat dan santai saat makan siang guru saya bercerita singkat tentang bagaimana negara-negara yang mengambil andil dalam menegakkan dan memperjuangkan kebenaran di muka bumi akan ditolong Allah, sambil memberi contoh perjuangan Inggris dan Amerika dalam membasmi perbudakan dari muka bumi.

Kemudian cerita beralih ke ayahanda beliau yang seorang dokter. Dari awal beliau praktek tidak pernah menerapkan tarif besar untuk pasien, bagi beliau dokter adalah sebuah pengabdian, pasien pun tidak jarang mengganti jasanya dengan hasil bumi atau ternak mereka yang ada. Namun itu tidak membuat kehidupan mereka sulit, bahkan sebaliknya gudang makanan mereka selalu berlimpah karena pasien yang datang jumlahnya banyak, bayangkan saat membuka pintu jam 4 dini hari pasien sudah antri untuk berebut nomor antrian.

Kebiasaan beliau menjalankan profesinya seperti itu kembali diteruskan saat beliau selesai menamatkan pendidikan sokter spesialis anak dan bertugas di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Akibat menerapkan tarif yang jauh lebih murah dibanding koleganya, tidak sedikit teman sejawatnya yang menyerangnya secara pribadi dan bahkan hingga menggunakan ilmu hitam. Tapi semua itu tidak membuat semangat pak dokter yang mulia surut, beliau tetap menjalankan panggilan hatinya dengan ikhlas, dan justru banyak kemudahan yang Allah Ta'ala bukakan sepanjang jalan. Salah satunya ketika sang tetangga yang mempunyai rumah degan tanah yang sangat luas menjual rumahnya dengan harga yang sangat rendah dan hanya ingin dibeli oleh sang dokter dermawan ini.

Guru saya berpesan bahwa kalau kita berniat menolong orang, menolong agama Allah, pasti Dia akan memberikan bimbingan dan pertolongannya dalam hidup. Jangan kuatir. Jadi kita harus lebih mengkhawatirkan hati kita yang niatnya melenceng kemana-mana selain kepada Allah...

(Bandung, 9 Desember 2013. 9.14 am)


Saturday, August 3, 2013

It's Already a Perfect Life!

Happy is the man who joins life as it unfolds mysteriously, without lacking anything
- Hinduism 

Dalam kisah mitologi Yunani dikenal salah satu siksaan abadi yang dialami oleh Tantalus, ia harus berdiri di dalam kolam yang di atasnya terdapat cabang pohon yang menjulurkan buah-buahnya. Setiap kali ia lapar dan menggapai tangannya untuk mengambil buah itu, sang pohon akan menjauh dan ia tidak pernah meraihnya.

Tanpa sadar, banyak manusia menjadi seorang 'Tantalus', hidupnya dihabiskan dalam perlombaan tiada akhir untuk mengejar apa yang ia katakan sebagai kebahagiaan atau kemapanan hidup. Waktu masih jomblo doanya fokus meminta kiranya Tuhan memberinya pasangan hidup yang sesuai, setelah itu minta momongan, lalu minta rumah, minta mobil, minta ganti pekerjaan baru, minta punya bisnis baru, minta sekolah yang bagus untuk anaknya, minta cucu, minta ini-itu tiada habisnya. Semuanya diraih dengan penuh pengorbanan, waktu, tenaga, emosi, keringat semua dicurahkan.

Apakah itu semua membuatnya bahagia?
Kalau memang itu kebahagiaan sejati, kenapa ada masa kadaluarsa bagi setiap obyek kebahagiaan itu? Kalau bahagia terletak pada mempunyai anak dan istri atau suami, lalu kenapa setiap kali ada masalah dalam rumah tangga dunia berubah menjadi neraka baginya?
Kalau kebahagiaan terletak pada status ekonomi tertentu, lalu kenapa ia tidak pernah puas dan ingin selalu meraih lebih?
Kalau bahagia terletak pada kebersamaan bersama keluarga, lalu mengapa saat perpisahan atau kematian menjelang hati kita dibuat guncang karenanya?

Bukankah pasang surut kehidupan adalah hal yang niscaya datang?
Bukankah dalam rumah tangga tidak selamanya adem ayem?
Bukankah uang tidak selamanya melimpah di dalam rekening kita?
Bukankah di dalam perjumpaan selalu ada perpisahan?

Kalau kita menyimpan obyek-obyek kebahagiaan pasa sesuatu yang niscaya mati, niscaya usang, niscaya pudar, niscaya menua, niscaya rusak dan fana, maka siap-siap menyongsong rasa sakit dalam hati. Cintailah apapun yang kau inginkan (selianNya) tapi ingat kau akan berpisah dengannya.

Adapun cinta kepada-Nya akan selalu membuat sang hamba tersenyum mengarungi pahit dan manis kehidupan, karena toh semua datang dari 'tangan'-Nya Yang Maha Kasih. In the end we might going to realize that we should not seek for perfection in life, because it's already a perfect one! :)

Amsterdam, 3 Agustus 2013. 12.56 pm

Lupakan!

Ada satu kata ampuh yang kerap diucapkan guru saya sebagai nasihat kepada murid-muridnya, "Lupakan!"
Kadang kita harus coba melupakan masa lalu yang menjerat kita dan membuat langkah kita tertatih-tatih.
Kadang kita harus melupakan sejenak keinginan kita di masa depan.
Kadang kita dilatih untuk melupakan perbuatan atau kata-kata seseorang yang menyakiti kita.

Betapa tarikan masa lalu, masa depan, benar dan salah dalam kehidupan yang disimbolkan oleh tarikan setan dan hawa nafsu lewat arah depan-belakang; kiri dan kanan - senantiasa membuat manusia kehilangan pijakan di saat ini. Manusia dibuat sulit sekali untuk bersyukur, menerima apa yang ada just the way it is, perfect as it is. Alih-alih kebanyakan manusia selalu pandai mencari dalih dengan nama mengejar kebahagiaan, suatu ironi kehidupan, karena selama kita masih mengejar kebahagiaan kita masih belum bahagia. While happiness lies where we are, right here, right now!

Semua agama tampaknya mengajarkan umatnya untuk meraih kekinian, dalam Islam dikenal sebagai dzikir, dalam agama Buddha ada meditasi, dalam agama Nasrani ada retreat dll. Memang kadang butuh tempat dan waktu khusus agar kita kembali bersentuhan dengan diri kita yang sebenarnya. Tidak mudah memang, oleh karena itu dikatakan sebagai jihad akbar, perjuangan besar seumur hidup. Oleh karenanya pula kita butuh rahmat dan pertolongan-Nya, kesadaran ini membuat sujud kita dalam untuk memohon kepada-Nya, jangan sampai hati ini dilalaikan oleh sesuatu selain-Nya.

(Paris, 30 Juli 2013. 1243)

Wednesday, July 24, 2013

Jangan Dibuat Pusing Oleh Keadaan

Alam dunia yang kita tempati untuk sementara sekarang konon adalah alam ciptaan yang paling jauh dari cahaya-Nya. Sebagaimana titik yang paling jauh dari sumber cahaya menerima cahaya yang paling sedikit, maka dunia ini adalah area dimana kegelapan mulai muncul. Dalam tataran fenomena, kegelapan itu berbentuk sesuatu yang mengerikan; perang, pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan segala macam tindak kekerasan lainnya. Adapun kita secara esensi bukan berasal dari alam ini. Jiwa kita yang merupakan hakikat dari keinsanan adalah penghuni alam malakut, tingkatan alam yang lebih dekat kepada sumber cahaya. Ada suatu masa ketika semua jiwa manusia berkumpul dan bersaksi di hadapan Sang Pencipta, bagi jiwa tiada yang dia lihat kecuali wajah-Nya, tiada yang lebih dia inginkan kecuali melakukan apa yang Dia kehendaki.

Tapi, Sang Maha Pencipta ingin memperkenalkan semua hal tentang diri-Nya, maka dilemparkanlah jiwa-jiwa manusia ke alam yang terjauh yang bernama alam mulkiyah, di planet indah yang kita kenal dengan planet bumi. Untuk bisa tinggal di bumi dan menyerap pelajaran yang tengah Dia gelar di alam bentuk-bentuk ini jiwa manusia dimasukkan ke dalam kendaraan yang disebut jasad, proses peniupan jiwa ke dalam jasad insan ini terjadi ketika janin berusia 120 hari dalam kandungan ibu.

Ketika manusia dilahirkan dalam pakaian raganya dan berinteraksi dengan dunia menggunakan segala indera jasadnya setelah sekian lama, manusia kerap lupa hakikat keinsanannya, karena jiwa biasanya lumpuh setelah sekian lama tidak digunakan di dalam jasad. Gejala kelumpuhan jiwa bisa terlihat dalam kegamangan dan kegalauan manusia menghadapi berbagai episode kehidupan, kebingungannya melihat fenomena yang berlawanan satu sama lain, keheranannya menyaksikan peristiwa-peristiwa brutal yang terjadi di sekitarnya. Akal otaknya memang terbatas untuk bisa mencerna sesuatu yang ada diluar fenomena fisik yang ada,segala kerumitan hidup, kebingungan, pertanyaan dan ketidakmengertiannya hanya akan membuat pecah kepalanya, karena memang akal otak punya keterbatasan, dan manusia sudah terlanjur lupa bahwa dia sebenarnya punya akal jiwa yang bisa diaktivasi untuk membaca kehidupan dengan lebih jelas.

