Tuesday, August 29, 2017

Aku Akan Tetap Menikahimu

"Mas, dokter bilang besar kemungkinan hidupku kurang dari empat tahun. Sel kankernya sudah menjalar ke paru-paru dan hati..."
Suasana hening sejenak.
Kulihat titik air mata menetes di pipinya. Lelaki kuat yang mengobar bara semangat dalam hidupku.
"Ga masalah dik..."
Ucapnya lirih sambil mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya.
"Niat mas sudah bulat ingin menikahi Adik semata-mata ingin beribadah dan meraih ridhoNya."
"Tapi mas..." sahutku dengan getir.
"Sssst...sudah lebih baik kita fokus kepada persiapan pernikahan sederhana kita, seperti yang sudah kita angan-angankan. Apalah arti waktu sehari, seminggu, setahun atau seratus tahun selama kita bisa meraup detik ini dengan penuh makna dan kebersamaan. Dan lagipula bukankah kita percaya akan kehidupan yang lebih kekal dan lebih indah di sana? Ini bukan akhir dari kisah kita sayang, justru kita baru akan memulainya. I love you and will always do..." ucapnya mantap dengan tatap mata tajam yang membuat hatiku dulu langsung terpana. Ah, lelakiku, engkau memang layak menjadi imamku....
- Inspired by a true story. Buat keponakanku sayang yang akan menjelang setengah agamanya (ad diin), semoga dilapangkan jalannya, barakallah. Sungguh aku salut dengan kebesaran hatimu...

Friday, August 25, 2017

Offline is a New Luxury

Its a rush hour.
Menyatu di dalam kereta di pagi hari dengan orang-orang yang bersetelan rapih, laki-laki memakai jas dan perempuan berpakaian resmi lengkap dengan make up di wajahnya.
Semua orang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Ada yang bicara di telepon, ada yang membuka laptop, ada yang menggoyangkan kepala mendengarkan musik melalui headphone besar yang menutupi telinganya.
Tunggu, tidak semua orang.
Ada satu...dua...tiga orang yang menikmati pemandangan indah di pagi hari sambil menyerap setiap partikel cahaya matahari yang menyapa wajahnya. Tiga orang itu, semuanya sudah berusia tua. Setidaknya nampak dari keriput di wajahnya.
Lalu salah satunya melirikkan pandangan kepadaku. Seorang perempuan tua berkacamata hitam. Tiba-tiba ia melemparkan senyumnya. Terasa hangat, sehangat sinar matahari yang menerobos jendela kereta.
Tindakan sederhana yang menebarkan kehangatan dalam jiwa.
"Senyummu adalah sedekah", kata sang nabi.
Memang tampaknya di era internet ini orang bisa duduk bersebelahan tanpa berinteraksi satu sama lain walau sekadar saling melempar senyum karena masing-masing sibuk menghanyutkan diri ke dalam lautan teknologi yang ditawarkan oleh telepon genggamnya masing-masing. This is the era when offline seems to be a new luxury.

Monday, August 14, 2017

The Prince of Egypt

Eksodus atau peristiwa hijrahnya Bani Israil keluar dari perbudakan Firaun di negeri Mesir merupakan sebuah peristiwa besar namun nyaris belum ditemukan jejak arkeologisnya, demikian yang diterangkan oleh Dr. John Ward, seorang arkeolog senior yang mendedikasikan 15 tahun terakhir dalam hidupnya untuk meneliti ihwal eksodus ini hingga beliau tinggal lama di Mesir. Bersama dengan rekannya, sejarawan bernama Scotty Roberts mereka menelusuri jejak peristiwa eksodus yang banyak keterangan utamanya diambil dari informasi yang terekam dalam kitab suci.

Peristiwa eksodus berkaitan dengan kejadian spektakuler dibelahnya Laut Merah dengan kuasa Allah saat Bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa menyeberanginya. Kisah Musa sejak bayi yang dihanyutkan ke dalam sungai Nil hingga memimpin Bani Israil keluar dari penjajahan Firaun di Mesir adalah kisah jiwa manusia yang ingin keluar dari perbudakan hawa nafsunya masing-masing yang membelenggu fitrah jiwa.

