Tuesday, August 25, 2015

A Little Speech From The Heart

Hari ini saya mengikuti Oudersbijeenkomst, pertemuan orang tua murid dan guru bulanan yang memilih topik "...". Di akhir sesi setiap orang tua dipersilahkan mengungkapkan apa kesan dan pelajaran yang didapatkan pada pertemuan hari ini. Karena Bahasa Belanda saya tidak begitu lancar, saya memilih mengungkapkan dalam bahasa Inggris, sambil terlebih dahulu minta maaf karena belum mahir berekspresi dalam Bahasa Belanda dan tidak sedikit orang tua yang menganggukkan kepalanya tanda empati dan mempersilakan saya untuk bicara apa adanya.

So I said this, "When I walked in this room and followed the session, I'm impressed by the sheer enthusiasm and passion that you all shared. I believe we all love our children and that we want them to become a better person. And that is enough for me...". Saya mengatakan itu dari lubuk hati saya seraya mencoba menatap mata mereka yang hadir satu per satu. Dan saya bisa merasakan koneksi saat mereka mendengarkan saya dan saat saya selesai berbicara mereka terdiam beberapa detik untuk kemudian serempak memberikan standin ovation, sesuatu yang saya tidak duga sama sekali. I guess a speech from the heart really touches heart as well...

Amsterdam, 25 Agustus 2015

Paper Towns

Quentin jatuh cinta pada pandangan pertama sejak Margo datang ke kota Orlando dan tinggal tepat di depan rumahnya. 

Margo adalah gadis pemberani dan penuh kejutan, sangat berbeda dengan Quentin yang selalu mengikuti aturan dan cenderung living a 'boring' life. 

Selama bertahun-tahun Quentin memendam rasa untuk Margo tapi tak jua diutarakan. Quentin merasa ia punya dunia yang berbeda denganya dan sedikit tidak percaya diri di hadapan Margo, anak gaul yang hampir menjadi queen of the prom, sampai ketika Jens, pacarnya ketahuan memacari perempuan lain.

It was the last week at high school, everybody was prepared and excited to go to the prom. Pada suatu malam Margo membawa Quentin ke petualangan yang tidak akan pernah dilupakannya. Dan keesokan harinya Margo hilang selama berhari-hari. Orang tua Margo mulai melibatkan polisi namun juga sudah skeptis dengan kepergian Margo seraya mengatakan bahwa ini sudah kelima kalinya ia melarikan diri dari rumah.

Quentin tersentak mendengar perkataan orang tua Margo yang menganggap anaknya tidak lain hanya pembuat onar. Yes, the very same girl who beat his heart faster and took him to the moon and back, ternyata hanya dipandang sebelah mata oleh orang tuanya, orang-orang terdekatnya.

Kepergian Margo meninggalkan tanda tanya besar bagi Quentin, hatinya terasa tercerabut justru pada saat ia merasa mulai merasakan kehidupan baru. Berbekal keping-keping petunjuk, Quentin akhirnya menemukan Margo, dengan bantuan sahabat-sahabatnya, mereka menempuh perjalanan dari Orlando ke sebuah kota kecil, disebut dengan paper towns, bernama Agloe.

Yang menarik dari film ini adalah akhir yang tidak seperti kebanyakan typical Hollywood happy ending. Quentin dan Margo berpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing. 

-----
Quentin: "so what's your plan?"
Margo: "I don't know, but I'm excited to find out."

Kita seringkali merasa kita tahu apa yang harus kita lakukan, tanpa berhenti sejenak dan mempertanyakan. Is this what I really want? Or is this what I should want?

Sejak di dalam kandungan, otak raga kita terbiasa menyerap informasi apapun yang dipaparkan lingkungan sekitar. Itu sebabnya banyak ibu yang mulai memperdengarkan lagu-lagu klasik pada janinnya dengan keyakinan hal itu bisa boosting perkembangan otak anak. Tidak hanya itu segala gejolak emosi ibu dikatakan berpengaruh kepada perkembangan janin. Otak manusia adalah seperti sponge, ia menyerap apapun yang dihidangkan di hadapannya. Oleh karena itu lingkungan sekitar sangat berperan membentuk seseorang: kesukaannya, preferensi musik, gaya rambut, cara berpakaian, buku atau film favorit, pekerjaan yang diinginkan hingga selera terhadap lawan jenis. 

"Tiga lapis kegelapan", demikian Al Qur'an (QS Az ZUmaar : 6) menjelaskan proses penghijaban jiwa insan yang merekam jelas kejadian di alam alastu, momen persaksian terhadap Sang Pencipta dan manakala setiap jiwa dikalungkan ke setiap lehernya ihwal misi hidup atau amanah yang sepatutnya dikerjakan di muka bumi. Lapis kegelapan pertama adalah yang paling dekat dengan dirinya yaitu raga insan yang menjadi kendaraan jiwa untuk menjalankan perannya. Lapis kegelapan kedua adalah sifat-sifat yang diturunkan oleh kedua orang tuanya, bisa jadi karena karakter bawaan atau sesuatu yang terbentuk saat tumbuh kembang. Adqapun lapis kegelapan yang ketiga adalah lingkungan dan dunia sekitarnya, mulai dari lingkungan terdekat di keluarga, pengasuh, teman-teman sekolah atau kantor juga tetangga dan segala kejadian serta orang-orang yang ditakdirkan beririsan kehidupannya dengan kita. Semua bercampur satu dan membentuk persona yang kita kenal per saat ini, tapi siapa sebenarnya diri kita? Dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup di dunia? Apakah sekadar singgah dan mencari kehidupan layak and have an happy ending ala fairy tales? Seriously, who are we? Who am I?