Dunia akan selalu diwarnai oleh kegelapan, karena memang ia adalah titik yang terjauh dari ciptaan-Nya, sepanjang sejarah peradaban manusia akan selalu ada perpecahan, konfilk, peperangan, dan tindakan anarkis atau amoral lainnya. Ketahuilah ini dan terimalah, ini alam dunia bung! (begitu kalau kata orang-orang zaman pergerakan kemerdekaan dulu). Tentu bukan berarti kita pasif dan tidak peduli dengan sekitarnya, kita lakukan apa yang kita lakukan dengan apapun yang Allah mudahkan pada diri kita per hari ini, tapi sadarilah bahwa ada batas untuk itu semua, and we're not superhero. Biarkan Tuhan bekerja dengan caranya, yang penting lakukan kewajiban yang dekat dengan kita terlebih dahulu, orang tua kita, anak , kita, pasangan kita, tetangga, teman periksa satu-persatu apakah haknya masing-masing sudah dipenuhi? Kemudian baru kita beranjak ke lingkaran yang lebih luar, jika ada kemampuan dan kesempatan.

Tulisan ini terinspirasi oleh teman dekat saya yang dibikin gemas oleh salah satu ormas di tanah air yang bertingkah menyebalkan, juga oleh polah pejabat yang bikin sesak hati. Saya akui, membaca berita harian di tanah air memang bisa membuat stress, tapi dipikir-[ikir lagi, ngapain juga dibikin pusing oleh keadaan, semua berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya. Perkara akal kita yang masih terbatas untuk membaca kesatuan perwujudan semua ini, itu sesuatu yang perlu kita mohonkan kepada Allah Taála. Peduli dengan keadaan dan memberikan sumbangsih positif itu satu hal dan mencela orang dan keadaan tanpa memberikan solusi dan contoh yang baik dari dirinya sendiri pun suatu hal yang lain.

Jadi? Jangan terlalu dibuat pusing oleh kondisi sekitar, take easy...dan fokus melakukan amal sholih masing-masing. Berjuang mencari kehendak-Nya dalam hidup yang cuma sekali di dunia ini. Dan saya yakin, kalau setiap orang fokus memperbaiki dirinya masing-masing dengan pertaubatan yang baik, dunia akan berubah dengan sendirinya. Wallahua'lam

(Amsterdam,24 Juli 2013. 12.27 pm)

Tuesday, July 23, 2013

Berhenti berkata "Seandainya...."


"Bekerjalah terhadap apa saja yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah.
Jika sesuatu terjadi padamu, maka janganlah katakan,'Seandainya aku melakukan hal ini, pasti akan terjadi ini dan itu'. Namun katakan, 'Allah telah menetapkan dan apa yang Dia kehendaki, maka Dia kerjakan'. Karena kata 'seandainya'itu membuka pekerjaan syetan.
(Rasulullah saw)

Manusia memang makhluk yang gampang berkeluh-kesah, rasanya sangat mudah menemukan seribu satu alasan untuk merasa menderita di saat ini dari mulai mengeluhkan kemacetan yang menyemut, cuaca panas terik atau hujan yang mengguyur, harga-harga yang melambung tinggi dsb dibanding mensyukuri setiap inci nikmat yang kita terima, mulai dari mata yang bisa melihat, bisa bernafas lancar, jantung yang masih berdenyut, keluarga yang Allah amanahkan, pekerjaan yang diberikan dan masih banyak lagi.

Manusia yang kuat itu ternyata bukan yang bisa mengangkat mobil seperti yang dilakukan Superman, bukan juga yang bisa menelan paku atau menahan nafas sekian lama di dalam air, berdasarkan hadis Rasulullah di atas, manusia yang kuat adalah mereka yang mengerjakan apa-apa yang bermanfaat yang Allah berikan dalam genggamannya, mereka yang pantang berputus asa atas rahmat-Nya, yang tidak lelah memohon pertolongan-Nya dan tidak berandai-andai menunggu 'hujan emas'. Mereka yang tetap tersenyum dalam hati melalui segala bentuk macam fenomena kehidupan yang Allah takdirkan, dalam kekurangan, kelebihan, kesenangan, penderitaan, remuk redamnya hati, kesepian, kegagalan hidup, kekecewaan, semua fenomena itu tidak dibiarkan mengoyak imannya kepada Dia Yang Maha Kasih.

Kiranya jitu sekali tips sang baginda Rasulullah yang mengajarkan untuk tidak menggunakan lisan kita berandai-andai, karena apa-apa yang terucap dari lisan adalah cerminan kondisi hati, dengan demikian Rasulullah sedang mengajarkan menyeka hati kita agar senantiasa mengkilau dengan sinar kebersyukuran kepada-Nya. Berandai-andai sesuatu apalagi mengeluhkan hal yang terjadi tidak akan merubah keadaan melainkan menambah dongkol hati. Lebih ringan rasanya menerima hal apa adanya tanpa harus dilabeli 'baik-buruk', 'kurang-lebih'atau seandainya aku begini pasti akan begini...Saatnya berhenti berandai-andai.

(Amsterdam, 23 Juli 2013.10.52 am)

Saturday, July 20, 2013

Tentang Sakinah

Biasanya kata "Sakinah"ini sering terdengar sebagai salah satu doa yang dipanjatkan kepada penganti baru atau mereka yang merayakan anniversary, 'semoga menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah', artinya apa? pokoknya bagus doanya, begitu jawab saya dulu setengah ngasal, lama-lama belajar agama sedikit-sedikit ternyata kata 'sakinah' mengandung arti yang sangat dalam dan bukan sekadar berarti ketentraman.

Dalam Bahasa Arab, sakinah berasal dari kata 'sukun'yang artinya damai atau ketentraman.
Al Qurán menyebutkan beberapa kali kata sakinah sbb:

Dialah yang telah menurunkan sakinah ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka...(QS Al Fath [8]: 4)

Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu Dia memberikan sakinah atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat. (QS Al Fath: 18)

Dalam khasanah Yahudi, dikenal juga shekinah yang berarti kehadiran Tuhan di bumi, yang senada dengan arti kata sakinah dalam bahasa Arab karena kehadiran-Nya bisa memberikan ketenangan. Namun ketenangan yang berkaitan dengan kehadiran-Nya itu seperti apa? Tentulah hal sakinah dalam hal ini berkaitan dengan cara kita menjalani hidup yang sesuai dengan tuntunan-Nya Yang menciptakan kita. Jadi ketenangan sejati adalah ketenteraman sejati yang dirasakan di hati yang paling dalam, suatu keteguhan hati yang jauh dari kebimbangan hidup, saat hidup dalam tuntunan-Nya.

Bertentram-tentram dalam gelimang syahwat dan hawa nafsu dalam hal ini tentu bukanlah sakinah. Dalam konteks kehidupan rumah tangga. Pasangan yang tampaknya adem ayem tak ada masalah, kondisi finansial lebih dari cukup dan semua terpenuhi, belum berarti hidup dalam sakinah apabila rumah tangga itu tidak dibangun dalam rangka ketaatan kepada-Nya.

Ada hubungan yang dalam antara manusia dengan pencipta-Nya yang membuat manusia selalu mencari jalan untuk mendekati-Nya, suatu ruang hampa dalam diri yang hanya bisa dipuaskan oleh-Nya, orang bisa menamakan proses pendekatan itu dengan nama agama, spiritual, meditasi, kontemplasi dsb.
Its the primal longing of the heart...

(Amsterdam, 18 Juli 2013. 6.57 am)

Tuesday, July 16, 2013

Menerima Rasa Sakit

...rasa sakit itulah yang akan mengeluarkan seseorang dari hijab bangga diri...
- Jalaluddin Rumi

Suatu ketika seorang guru sufi ditanya, "Mengapa ada rasa sakit di dunia ini? Apa gunanya?"
Sang guru menjawab, "Karena dengan rasa sakit itu hatinya menjadi terbuka"
Sakit yang dirasakan sebenarnya bukan berasal dari hati akan tetapi dari selubung hati yang sudah sekian lama menempel dan mengerak di hati, sedemikian lekatnya hingga proses peluruhannya pun terasa amat sakit.

Allah Ta'ala sudah merancang beberapa kejadian menyakitkan untuk menghidupkan hati yang membatu. Kehidupan yang nyaman seolah tak ada masalah memang cenderung membuat manusia lalai dan khilaf akan sejatinya hidup. Maka sekali waktu biasanya Dia memberikan shock therapy, sebagai tanda bahwa Dia sayang terhadap hamba-Nya, karena Dia ingin semua hamba-Nya kembali membawa hati yang tenang (nafs muthmainnah). Fenomenanya bisa macam-macam; diputus tunangan, konflik rumah tangga, kehilangan anak, kematian pasangan hidup, di-PHK dari pekerjaan, proyek yang gagal, ditipu teman, sulit mencari kerja, terbelit hutang, dan seribu satu macam fenomena lahiriah yang membelit kita.

Selama seseorang masih merasa digjaya dalam kehidupan, merasa sukses dan pintar, kemudian hanyut oleh sanjungan orang, dia akan cenderung menjadi manusia yang bangga diri. Kasus seperti ini didemonstrasikan secara fenomenal oleh Firaun yang mengatakan dengan lantang "Aku adalah Tuhan!" Seseorang tentu akan menolak mentah-mentah jika disamakan dengan Firaun, tapi unsur bangga diri yang sama yang menyelinap dalam hati seseorang adalah hijab hati yang sama yang membuatnya enggan untuk bersujud pada-Nya dengan segala kerendahan diri sebagai hamba.

Oleh karenanya perlu untuk diberikan hantaman dalam kehidupan sesekali waktu supaya seseorang tidak lalai. Maka perkara apapun yang kita rasakan sakit dalam menjalaninya sebenarnya adalah pil pahit yang berfungsi sebagai obat bagi hati kita yang masih diselimuti racun penyakit. Terima dan jalani saja dengan hati yang lapang.