Ada film bagus yang dibuat dengan sangat serius untuk menggambarkan peristiwa eksodus ini, yaitu film kartun berjudul "The Prince of Egypt"yang merupakan adaptasi dari film "The Ten Commandements" yang dirilis tahun 1956, dibintangi oleh Charles Heston sebagai Musa, Yul Brynner sebagai Ramses II dan disutradarai oleh Cecil B. DeMille, yang dikenal sebagai bapak pendiri dunia perfilman di Amerika dan dijuluki "the most commercially succeeful producer-director in film history."

Tentang Film "The Prince of Egypt"

Jeffrey Katzenberg, salah seorang pimpinan di Walt Disney Studio sudah sejak lama ingin membuat film animasi yang mengadaptasi film kolosal "The Ten Commandments", namun ide itu mulai diseriusi sejak obrolan santai dengan Steven Spielberg di ruang keluarga rumahnya. Katzenberg masih ingat saat Steven memandangnya serius dan berkata, "You ought to do The Ten Commandments."

Maka dimulailah proyek pengerjaan film animasi "The Prince of Egypt" yang melibatkan sebanyak 350 seniman dari 34 negara yang berbeda. Dalam film ini sebanyak 934 latar belakang yang dilukis manual bisa disaksikan. Selain itu untuk membantu keakuratan dari sisi teologi produksi film ini juga melibatkan para pakar Alkitab dan teolog Nasrani, Yahudi dan Muslim.

Para pengisi suara pun dipilih dengan cermat. Suara Musa oleh Val Kilmer; Yokhebed sang ibunda Musa oleh Ofra Haza (artis terkenal Israel yang dikenal juga sebagai "The Israeli Madonna"); Miryam, adik Musa diisi suaranya oleh Sandra Bullock, Ralph Fiennes mengisi suara Ramses; Jeff Glodblum mengisi suara Harun; Danny Glover mengisi suara Jethro (Nabi Ya'qub), Michelle Pfeiffer mengisi suara Tzipporah (anak Jethro yang dinikahkan dengan Musa) juga sederet artis kawakan lain seperti Patrick Stewart, yang berwibawa dalam peran sebagai Professor Charles Xavier di film X-Men juga sebagai Captain Jean-Luc Picard di serial Star Trek; juga Helen Mirren, sang aktris legendaris yang memperoleh "The Triple Crown of Acting"- sebuah istilah dalam industri perfilman Amerika bagi aktor/aktris yang sekaligus memenangkan Oscar, Emmy Award dan Tony Award. Helen menyandang gelar dalam perannya sebagai Ratu Elizabeth II dalam film "The Queen".

Musik juga memegang peranan penting dalam mengusung rasa dari sebuah film. Komposer handal Hans Zimmer yang sukses mewarnai lebih dari 150 film bermutu seperti "The Lion King", "The Thin Red Line", "Gladiator", "Interstellar" dan "Dunkirk" turun tangan dan bekerja sama dengan Stephen Schwartz sang penulis lirik. Kontribusi dua diva, Mariah Carey dan Whitney Houston yang menyanyikan lagu "When You Believe" juga menjadi nilai tambah besar bagi film ini. Dikabarkan sebenarnya suatu 'keajaiban' bisa mempersatukan dua diva yang dikenal berseteru itu untuk bekerja sama menyanyikan lagu religi, tapi karena keduanya mempunyai pengalaman yang erat dengan musik-musik religius maka masing-masing merasa adalah sebuah kehormatan untuk bisa berpartisipasi menyebarkan pesan Tuhan melalui keahlian mereka sebagai penyanyi profesional. Setiap kata dalam lagu itu diulas secara cermat, contohnya ada satu lirik yang diganti. Awalnya berbunyi "you can do miracles when you believe", tapi setelah dirasa-rasa kalimat itu lebih menitikberatkan pada manusia sebagai pelaku keajaiban dibanding Tuhan. Maka liriknya diubah menjadi "there can be miracles when you believe."