The only rule is, suffer the pain...
- Rumi

(Amsterdam, 17 Juli 2013. 12.59 am)

Wednesday, July 10, 2013

Pengalaman Mengenakan Jilbab di Eropa


“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Awalnya saya sempat ragu untuk tetap menggunakan jilbab saat pertama kali berkunjung ke Eropa, mendengar cerita tentang perlakuan kurang menyenangkan kepada beberapa wanita muslim yang mengenakan jilbab di negara-negara tertentu sempat membuat hati saya ciut. Akan tetapi saya teringat pesan guru saya untuk senantiasa meneguhkan hati untuk ‘menolong agama-Nya’, maka dengan berucap bismillah dan berdoa kiranya Dia juga berkenan menolong, maka terbanglah saya tahun 2011 ke Eropa, berkeliling ke Belanda, Belgia dan Jerman. Dan Alhamdulillah apa yang saya takutkan tidak terjadi, bahkan saya mendapatkan pengalaman yang menyenangkan.

Belgia, Belanda dan Jerman ternyata merupakan negara yang cukup banyak dihuni oleh imigran muslim, ketika saya berjalan-jalan di Grand Place Brussels atau Winkelcentrum Amsterdam beberapa kali orang menyapa saya dengan ‘Assalaamu’alaikum’ diiringi senyuman yang hangat.

Saat saya hendak membeli makanan, beberapa kali di beberapa tempat berbeda saya diingatkan oleh penjualnya tentang mana makanan yang mengandung babi.

Ketika saya dan suami sedang berjalan kaki di malam hari di pertokoan kota Leiden, seseorang mendekati suami saya yang berjalan beberapa meter di belakang dan menawarkan narkoba. Begitu melihat respon saya yang langsung mendekat, dia segera menyadari bahwa kami bersama-sama dan berkata “Oh, you are muslim! Sorry…sorry…” lantas dia langsung melangkah menjauh dan meninggalkan kami terkaget-kaget sendiri.

Ternyata mengenakan jilbab di Eropa tidak semenakutkan yang saya bayangkan, bahkan di area-area tertentu dimana banyak imigran Muslim bermukim, kita akan sering berpapasan dengan wanita dari negara lain yang mengenakan jilbab.

Model jilbab yang saya pakai (jilbab langsung pakai) yang termasuk salah satu model jilbab yang nge-trend di tanah air – ternyata disukai oleh teman-teman saya yang merupakan orang asli Eropa, kata mereka “It’s nice, looks like a hat!”

 (Amsterdam, 12 Juli 2013. 3.06 am)

Menghormati (juga) Orang Yang Tidak Berpuasa

"Jalan menuju Tuhan sebanyak jiwa (nafs) hamba-hambaNya"

Saya percaya setiap orang mempunyai ritme-nya masing-masing dalam mengenal Tuhan.
Bahwa ada kebaikan dalam setiap penggal kejadian hidup yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Bahwa masing-masing jiwa punya kadar 'tidur' yang berbeda-beda dalam hidup. Seperti yang seorang bijak pernah katakan "Don't wake up a sleeping person".
Dan bahwa setiap orang dan setiap atom di alam semesta ini - tanpa kecuali- ada dalam genggaman Kuasa-Nya.

Adalah ketetapan-Nya juga bahwa dunia diisi oleh beragam keadaan manusia. Ada yang beriman ada yang tidak, ada yang rajin beribadah ada yang tidak, ada yang nyebelin ada yang baiknya ngga ketulungan, you name it. Nah, karena ini edisi tulisan bulan Ramadhan, maka kita tulis juga, ada yang puasa ada yang tidak. Perbedaan keyakinan itu hal yang biasa, adapun menyikapi perbedaan ini yang kadang menjadi luar biasa (maksudnya luar biasa lebay) :D

Rasulullah saw sebagai suri tauladan mencontohkan bagaimana beliau bersifat menghormati dan mengayomi kepada mereka yang berbeda keyakinan. Tidak pernah beliau mengucapkan kata-kata kasar atau mencacinya, bahkan tercatat dalam sejarah kedamaian dan ketentraman menyebar di bumi mana beliau berada, misalkan perdamaian yang beliau sebarkan di negeri Medinah yang sebelumnya selalu terjadi perseteruan antara kaum Muslim, kaum Quraisy serta kaum Yahudi.

Ya, 'mengayomi dan menghormati', malah sepatutnya bukan hanya dilakukan dalam tataran fisik (senyum manis, haha-hehe, pis ah! kinda thing) tapi juga menjaga hati dari merasa diri lebih baik, menganggap orang lain berdosa dan menganggap remeh. Kita hormati proses yang sedang Allah Ta'ala jalankan kepada setiap orang.

*sambil nyanyi 'jagalah hati jangan kau nodai...'*

(Amsterdam, 11 Juli 2013. 2.26 am)


Wednesday, July 3, 2013

Semuanya Indah !

Setiap hari saya punya agenda baru yaitu berjalan bersama si kecil yang bulan lalu genap berusia satu tahun. Perjalanan dari rumah ke supermarket terdekat yang biasanya ditempuh dalam waktu 5 menitan sekarang bisa sampe 1 jam! kok lama banget? ya iya, saya harus sabar mendampingi langkah si kecil yang masih tertatih-tatih, belum lagi banyak hal yang membuat dia berhenti sejenak dan memperhatikan dengan serius, orang yang lewat lah (terutama perempuan cantik! ck..ck..), pengendara sepeda yang melintas, atau bahkan sehelai daun yang jatuh dari ranting.

Saya sangat menikmati momen kebersamaan ini, si kecil bisa melatih otot-ototnya untuk berjalan, menghirup udara pagi dan menikmati sinar matahari, dan emaknya bisa dzikir banyak-banyak :) I know this too shall pass, akan ada saatnya dia tidak mau dipegang lagi tangannya karena sudah besar, tidak mau diciumi atau dipeluk lagi, jadi dinikmati betul episode ini.

Menarik kalau memperhatikan bagaimana ketakjuban anak pada semua hal di dunia, semua hal sepertinya keajaiban buatnya, ingin coba ini- itu, ingin tahu ini-itu, semua indah dan menarik di matanya. Rindu rasanya memiliki lagi perasaan itu, di saat kita sudah demikian tergerus hiruk pikuk dan polusi kehidupan yang membuat jiwa kita batuk-batuk dan sesak nafas, lupa bahwa setiap hal adalah indah karena datang dari Sang Maha Indah. Bahwa setiap takdir kehidupan adalah suci karena dibentuk oleh Sang Maha Suci.

Terima kasih nak, sudah meningatkan mama tentang ini semua :)
cium dan peluk sayang
mama

(Amsterdam, 3 Juli 2013. 11.02 am)

Thursday, June 27, 2013

Sekilas Tokoh-Tokoh Sufi Dalam Sejarah Indonesia (Bagian 1)

Islam yang disebarkan di kawasan Asia Tenggara diyakini oleh beberapa ilmuwan dipengaruhi  oleh ajaran para sufi, bahkan warna sufistik ini yang konon menyebabkan orang tertarik mempelajari Islam, dengan kata lain, perkembangan sufisme adalah salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya Islamisasi di Kawasan Asia Tenggara.

1. Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri (1590) adalah seorang penyair sufi yang berasal dari Barus (Baros), Sumatera.  Beliau adalah penyair pertama yang menuliskan ide-ide wahdatul wujud dalam Bahasa Melayu. Beberapa tokoh sufi terkenal seperti  Ibnu Arabi, Al Hallaj, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Al Djunaid dan Jalaluddin Rumi disebut dalam kebanyakan karya tasawufnya.
Hamzah Fansuri bekerja di Kesultanan Aceh dan merupakan salah satu orang Asia Tenggara pertama yang menunaikan haji ke Mekkah.  Ketika peranan Kerajaan Pasai mulai memudar, terutama setelah penjajah Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, para cendekiawan alumni Pasai mulai membangun pusat pengkajian Islam di kerajaan yang baru dideklarasikan di ujung utara pulau Sumatra, yang dinamakan dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini adalah penyatuan kembali beberapa kerajaan Islam yang sudah terpecah belah di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayyat Syah yang diproklamirkan pada  12 Rabi’ul Awwal 913 H atau sekitar 23 Juli 1507 M.

Salah seorang bintang ulama berpengaruh masa itu adalah Syekh Hamzah Fansuri. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau adalah termasuk salah satu ulama yang ikut mendukung pendirian kerajaan baru ini. Atau kemungkinan peranannya lebih besar lagi, sebagai tokoh sentral pendiri Kerajaan Aceh disamping Sultan Ali Mughayat Syah. Karena sudah menjadi tradisi para Sultan Aceh yang senantiasa memiliki penasihat spiritual yang bergelar Syaikh a-Islam atau Qadhi Malik al-Adhil. Itulah sebabnya, banyak di antara murid dan pengikutnya dari kalangan para ulama wujudiyah yang menjadi penasihat dan pembimbing kerajaan dari pertama berdirinya sampai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. 
Ajarannya yang menonjol tentang wahdatul wujud meyakini bahwa Allah (sebagai Sifat bukan sebagai Dzat) manunggal dalam semua ciptaan-Nya dipandang sebagai ajaran Pantheisme yang ‘sesat’. Salah satu ulama yang menentang keras ajarannya adalah Syekh Nuruddin al-Raniri. Kisah mengenai makam yang terletak di Ujung Pancu tentang seorang ulama Aceh yang dihukum pancung oleh penguasa Aceh zaman Sultan Iskandar Tsani yang berkuasa antara tahun 1636-1641 M atas fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri, diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai makam Syekh Hamzah Fansuri. Akan tetapi penemuan terkini yang dikemukakan oleh Claude Guillot dan Ludvik Kalus menyebutkan bahwa Syekh Hamzah wafat pada tahun 1527 M dan dimakamkan di pekuburan Ma’la di Mekkah.