Lirik lagu "When You Believe" memang sangat menggugah. Tak kurang Whitney Houston memberi pujian dalam sebuah wawancara : "Sebuah balada yang luar biasa; (sang penulis lagu) Stephen Schwartz adalah seorang jenius. Anda harus menjadi hamba-Nya yang benar untuk mengerti kedalaman lagu ini.
What a lyric! I can't talk about it - just listen to it."

*****
When You Believe

Many nights we prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hope for a song
We barely understood
Now we are not afraid
Although we know there's much to fear
We were moving mountains
Long before we knew we could, whoa, yes
There can be miracles
When you believe

Though hope is frail
Its hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe somehow you will
You will when you believe

In this time of fear
When prayer so often proves in vain
Hope seems like the summer bird
Too swiftly flown away
Yet now I'm standing here
My hearts so full, I can't explain
Seeking faith and speakin' words
I never thought I'd say
There can be miracles
When you believe (When you believe)


Sunday, August 13, 2017

Dunkirk

26 Mei - 4 Juni 1940, bisa jadi merupakan sepuluh hari terlama bagi lebih dari 300.000 tentara yang terkepung di kota pesisir kecil Dunkirk, dalam incaran sniper jagoan Nazi dan deru pesawat-pesawat pembom Nazi yang terkenal daya akurasinya.

Inggris lebih memilih mundur dan menjaga pesisir pantainya agar tidak ditembus Nazi. Sebuah kesadaran yang juga tergambar dalam ucapan seorang nelayan tua yang nekad melintas selat Inggris dan menyelamatkan apa yang ia bisa untuk berkontribusi dalam perang ini. Walau salah seorang prajurit yang ia selamatkan di tengah lautan berkata "Kamu gila! Kalian tidak punya senjata dan tidak terlatih sebagai prajurit. Lebih baik putar kembali arah kapal kecil ini dan kembali ke rumah!"
Sang nelayan tua dengan mata nanar menatap sang prajurit dan berkata, "Nak, kalau tentara Nazi itu berhasil menyeberangi selat ini dan menjangkau daratan maka tidak akan lagi rumah bagi kita."

Sebanyak 338.000 tentara terselamatkan dalam operasi penyelamatan 10 hari yang fenomenal itu. Sebuah momen sejarah yang dikatakan sebagai "Keajaiban Dunkirk", karena secara hitungan sekilas, seyogianya mereka sudah dihabisi oleh pasukan Nazi yang mengepung dari berbagai arah, namun tiba-tiba dikabarkan Hittler mengeluarkan perintah untuk berhenti menyerang selama tiga hari dengan sebab musabab yang hingga hari ini masih diperdebatkan. Di hari-hari yang genting itu tak kurang Uskup Besar Canterburry mengajak semua orang untuk berdoa dan mencanangkan "the Day of National Prayer". 
Episode penyelamatan Dunkirk ini memang fenomenal, ada yang berkisah bahwa Tuhan pun turun tangan dengan membuat cuaca demikian berkabut sehingga membatasi jarak pandang pada pilot pembom Nazi sehingga mereka kerap tidak akurat menjatuhkan bomnya. 

Terlepas dari pro-kontra yang ada, visualisasi penyelamatan Dunkirk yang digarap oleh sutradara Christopher Nolan yang sukses menyutradarai The Dark Knight Trilogy (Batman), Inception dan Interstellar ini patut untuk disaksikan. Sajian perang ala Nolan ini lebih 'soft' dibandingkan film perang seperti 'Saving Private Ryan' namun ketegangannya tetap terasa. 

Saya seperti kebanyakan Anda, dilahirkan di era damai. Belum pernah dan semoga tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya berada di tengah kecamuk perang. Dengan menonton film ini setidaknya saya menjadi lebih mensyukuri nikmat perdamaian, a precious thing that we often take for granted. Bisa menikmati sarapan pagi, belajar dan beribadah dengan tenang tanpa dicekam kekhawatiran akan serbuan pesawat pembom atau para penembak jitu setiap saatnya. Ah nikmat mana lagi yang kita dustakan...