2. Nuruddin Ar Raniri
Hampir semua penulis menyebut bahwa Syekh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal-usul beliau adalah bangsa Arab keturunan Quraisy yang hijrah ke India.

Kedatangan Syekh Nuruddin ar-Raniri untuk pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan pada tahun 1637, setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda. Setiap sesuatu yang baru selalu mendapat perhatian orang, demikian juga pemahaman baru yang dibawa oleh beliau tentang penolakan tasawuf model ajaran Syekh Hamzah al Fansuri dan Syekh Syamsuddin Sumatrani, segera mendapat tempat di hati Sultan Iskandar Tsani. DIdukung oleh kecerdasan, keberanian dan penguasaannya atas berbagai ilmu agama Islam akhirnya Syekh Nuruddin ar Raniri menduduki posisi yang tinggi dalam kerajaan dengan dukungan sang sultan.
Walaupun Syekh Nuruddin ar Raniri merupakan penantang keras Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin Sumatrani, beliau tidak melakukan hal yang serupa terhadap ajaran Ibnu Arabi, Abu Yazid al Bistami, Al Hallaj dan lainnya. Padahal ulama-ulama tersebut adalah salah satu sumber ajaran yang diyakini oleh Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin  Sumatrani. Dalam tulisan Fath al-Mubin ála al Mulhidin, Syekh Nuruddin ar Raniri berpendapat bahwa Al Hallaj adalah mati syahid. Katanya : “”Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua.”
Menurut H.M. Zainuddin dalam “Tarich Atjeh dan Nusantara”, jilid 1, terjadi pertikaian di dalam istana, dalam peristiwa itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih HItam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Dikatakan bahwa jenazah Syekh Nuruddin ar Raniri ditemukan di Kuala Aceh dan makamnya dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin.

3. Syamsuddin Assumatrani
Syamsuddin Assumatrani atau Syamsuddin Pasai adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah mewarnai corak  Islam di Aceh. Sayangnya,  perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Selain karena tidak ditemukan catatan otobiografinya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof  Dr Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Di antara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Assumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salatin. Itu pun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu, kiranya cukuplah bagi kita untuk sekadar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana dia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab, memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya dia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Para sejarawan menisbahkan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai. Ini  mengisyaratkan  dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian,  bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai.

Berbicara tentang peranan Samudra Pasai sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524. Begitu juga dalam hal kesastraan, Hikayat Raja-raja Pasai lebih tua dibandingkan Gurindam Duabelas Karya Raja Ali Haji Pulau Penyengat,Tanjung Pinang,  Bintan,  Kepulauan Riau.

Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Assumatrani sudah menjadi orang kepercayaan Sultan Aceh. Sayang ,dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin  sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.

Syamsuddin Assumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya dia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. 
Dia berada  dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Assumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Assumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Assumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Assumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Assumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Dia  diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Assumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Pada masa inilah dimulainya kekerasan pertama di Aceh terhadap karya dan pemikiran, Namun demikian, para pengikut paham Assumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 saat Safiatuddin menjadi Sultanah, Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Dia  pun terpaksa pulang  kampung, ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Abdurrauf atau Syiah Kuala.

Dari hasil penelitian Prof Dr Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan  Syamsuddin Assumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Assumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Di antara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:

Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah  (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.

Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi,  pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).

Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya, antara lain, menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarah) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana di jalan  Allah.

Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Melayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. 
Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh,  dan tentang ruh.

Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

“Beu Seulamat Iman teuh mandum.  Berpegang teguhlah dengan agama itu, sebab agama Islamlah yang telah memajukan Aceh dan terkenal ke seluruh dunia Melayu.” Pesan ini disampaikan ketika Syamsuddin Assumatrani ditembak oleh Portugis dalam misi penyerangan kafir Portugis di Malaka, masa Iskandar Muda.

4. Syekh Yusuf
Syekh Yusuf dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau 3 juli 1926 M di MoncongloE Gowa. Menurut lontara Riwayana Turatea Salamaka ri Gowa versi Gowa, ibu Syekh Yusuf adalah putri Gallarang MoncongloE yang bernama Aminah, sedang ayahnya dikatakan seorang tua yang tidak diketahui asal kedatangannya, yang kemudian dianggap Nabi Khaidir. Ketika pasangan itu cerai, ibu Yusuf dinikahi oleh Raja Gowa (I Manggarani Daeng Marabia Sultan Abdullah, 1593-1639). Dalam versi yang lain disebutkan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah Khaidir. Agaknya nama Khaidir dibelakang nama Abdullah (ayah Yusuf), inilah yang dapat diterima. Sebab kajian silsilah yang disimpan oleh anak cucunya di Makassar (Takalar dan Sudiang) terdapat catatan yang menyebutkan bahwa nama ayahnya Abdullah Khaidir.
Syekh Yusuf tumbuh di lingkungan istana bersama anak-anak raja lain. Sejak kecil ia memperoleh pendidikan Islam. Ia belajar al-Quran sampai khatam dari seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Kemudian dilanjutkan mempelajari Sharaf, Nahwu, Mantiq, dan kitab-kitab lainnya yang dipelajari dari Sayed bin Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala sebagai pusat pendidikan dan  pengajaran Islam, Sejak tahun 1634. Dalam tempo beberapa tahun ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid, tetapi yang menarik perhatiannya hanya bidang mistik Islam, yaitu tarekat dan tasawuf.
Kemajuan yang dicapai dirasakan Syekh Yusuf belum memuaskan, sehingga ia berniat mencari ulama lain. Hal ini pula menjadi tradisi dalam pendidikan Islam, jika siswa dianggap cakap dan berbakat menerima ilmu, maka disarankan mencari ilmu ke tempat lain.
Dalam usia 15 tahun, Syekh Yusuf melanjutkan pelajarannya di Cekoang dengan berguru kepada Syekh Jalaluddin al-Aidit. Setelah kembali dari Cekoang, tahun 1645 Yusuf menikah dengan putri Raja Gowa, I Sitti Daeng Nisanga, yang hanya sempat digauli selama 40 hari (riwayat lain 6 bulan), karena ia harus segera belajar meninggalkan tanah asalnya untuk memulai pengembaraannya menuntut ilmu dan sekaligus menunaikan ibadah haji di Mekah, tepatnya pada tanggal 22 September 1645.
Keberangkatan Syekh Yusuf tidak langsung ke tanah suci, melainkan singgah di beberapa negeri seperti Banten, Acah, dan Yaman.  Di Banten beliau sempat jalin persahabatan dengan putra mahkota waktu itu, yang kelak menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Dari Banten ia berlayar ke Aceh. Di sana menemui Syekh Nuruddin Arraniry dan mempelajari tarekat Qadariyah sampai berhasil mendapatkan ijazah dari ulama besar itu. Dari Aceh ia meneruskan perjalanan ke Yaman mendapatkan Syekh Abdullah Muhammad Abdul Baqi dan menerima tarekat Naqsyabandiyah darinya. Di Negeri itu pula di Zubaid, ia menerima  ijazah tarekat al-Sa’adah Ba’lawiyyah dari Sayyid Ali. Dari Yaman ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sini ia memperoleh ijazah Tarekat Syattariyah dari Syekh Burhanuddin al- Mullah bin Syekh Ibrahim bin Husain bin Syihabuddin al-Madani.
Dari Madinah ia meneruskan perjalanannya ke Damaskus dan mengambil ijazah tarekat al-Khalwatiyah dan sekaligus gelar Taj al-Khalwati al-Quraiyi masih banyak tarekat lain yang diperoleh ijazah dari guru-guru yang disebutkan semuanya dari Syekh Yusuf dalam karangannya berjudul Safinat al-Najat. Dalam risalah Syekh Yusuf itu disebutkan bahwa penerima ijazah kelima tarekat tersebut dan sisilahnya adalah sebagai bukti bahwa ia juga termasuk pewaris dan berhak mengajarkannya.
Setelah kepulangannya ke Indonesia sekitar tahun 1670, Syekh Yusuf memperkenalkan disiplin tarekat Khalwatiyyah yang sebenarnya merupakan gabungan teknik pemurnian jiwa di tarekat Khalwatiyyah dan beberapa tarekat yang telah beliau pelajari.

5. Syekh Abdul Samad al-Falimbani
Syekh Abdul Samad al-Falimbani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang. Dari silsilah, nasab Syeikh al-Falimbani berketurunan Arab, yaitu dari ayahnya yang bernama Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad al-Mahdani. Ayah al-Falimbani adalah ulama berasal dari Yaman yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang merupakan isteri kedua Sheikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya sempat menikahi Wan Zainab, puteri Dato' Sri Maharaja Dewa di Kedah.

Seperti lazimnya anak-anak kecil di masa itu, Syeikh al-Falimbani menerima pelajaran agama dariorang tuanya sendiri yaitu Sheikh Abdul Jalil mufti Negeri Kedah, selain beberapa guru di kampungnya yang sempat membimbing dirinya. Minatnya terhadap ilmu-ilmu keagamaan telah terlihat sejak usia muda. Merasa kurang puas dengan ilmu yang dicapainya, orang tua al-Falimbani kemudian mennyekolahkan anaknya itu ke tanah Makkah dan Madinah (30 tahun di Makkah, 5 tahun di Madinah). Di Makkah, beliau menjadi kawan seperguruan menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya. Misalnya, Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Meskipun beliau menetap di Makkah, namun, beliau tidak melupakan negeri tanah tumpah darahnya. 
Syeikh al-Falimbani tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.

Al-Falimbani berperanan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang mahupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu yang berkaitan dengan dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, beliau mengingatkan agar tidak tersesat oleh berbagai ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat. Mengenai kolonialisme Barat, al-Falimbani menulis kitab dalam bahasa Arab untuk meniup semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan umat Islam dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya.

Dua karya besar al-Falimbani, Sayr al-Salikin ila 'Ibadah Rabb ai-'Alamin dan Hidayah al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin dianggap sebagai contoh yang menunjukkan para ulama abad ke-18 kembali ke tasawuf Sunni AI-Ghazali dan meninggalkan wahdatul wujud Ibn al-'Arabi yang abad sebelumnya sangat dominan di Aceh.


Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Falimbani dinilai mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran wihdatul wujud Ibnu 'Arabi. Pendekatan tasawufnya lebih menekankan pensucian pikiran dan perilaku moral. Beliau juga mencoba menyelaraskan aspek syariat dan tasawuf. Tauhid sebagai salah satu maqam tertinggi dan tujuan yang ingin dicapai seorang sufi menjadi perhatian penting Al-Falimbani.

Tercatat dalam sejarah Peperangan antara Pattani dan Siam terjadi sebanyak 12 kali. Syeikh Daud Fattani dan Syeikh Abdul Samad al-Falimbani meninggalkan Makkah untuk turut serta dalam jihad menentang Siam pada tahun 1832. Sheikh Abdul Samad telah dilantik sebagai panglima perangdan mati  syahid dalam peperangan tersebut yaitu pada tahun 1828. Beliau ditangkap dan kepalanya dipancung tentera Siam, kemudian dibawa ke Bangkok untuk dipersembahkan kepada Maharaja Siam sebagai bukti kematiannya. 

Sumber Bacaan
1. Martin van Bruinessen,  ‘The origins and development of Sufi orders (tarekat) in Southeast Asia’,  Studia Islamika - Indonesian Journal for Islamic Studies vol. 1, no.1 (1994), 1-23. (http://www.let.uu.nl/~Martin.vanBruinessen/personal/publications/Bruinessen_Sufi_orders_in_Indonesia.pdf)
3. Ahmad Rais Johari. Biografi Hamzah Fansuri Berdasarkan Minuskrip Melayu Lama. http://syairfansuri.blogspot.nl/
4. Hilmy Bakar Almascaty. Misteri Syekh Hamzah Fansuri.http://aceh.tribunnews.com/2013/03/03/misteri-syekh-hamzah-fansuri
5. Wan Mohd Shaghir Abdullah. Syekh Nuruddin ar Raniri. http://ulama.blogspot.nl/2005/12/syeikh-nuruddin-ar-raniri.html
6. Zulfadli Kawom. Sosok Syamsuddin Assumatrani.  http://aceh.tribunnews.com/2012/02/19/sosok-syamsuddin-assumatrani
8. Shauqi al Yarmouki. Syaikh Abdul Samad al Falimbani. http://www.ustazshauqi.com/2008/09/sheikh-abdul-samad-al-falimbani.html


Wednesday, June 12, 2013

Kunci hidup sehat jiwa raga adalah ikhlas


'Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama...' (QS Al Bayyinah (98):5)

Ikhlas juga merupakan inti dari doa iftitah, saat kita berdoa 'sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku lillahi rabbil'aalamin'. Suatu doa yang mencakup seluruh kegiatan hidup kita, komitmen yang kita hadapkan ke hadiratnya setidaknya lima kali sehari.

Saat kita mengikrarkan bahwa seluruh aktivitas kita dipersembahkan untukNya semata, maka lebur sudah seharusnya harapan dipuji orang, mendapatkan balasan baik atau keinginan lain yang menyertai kegiatan kita. Seorang suami yang ikhlas akan menerima perannya mencari nafkah, pergi pagi pulang malam, menembus kemacetan, berpanas-panas di bawah terik matahari dengan semangat mempersembahkan setiap tetes keringat untukNya. Seorang istri yang ikhlas akan menjalani tugasnya mengurus anak, membersihkan rumah, dan memasak dengan riang gembira dalam hatinya, walaupun lelah mendera badan tapi ia yakin ganjaran Allah ada di ujung kehidupan ketika ia mempersembahkan pengabdiannya kepada keluarga sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya.

Ikhlas memang memberikan tenaga yang luar biasa bagi seseorang dalam menempuh kehidupan, hatinya akan lapang karena tidak mengharapkan apapun selain balasan dariNya, jiwanya makin bebas karena ia tidak terikat bentuk-bentuk peran duniawi, karena baginya yang penting adalah bagaimana Allah memandang dirinya daripada terpaku kepada pandangan orang.

Ikhlas membuat hati riang gembira melakukan setiap langkah dalam hidup, bagaimana tidak, setiap langkah ia meyakini bahwa Dia sedang menatapnya? Dan itu yang membuat dirinya selalu dipenuhi kepuasan dalam hidup.

Setiap sesuatu yang dikerjakan dengan ikhlas akan membawa keceriaan yang terpancar juga pada wajah seseorang. Raga pun akan 'tersenyum' dengan mengeluarkan hormon-hormon yang membawa kegembiraan, jantung berdetak dengan harmonis dan syaraf-syaraf akan bekerja dengan ritmis yang indah, maka orang ikhlas akan sehat raganya.

Saat kita mengeluh, marah dan tidak menerima ketetapan-Nya, jutaan saraf tubuh akan berespon dengan mengerutkan dirinya dan bahkan tidak sedikit yang putus. Kalau ini berlangsung lama dan berulang kali, maka dapat menimbulkan penyakit tergantung sisi tubuh mana yang lemah. Tekanan darah tinggi, migrain, sakit pencernaan, gangguan pernafasan adalah sedikit dari sekian banyak gangguan yang dapat timbul saat kita belum diberi kepandaian untuk memanage hati kita dengan baik.

Maka kunci hidup sehat jiwa dan raga adalah sehat. Tidak mudah memang untuk melakukannya jika tanpa pertolongan Allah ta'ala.

(Amsterdam, 8 juni 2013. 09.03 am)

Yang Lalu Biarkan Berlalu


Seringkali kita membebani diri sendiri dengan kejadian yang sudah lampau. Masa lalu yang kelam, pengalaman buruk, perbuatan yang tidak menyenangkan dan segudang kejadian lain seolah menggumpal dan membelenggu kaki kita sehingga membuat kita terseret-seret dalam melangkah.

Adalah baik tentunya belajar dari pengalaman, tetapi tatkala kejadian di waktu lampau masih menggelayut dalam hati sehingga mempengaruhi perilaku kita, ini yang kemudian menjadi benih-benih penyakit hati.

Ada beberapa alasan kenapa sebaiknya kita fokus pada apa yang ada per saat ini saja daripada pusing memikirkan masa lalu.

1. Alam raya senantiasa dalam ciptaan baru

Allah yang Al Hayyu (Maha Hidup) dan Al Qayyum (Maha Tegak) menciptakan alam dan seluruh isinya dalam bentukan yang baru setiap saatnya. Artinya kita dan seluruh benda-benda yang ada saat ini beda dengan kita dan benda-benda yang tampak sama lima menit yang lalu, satu jam yang lalu, apalagi satu tahun yang lalu. Seluruh alam terdiri dari fragmen-fragmen ciptaan yang dirangkai sedemikian rupa menjadi 'motion pictures' yang luar biasa menakjubkan bahkan kita bahkan tidak sadar bahwa kita terdiri dari penggal-penggal ciptaan yang masing-masing berdiri sendiri.

Konsekuensinya, saat pikiran kita tertambat di masa lalu and dwelling too much in it, kita jelas kehilangan masa kini dan berkutat dengan 'artifak' yang sudah membeku dalam perputaran roda waktu.

Tidak mudah memang menjadi anak Sang Waktu, butuh keberserahdirian yang baik dalam menjalaninya. Namun bukankah semua akan dibuat mudah jika kita berjalan dengan Yang Maha Kuasa? :)

2. Setan berperan menggoda manusia

Ujian adalah suatu keniscayaan dalam hidup, proses yang memilah-milah mana diantara hambaNya yang benar dalam ucapannya atau sekadar 'omong doang' dalam beriman kepadaNya.

 Untuk membuat seru panggung ujian Tuhan pun menciptakan setan yang kebagian peran antagonis, tugasnya satu, menggoda dan menggelincirkan manusia. Maka setan pun bersumpah akan menggoda manusia dari depan-belakang-kiri- dan kanannya, suatu simbolisasi arah horisontal yang menjadi daerah kekuasaan setan.

Godaan dari depan bahwa setan akan menakut-nakuti manusia akan hari esok. Dihembuskannya kekhawatiran, 
"aduh uang menipis bisa makan ga ya?
Biaya sekolah naik, bisa nyekolahin anak ga ya?"
Ditariknya manusia dari keberserahdirian dan tawakal kepada Tuhannya sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu horor kehidupan yang mengerikan sehingga ia lupa bahwa kuasa Tuhannya lebih besar dari sebesar apapun masalah yang dihadapi. Manusia pun lupa akan takbir-takbirnya yang dia ucapkan saat shalat 'Allahu Akbar', Allah Maha Besar, tentu seharusnya kesadaran ini membuat tenag hati karena kita punya 'beking' yang Maha Kuasa.

Godaan dari belakang, inilah yang membuat manusia kerap terjerat dalam ikatan dendam, permusuhan, rasa bersalah yang tidak sehat hingga putus asa. Adalah andil setan juga yang menghembus-hembuskan,
"Udahlah ngapain ibadah,kamu udah banyak dosa, percuma
Lha ngapain berbuat baik sama dia, lha wong dia juga dulu nyebelin!
Ga usah ngasih sama tetangga sebelah, dia juga ga pernah bagi2 makanan sama kita"

Makanya benar juga orang bijak yang berkata, kejelekan seseorang lupakan saja, tapi ingat selalu kebaikannya. Nampaknya itu lebih membuat hati bening.

Godaan dari kiri dan kanan, yaitu kemampuan setan memainkan pikiran manusia, sesuatu yang baik dibuat jelek dan sebaliknya.

Semua tarikan setan itu semata-mata bertujuan mencerabut manusia dari akar kekiniannya dan dari hubungannya dengan Allah Ta'ala. Demikian sakti mandraguna ilusi setan ini hingga banyak yang tertipu, kecuali segelintir orang yang hatinya ikhlas.

3. Semua terjadi atas kehendak-Nya

Tidak ada satu helai daun pun yang jatuh, tidak ada sebutir pasir pun yang bergeming kecuali dengan izin Allah. Ini adalah salah satu tauhid dasar.

Dalam setiap penggal kehidupan seseorang di masa lalu pun tentu terjadi dengan izin-Nya. Sekelam apapun kehidupan seseorang, setersesat apapun, sebobrok apapun dan segagal apapun kelihatannya di mata manusia. Adalah kehendak Tuhan yang menyertainya.

Alih-alih terlampau menyalahkan diri dan mengutuk diri sendiri hingga berputus asa dari rahmat-Nya, lebih baik kita berupaya mengerti apa maksud Allah telah memperjalankan kita pada keadaan seperti itu, sambil terus membersihkan diri dan sujud memohon pertolongan-Nya.

(Amsterdam, 12 Juni 2013. 10.45 am)

Saturday, May 18, 2013

Tiga Cerita Tentang Diskriminasi

Kamus Oxford memberi batasan tentang diskriminasi sebagai suatu perlakuan yang tidak adil atau 'prejudicial' khususnya berkaitan dengan ras, usia atau jenis kelamin.

Saya punya tiga kisah menarik berkaitan dengan perlakuan yang tidak adil semata-mata karena ras atau warna kulit berbeda yang didapatkan dari teman baik saya. Kurang lebih begini ceritanya ...

Cerita Pertama
Seorang wanita Amerika bersama suaminya sedang mengantri di supermarket di suatu negeri di Timur Tengah ketika tiba-tiba wanita lain -yang tampak dari pakaian dan wajahnya seperti orang lokal- mendekatinya dan menyuruh wanita itu dengan kasar untuk minggir dari antrian sehingga ia bisa lebih dulu dilayani. Sang perempuan Amerika yang 'tahu aturan' ini pun tidak serta merta menuruti kemauan aneh bin ajaib si perempuan itu, dibantu oleh suaminya yang padahal nota bene orang Timur Tengah juga, mereka memperjuangkan 'nasibnya', terjadilah perang mulut sengit yang berakhir dengan dorong mendorong dan mengakibatkan luka memar di tubuh sang wanita Amerika.

Pak satpam pun datang melerai. Akan tetapi ketika wanita Amerika dan suaminya ini menjelaskan duduk perkara dengan harapan mendapat pembelaan dari sang petugas keamanan, jawabn yang didapat cukup membuat mulut menganga, dia bilang 'bapak ibu sabar aja ya kalau melawan pun ngga akan menang di sini mah, orang lokal selalu menang!'

Memang perilaku kasar dari beberapa penduduk di negara ini sudah saya dengan sejak lama, teman saya yang dokter pun tidak bertahan lama bekerja di sana karena mendapat perlakuan yang buruk. Konon selain orang Arab you are nobody there and deserve to get treatment like a slave...*rolling eyes*

Cerita Kedua
Sebut saja namanya Oscar, dia adalah orang asli Belanda yang jatuh cinta dengan keramahan Indonesia, hingga dalam 10 tahun terakhir dia selalu menyisihkan gajinya untuk bisa liburan keliling Indonesia. Satu hal katanya yang tidak ia sukai dari perilaku beberapa orang Indonesia yang mendiskriminasikan bule.

Ceritanya Oscar suatu hari belanja suatu barang di toko A dan dikatakan harga barangnya 70 ribu rupiah, terjadilah tawar menawar dan Oscar pulang dengan wajah sumringah karena berhasil menawar harga barang menjadi 50 ribu rupiah. Beberapa hari kemudian barang yang sama dibutuhkan tapi kali ini yang membeli adalah istrinya Oscar yang orang Indonesia asli, bisa ditebak ceritanya?
Pulang dari toko istrinya Oscar ngomel-ngomel karena dia mendapatkan barang yang persis sama dengan harga 10 ribu saja...*gubrak!*

Pengalaman lain yang bikin gondok Oscar adalah waktu dia diajak mertuanya makan di warteg ;) saat mereka selesai makan kagetlah sang ayah mertua - yang biasa dengan tarif warteg- karena jumlah yang ditagihkan ke menantunya yang bule jauh di atas harga standar.

Cerita Ketiga
Kisah ini terjadi di negerinya Hans Christian Andersen. Tersebutlah dua orang perempuan Indonesia sedang asyik ngerumpi di dalam bus dalam bahasa persatuan (meminjam istilah Sumpah Pemuda). Sedang asyik-asyik ngobrol tiba-tiba seorang nenek -penduduk asli sana- menghampiri dan menghardik mereka dengan keras 'hei, kamu kalau mau tinggal di sini ngomong pake bahasa Denmark dong!', dalam bahasa Denmark yang mereka mengerti dan meninggalkan kedua perempuan itu melongo.

Beberapa teman yang tinggal di negeri ini ternyata juga mendapatkan perlakuan diskriminatif serupa, tidak jarang dari mereka yang ngga betah dan ingin pindah ke tempat lain yang lebih welcome, uhmm..seperti Amsterdam, particularly in Reigersbos area hehe (sambil ngomporin auntie dipsie dan maria untuk pindah ke Belanda jika dimudahkan ;)

Menarik menyaksikan bahwa perlakuan tidak adil itu bisa terjadi di mana-mana...
Bercermin dari kisah-kisah itu, menemukan orang yang baik hati dan hangat itu memang suatu anugerah yang tak terkira ya :)

Groningen, 18 May 2013
4.14 pm

Saturday, May 4, 2013

Agar Dimi'rajkan Dalam Kehidupan

Kisah tentang perjalanan Isra' Mi'raj Rasulullah saw sering kita dengar setiap tahun apalagi menjelang perayaan Isra' Mi'raj, selama bertahun-tahun lamanya kisah itu mampir di dalam imajinasi saya dan bahkan untuk berpikir bisakah saya isra' mi'raj bagaikan sebuah utopia semata. Benarkah demikian?
Di sisi lain, Rasulullah sebagai uswatun hasanah, contoh yang baik, semestinya bisa ditiru oleh umatnya, i mean logically speaking, untuk apa seorang rasul mendemonstrasikan sesuatu yang tidak mendatangkan kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh umatnya?

Isra' dan Mi'raj ternyata adalah sebuah tahapan yang sudah-sedang dan akan dilalui oleh setiap insan yang Ia ijinkan. Isra' yang artinya berjalan di muka bumi untuk kemudian dipersiapkan untuk melangit dalam sebuah mi'raj. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Surat Fushshilat "Allah mengkadar dan menciptakan bumi dengan berbagai makanannya, baru kemudian Allah bergerak kepada penciptaan langit"
Kehidupan Rasulullah saw yang lahir sebagai seorang yatim dan tak lama kemudian kehilangan ibunya juga, lalu diasuh oleh kakeknya, kemudian oleh pamannya, menikah dengan Siti Khadijah dan pada akhirnya kehilangan mereka semua dalam sebuah tahun yang disebut 'Tahun Duka Cita' adalah sebuah pengkadaran bumi bagi Allah, rangkaian dari isra'-nya Rasulullah untuk kemudian Allah anugerahkan mi'raj, sebuah proses pengembangan tujuh langit dalam diri Rasulullah, manakala beliau naik ke lelangit dan bertemu Allah Ta'ala di Sidratul Muntaha, dan beliau tidak tinggal di sana, akan tetapi turun kembali ke bumi dengan membawa kesadaran baru.

Kita pun semua sedang di isra'kan dalam kehidupan dengan semua ketetapan Allah yang telah disematkan dalam garis-garis kehidupan masing-masing. Orang tua kita, saudara kita, masa lalu kita, pekerjaan kita sekarang, pasangan kita saat ini, serta berbagai kadar-kadar kehidupan kita hari ini adalah bahan baku yang bisa melontarkan kita untuk mi'raj ke langitnya dalam setiap harinya, bukankah dikatakan bahwa "Shalat adalah mi'rajnya orang mukmin"?

Dalam kenyataannya memang saya sendiri merasa belum layak untuk dimi'rajkan, lha wong menjalani isra' saja masih keteteran, sekadar menjalani kehidupan dengan penyerahan diri yang baik dan menerima  ketetapanNya dengan senyuman di hati saja masih pontang-panting. Masih banyak sekian raksasa dalam diri yang harus ditertibkan, ditundukkan dalam sujud kepada-Nya. Saat cermin hati kita masih bergejolak oleh sekian fenomena kehidupan, takut ini-itu, khawatir ini-itu, gelisah, galau, over excited, terlalu ngoyo dsb rasanya saat itu pijakan kaki kita sedang tidak ajeg di bumi, alih-alih bisa melakukan isra' - perjalanan di bumi, untuk berdiri tegak saja kita masih limbung.

Seorang bijak dari Garut pernah berpesan kepada saya, "Seorang yang beriman itu hatinya seperti permukaan air yang tenang", riak apapun yang menggetarkan air akan hilang dengan cepat dan air yang tenang pun bisa menjadi cermin kembali untuk memantulkan cahaya-Nya.

Semoga tulisan ini menjadi doa, permohonan kepada Yang Maha Kasih, agar berkenan membuat hati kita tenang dalam menjalani kehidupan, agar bisa isra' dengan baik, hingga dengan ijin-Nya kita bisa dimi'rajkan oleh-Nya. Aamiin.

Amsterdam, 5 Mei 2013
6.45 am

Thursday, April 25, 2013

Bersujud Dalam Keseharian

Posisi sujud kabarnya merupakan posisi yang paling Allah sukai.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:


paling dekatnya seorang hamba dari tuhannya ialah ketika seorang hamba dalam keadaan sujud,oleh"  karenanya perbanyaklah berdoa dalam keadaan sujud” HR Abu Dawud
Rasanya memang posisi ini adalah posisi yang paling khidmat dalam mengekspresikan sebuah penghambaan. Namun sujud ternyata tidak hanya dilakukan dalam sholat-sholat kita yang hanya beberapa menit dibandingkan keseluruhan aktivitas hidup.

Perhatikan bahwa ketika sujud posisi kepala kita ditekan dalam-dalam menyentuh tanah, sebuah isyarat ketawadhuan (seharusnya orang yang shalat makin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong - kaya bawang putih). Selain itu hati letaknya lebih atas, simbol bisikan hati nurani hendaknya yang menggerakkan kita jika dibandingkan dengan akal pikiran.

Akal pikiran cenderung menipu dan terlanjur didominasi berbagai macam bentuk nafsu dan syahwat. Bukan berarti tidak menggunakan akal pikiran, tapi dalam hidup akan ada saat-saat dimana akal pikiran kita mentok, tidak akan bisa berfungsi atau melompat melihat fenomena kehidupan apa adanya. Adalah si akal pikiran yang selalu sibuk mengkotak-kotakkan persoalan; ini baik, itu buruk, ini cukup , itu kurang, ini bahagia, itu kurang bahagia dst. Tapi si hati akan selalu bilang 'yo wis terima saja, berserah saja, maafkan, jalani saja'.

Praktisnya, jika kita masih dipusingkan oleh pernak-pernik masalah kehidupan yang tiada habisnya, - sekali lagi bukan berarti ga boleh mikirin dunia ya, tapi jangan sampai berlarut-larut dan tenggelam di dalamnya- misal, ngedumel tiada henti tentang kelakuan boss kita yang petantang-petenteng, ngamuk-ngamuk karena pasangan kita ga memenuhi keinginan kita, khawatir tak berkesudahan akan rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM sembari pikirannya gesit menerawang 'duh nanti harga-harga pada naik dong, gimana..? gimana?' dan banyak lagi lintasan emosi, kekhawatiran, kekecewaan, kegetiran yang akan (atau sedang) kita alami. Nah, kalau masih dipasung dengan 'the unfolding of His plan', rasanya itu tanda kita belum bersujud. Setidaknya masih belajar sujud lah melalui shalat-shalat kita, lumayan...

Semoga Allah Ta'ala membuat kita jadi orang-orang yang bersujud, amiin

Amsterdam, 26 April 2013
5.36 am

Memaknai 'Subhanallah' Secara Praktis

Sejak kecil saya diajarkan tentang dzikir subhanallah yang katanya artinya 'Maha Suci Allah'. Berpuluh tahun lamanya saya ucapkan dzikir itu di lisan saya tapi terus terang saja, ngga begitu bergaung maknanya di dalam hati, setidaknya ini yang saya pribadi rasakan. Istilahnya anak muda sekarang, iya Allah memang Dzat Yang Maha Suci, so what geetu lho? Lalu apa hubungannya dengan kehidupan saya per saat ini, apa efeknya dengan masalah yang sedang mendera saya di hari ini? dst..dstt..
Tapi, kata Pak Ustadz dzikir ini baik untuk diucapkan ada hadisnya kuat! Maka ya saya lakukan saja.

Pemahaman baru saya tentang makna 'subhanallah' yang Allah berikan kepada saya melalui seorang ulama di Bandung sekitar tahun 2001 itu sangat membuka cakrawala saya dan yang penting bisa menjiwai dzikir itu dalam aspek apapun dalam kehidupan. Karena saya percaya agama dan kehidupan adalah sama, tidak bisa dipisah-pisahkan. Bahwa sholat dan ibadah ritual yang kita lakukan sebagai perwujudan taat kepada aturan-Nya juga harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam berinteraksi dengan sesama makhluk-Nya.

Ulama itu mengatakan bahwa akar kata 'subhanallah' dari kata 'sabaha' yang artinya mengalir. Jadi saat kita mengatakan dzikir subhanallah di lisan kita, idealnya hati kita mengalir dengan keadaan apapun yang Dia sedang turunkan di saat itu. Tentu gampang untuk mempraktekkan hal ini saat kita mendapat hadiah "subhanallah!" (dengan sumringah), saat lulus ujian "subhanallah" (sambil jingkrak-jingkrak dikit), atau saat dapat bonus tak terduga "subhanallah" (sambil pikiran melayang cepat merencanakan mau beli apa yaa? uhmm...). Tapi coba kalau saat kita lagi bete, karena rencana gagal "subhanallah..." (sambil ngenes), sedang punya masalah dalam kehidupan pribadi "subhanallah" (sambil nahan sakit gigi) ouch...ga mudah memang untuk bisa 'mengalir' dalam karsa-Nya dengan suka cita. Padahal kata Ibnu Athaillah "Sekuat apapun keinginan seorang hamba tidak akan sanggup mengoyak takdirNya". Tetap saja dalam hidup ini rencana-Nya yang akan berjalan, kalau seolah-olah kita berhasil dengan rencana kita ya itu karena kebetulan saja rencana kita berjalan seiring dengan Dia. Here's the catch, pilihannya kata Allah dalam Al Qur'an "Kembali kepada-Ku dengan suka cita atau terpaksa?"

Arti kata subhanallah dalam bahasa keren saat ini juga banyak, seperti "be at the present", "living the moment" dll. Semua nuansanya sama, suatu gerak mengalir. Seperti halnya air, makhluk Allah yang berserah diri, kita tidak pernah melihat air protes ngga mau mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah (thanks God!), mengalir itu ya nurut saja dengan ketentuan-Nya, makanya sering dikatakan "mengalirlah seperti air". Ah, rasanya saya masih harus banyak belajar dengan sang air, untuk mengalir suka cita dalam ketentuan-Nya. Subhanallah....

Amsterdam, 25 April 2013
12.10 siang

Tuesday, April 23, 2013

Apakah Islam Hanya Mengakui Nabi Muhammad?

Pagi ini suami saya berbagi cerita yang menarik yang menggambarkan percakapannya dengan salah satu koleganya seorang Belanda asli, berikut kira-kira percakapannya:

Kolega (K) : Apakah Islam hanya mengakui Nabi Muhammad?
Suami (S) : Oh, tentu tidak! Islam mengajarkan untuk menghormati ajaran Nabi Adam, Yusuf, Musa, Ibrahim, Isa dll.
K: O iya? Saya baru tahu itu, karena selama ini orang Muslim hanya lantang ketika Nabi Muhammad dilecehkan, namun saya tidak pernah mendengar manakala Jesus (Isa) dihina lantas orang Muslim bereaksi keras menentangnya.
S: Saya juga tidak mengerti akan hal itu, yang pasti Al Quran mengajarkan untuk beriman kepada ajaran nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad juga.
K: Sungguhkah itu? (Koleganya makin terkaget-kaget) apakah benar al quran mengajarkan untuk menghormati nabi-nabi selain Muhammad ?
(Tampaknya dia masih kesulitan untuk memahami ini, karena semua suguhan di media massa yang dicernanya tidak jauh dari mereka yang mengaku dirinya 'muslim' dan berbuat kekerasan serta tidak ramah terhadap mereka yang berbeda paham)
S: Setidaknya itu yang saya percayai. Saya juga percaya untuk beriman kepada kitab selain Al Quran yang ada, bahwa Injil, Taurat dll adalah bagian dari Kitab-Nya yang sepatutnya kita pelajari.
K : (makin terbengong-bengong)

Itulah sedikit cerminan bagaimana seorang yang dilahirkan, dididik dan dibesarkan di negeri Belanda melihat Islam. Saya pribadi betul-betul bisa memahami bentuk pemikiran dia, lha wong baru beberapa bulan di sini image orang Islam yang saya lihat di tv kalau ngga nge-bom, perang, berlaku sewenang-wenang pada wanita dan berbagai label yang kurang indah lainnya. Memang pernah ada pemberitaan positif tentang prestasi ilmuwan Islam yang berkontribusi dalam peradaban dunia, tapi cerita itu tenggelam dalam ratusan cerita kelam lainnya.

Ketika berita pemboman di Boston kemarin terjadi, respon pertama saya dan suami adalah "aduh, semoga bukan orang Islam (lagi)!"..dan wakwaaaw...ternyata orang Chechnya muslim katanya yang melakukan pheew...hal-hal seperti ini akan makin membuat hidup orang-orang perantauan makin menantang.

Bagaimanapun semua dalam kendali tangan-Nya, adalah Dia yang menakdirkan setiap kejadian. Oke, saya terima itu, di sisi lain, rasanya kita perlu melakukan upaya yang lebih aktif untuk memperkenalkan Islam yang sebenarnya kepada dunia. Berjuang membela ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw, seorang figur yang penyayang, yang berbesar hati menengok orang yang melemparinya dengan kotoran binatang setiap hari, yang berdoa untuk keselamatan suatu penduduk yang melempari beliau hingga berdarah, yang tidak marah kepada orang yang menipunya. Ah, kita betul-betul berhutang banyak kepada Yang Maha memberi kehidupan agar bisa menjadi hamba-Nya yang baik. Dimulai dari baik terhadap diri sendiri, suami, orang tua, anak, orang-orang terdekat dst..dst...yuk mari!

Amsterdam, 24 April 2013
7.47 am

Monday, April 22, 2013

Episode Baru Di Belanda

Minggu, 21 April 2013, kebetulan bertepatan dengan hari Kartini adalah momentum hijrah untuk bertempat tinggal dan berkarya di negeri Belanda bersama suami tercinta dan membangun bahtera rumah tangga.
Walaupun sudah tiga kali berkunjung ke negeri kincir angin, namun momen ini sangat istimewa, karena kami berencana tinggal lama disini, berapa lama? Only God knows. Walaupun kalau melihat status suami yang sudah mendapat kerja permanen di De Nederlandsche Bank dan amanah pekerjaan yang diberikan oleh Allah melalui justifikasi seorang mursyid, rasanya kami akan lama tinggal di sini, barangkali cukup lama untuk bisa mengantarkan anak-anak memasuki masa kuliah, insya Allah jika ada usia :)

Seumur hidup saya tidak pernah bermimpi untuk menjejakkan kaki di negeri ini, malah sebenarnya obsesi saya untuk suatu saat bisa menghirup udara di Benua Amerika rasanya masih membara. Tapi itulah kehidupan, you never know where the river will take you, unless you have the access to the 'grand map' ;)

Pertemuan dengan teman sekelas di SMAN 3 Bandung, yang sekarang jadi suami, pun berawal tidak terduga melalui 'spam'yang terkirim di milis kelas kami. One email leading to chatting, phone conversation, meeting up again after 14 years in London - where he proposed me there - after around 4 months corresponding through emails, yahoomessengers, skype (thanks to the technology!). And we got married on 15th May 2011 in Bandung, standing for nearly 4 hours greetings as much as around 2000 guests, typical Indonesian wedding ceremony, looking back all we can say is "what on earth were we doing?":D

Rencana untuk segera berkumpul bersama di Belanda pun melalui tahapan panjang dan berbelit-belit, tersandung masalah birokrasi, adminstrasi dan kami harus menunggu kelahiran putra pertama kami Elia yang tiba di alam dunia ini pada tanggal 4 Juni 2012. So, for more than 2 years we were having a long distance relationship, something that i personally wont recommend any married couple. Why? Because in my experience, there were too many chance of miscommunication and being away from your spouse makes you feel incomplete, thus sometimes it can get you to make any harsh and egoistic decision that seemed good for yourself'', thats right, YOURself, it was al about you, not we. Jadi mengerti mengapa Rasulullah saw melarang meninggalkan istri lebih dari 6 bulan (dikisahkan dari riwayat sahabat yang berperang dan kemudian ketika masanya sudah mendekati 6 bulan di medan perang, maka sahabat tersebut dikirim pulang untuk menemui keluarganya).

And here we are now, coming back to The Netherlands, im writing partly because i need to do something to recover from my jetlag ;) We came around 7am today at Schiphol after 16 hours flight with Garuda (GA 88). Rasanya seperti mimpi, baru kemarin ada di Bandung lalu ke Jakarta, dan sekarang sudah ada di Amsterdam. Ah, semua juga bumi Allah, Dia Yang Maha Kuasa memindahkan kita ke manapun Dia berkehendak. Hidup jauh lebih ringan saat kita berserah kepada rencana-Nya.

Bismillah, memulai episode baru hidup di Belanda :)

Saturday, February 23, 2013

Sepenggal kehidupan yang menentukan

Sembilan belas tahun lamanya saya dihantui oleh pertanyaan yang berputar di dalam benak saya tentang "apa fungsi kehidupan dunia ini?"
Kalau kita hanya diciptakan untuk sekolah, kuliah, dapat pekerjaan baik dan mengumpulkan uang banyak, menikah, punya anak, menikahkan anak, punya cucu dan mati, rasanya bagi saya hidup kita tidak beda dengan sang kambing yang pergi ke padang untuk merumput (analogi cari kerja buat manusia), berkembang biak lalu mati. Kehidupannya berputar sekitar memenuhi kebutuhan jasmani dan pernak-perniknya yang berbau jasmaniyah, entah itu jabatan, kekuasaan, nama baik, ketenaran, ingin dipandang orang saleh dsb.

Kemudian ide tentang adanya alam akhirat, kehidupan lain dan alam penghakiman dimana semua manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah masuk akal buat saya.
Seringkali banyak orang yang menzalimi orang lain di dunia ini lenggang kangkung lepas dari hukuman, simply because he or she has lots of money and connections at high power! Di mana letak keadilan?
Dimana juga letak adil saat seseorang bisa menghabiskan uang milyaran menikmati sebongkah batu perhiasan just for show off or he sake of arts, while at the same time billions of people struggling just to have an access to clean water and sanitation?
Dimana letak adil saat seorang wanita tak berdaya harus meregang nyawa diperlakukan secara keji oleh para pemuas syahwat bejat mereka?

Ah...terlalu banyak fenomena dunia ini yang membuat saya geleng-geleng kepala, tadinya saya mau menuliskan kata muak...tapi menyadari bahwa semua datang dari tanganNya yang Maha Suci, akhirnya saya memilih jeda sejenak untuk istighfar...mohon ampun atas kebodohan saya yang belum bisa melihat keadilan dan hikmahNya di balik peristiwa-peristiwa yang sering menyesakkan dada...

Jangan jauh-jauh lah...saya pun kadang masih harus bergulat untuk menerima keadaan kehariinian yangh sedang digelar. Our monkey mind tend to 'offered' us many solutions while saying..."How about his...what about that..." We dwell so much and even too much to other scenarios of life while at the same time loosing our presence...yup...kita kerap kali kehilangan kehariinian kita, tertarik oleh masa lalu, didera oleh kekhawatiran masa depan yang semuanya sama sekali ga ada hubungannya dengan apapun yang sedang kita nikmati di bumi yang kita pijak hari ini, saat ini juga!

Kembali ke penggal usia kita yang sangat singkat, katakanlah 90 tahun dibandingkan dengan kehidupan alam barzakh dan alam makhsyar dan akhirat yg mungkin milyaran tahun. Maka meminjam logika matematika, satu dibagi tak terhingga adalah nol! Its nothing compares to the world that awaits us...but why, why this very life is so important that it determined our course in our next life?

Selama kurun waktu 19 tahun saya mencoba merangkai keping-keping pengetahuan yang Allah berikan melalui berbagai guru atau peristiwa. Saya meyakini bahwa Allah telah mendesain kehidupan manusia secara detail dalam cetak biru yang Dia tulis di Lauh Mahfuzh dan bahwa setiap diri kita memainkan peran tertentu dalam kehidupan ini.

Saya percaya bahwa kehidupan dunia ini adalah format kehidupan terlengkap sebagai ajang untuk mengenal Allah...dalam istilah Rasuln 'dunia sebagai ujung dari jubah Allah' suatu alam ciptaan yang paling primitif dibanding alam lain. Belum lagi kita bicara ke alam malakut dan jabarut yang jauuuh lebih tinggi kompleksitasnya.

Oleh karenanya ajang kehidupan dunia ini sangat penting, mengenal Allah dari titik awal. Mempelajari Dia secara perbuatan...Dia yang sedang bersembunyi di balik tirai, telah menyimpan banyak 'clues' seperti kisah Hansel and Gretel yang menemukan kembali jalan pulang lewat remah-remah roti yang ditabur sepanjang jalan. In a way, I believe Yang Rindu untuk dikenal telah 'bersusah payah' meletakkan petunjuk-petunjuknya secara indah dalam konstelasi hidup setiap orang dan itu bersifat personal :) ah...Dia memang sangat romantis <3

Lalu kisah kasih kehidupan manusia di dunia ini merupakan lakon besar alam semesta, yang semua nabi,wali dan orang suci tetap mendapat pelajaran dan akses untuk membaca semua pagelaran zaman dari awal hingga akhir peradaban nanti.

Sebuah pagelaran besar tentang Dia Yang Ahad ditaruh dalam 'pertunjukan' di alam dunia, ketika ruhj dari alam jabarut beserta jiwa dari alam malakut berpadu mengenakan pakaian jasad dari alam mulkiyah. Tidak akan ada lagi pagelaran sebesar ini! Jadi makin mengerti kenapa Allah 'repot-repot' menciptakan alam semesta milyaran tahun lamanya, membentuk jasad manusia saja sudah jutaan tahun...layaknya persiapan pagelaran besar yang membutuhkan sekian banyak persiapan. Sang sutradara sudah merancang semua dengan teliti, sangat presisi. Dia Yang Tahu persis kenapa sehelai daun jatuh di kedalaman hutan Amazon sana saat kita sedang asyik nongkrong di depan layar komputer. Apa hubungannya jatuhnya sepucuk daun dengan kehidupan kita? Meminjam istilah anak muda sekarang, 'emang gue pikirin?'...mungkin memang seolah tidak ada hubungannya dengan kita. Tapi setidaknya ada satu titik yang menghubungkan si daun yang tak dikenal tadi dengan Barack Obama, Madonna, Jokowi (I just randomly pick up names) and of course our life...it all designed by the same Divine 'hand'...

Kalau kita belum mengerti di alam dunia ini jangan khawatir, masih ada alam barzakh dan mahsyar tempat semua persoalan akan dibukakan seluas-luasnya, setransparan mungkin...tapi ruginya kalau kita baru ngeh belakangan, well...kita akan sangat kehilangan momen mengenali Dia dia alam yang super komplit ini, dimana semua tajaliNya hadir dengan sangat elegan.

Jadi, selama nafas masih di kandung badan, kita istighfar banyak-banyak dan menyemangati diri sendiri untuk mencari ilmu dengan bekal iman dan taqwa.

Kiranya Dia berkenan menuntun kita untuk tumbuh menjadi pohonNya yang baik, yangl berbuah lebat hingga menyenangkan hati Sang Penanam.
Aamiin...

Amsterdam, 23 Februari 2013
*ngetik di blackberry sambil gendong Elia yang tertidur di pangkuan*:)