Itu pertanyaan yang berkelibat dan membuat saya sulit tidur bermalam-malam sejak saya menginjak usia 13 tahun. Sejak itu saya membuka buku-buku agama dan menghadiri berbagai forum pengajian. Menelisik lebih jauh tentang ide "life after death" yang banyak menginspirasi saya hingga sekarang. Perjalanan batin yang menuntun saya menemukan sang guru sejati yang membuat segala kegelisahan saya mulai redam dan diajarkan melihat keping demi keping puzzle kehidupan sebagai suatu pesan yang suci dan penuh cinta dari Sang Maha Pencipta.

Dua puluh dua tahun telah berlalu, sang gadis kecil telah melalui sekian banyak fase pembelajaran dari-Nya. Banyak hal berubah, namun pertanyaan yang sama senantiasa bergaung. "Who am I?"

Amsterdam, 25 Agustus 2015

Friday, August 7, 2015

"Messy Life"

Anak-anak suka "messy play".
Berikan mereka ruang dan peralatan yang baik untuk mengeksplorasi indera dan mereka akan asyik sendiri. Setelah itu ajarkan mereka untuk ikut beres-beres bersama, walau dalam praktiknya seringkali mereka malah bikin makin berantakan, tapi ya namanya juga proses pembelajaran.

Dalam ilmu perkembangan anak, proses "messy play" ini penting untuk merangsang sensorik-motorik mereka. Saat tangan mungil sang buah hati menyendok sesuatu pada tahap awal makanan lebih banyak yang berceceran di sekitar piring dibandingkan yang masuk ke dalam mulutnya. Tapi itu cara anak belajar.

Tampaknya demikian juga ketika Tuhan membiarkan hamba-hamba-Nya belajar dalam kehidupan. Setiap orang punya "messy episode" di dalam hidupnya masing-masing. Perbuatan, perkataan atau tindakan yang membuat kita malu untuk membicarakannya, menyesal sangat dalam atau sedemikian "messy"nya sehingga andai saja bagian itu bisa dihapus dari catatan hidup kita. Sesuatu yang sebenarnya tanpa setiap jejak langkah itu kita tidak akan menjadi diri kita yang sekarang ini.

Ternyata kalau ditilik-tilik, "our messy life" may not be messy at all.
“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagi anda. Mintalah pertolongan kepada Allah. Jangan lemah. Ketika anda tertimpa sesuatu, janganlah anda berucap: ‘Seandainya aku begini dan begitu pastilah jadinya begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah: ‘Ini telah Allah tentukan berdasarkan apa yang Dia kehendaki.’ Karena ungkapan “Seandainya/sekiranya/jika” akan membuka amalan syaithan.”
(Diriwayatkan oleh Muslim 2664)
Semuanya bagian dari pendidikan Ilahiyah.

Sunday, August 2, 2015

Kembali Ke Asal

Manusia tampaknya cenderung mencari tahu asal muasalnya dan merasakan kenyamanan semakin mendekati asal dirinya. Itu kenapa tradisi berkumpul bersama orang tua dan keluarga dalam berbagai momen seperti idul fitri, natal, tahun baru, thanksgiving, deepavali dsb adalah salah satu yang dinanti-nanti. Karena kita sejenak meretas kembali jalan menuju asal. Orang tua yang melalui mereka kita dilahirkan ke dunia.
Mengetahui asal muasal ternyata hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Saya mendapat kesan yang dalam tentang hal ini saat menyaksikan tayangan wawancara dengan seorang komedian terkenal di Belanda yang asal Indonesia - diadopsi sejak bayi oleh suami istri orang Belanda karena orang tuanya tidak mampu membersarkan dia. Namun saat ia beranjak remaja mulai muncul pertanyaan, "saya anak siapa?" karena jelas lewat kulitnya yang sawo matang dan perawakan khas Asia berbeda dengan kedua orang tuanya yang kulit putih. I mean this guy is a comedian, a funny one yang profesinya membuat orang tertawa. Namun dalam satu penggal dalam wawancara yang berkaitan dengan ibu kandungnya, lidahnya mulai kelu, suaranya parau dan air mata mengalir di pipinya. Dia ungkapkan selalu ada perasaan ingin tahu siapa orang tua kandungnya, walaupun orang tua yang membesarkan dia super baik. Ya, tampaknya manusia memang selalu ingin kembali ke asalnya masing-masing, walau sekedar sekeping informasi yang membuatnya lebih mengetahui asal muasalnya.
Lebaran, adalah momen kembali ke fitrah.
Asal jati diri kita masing-masing.
Momen yang pas saat kita bersuka ria bercengkrama bersama handai taulan, bercermin kembali tentang asal muasal kita. Keluarga tempat raga kita dititipkan.
Dan jiwa kita? Dari mana dia berasal...
Selamat berlebaran! taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum heart emoticon

"Sungguh Hamba Malu..."

Duh Tuhan, sesungguhnya hamba malu...
Malu saat berucap "inni wajahtu..." - kuhadapkan wajahku kepada-Mu - dalam shalatku yang seringkali tak khusyu itu.
Menyadari wajahku seringkali kuhadapkan kepada obyek-obyek selain-Mu.
Sasaran pandangku seringkali pada kepentingan memenuhi keinginan berbau hawa nafsu dan syahwat.
Yang mendominasi pikiranku kebanyakan bagaimana menikmati hidup dan menjauhi serta mengakali sebisa mungkin kepayahan mengerjakan amanah-Mu.
Yang menjadi tujuan hidupku adalah kesuksesan hidup di mata orang banyak dan karenanya aku habiskan waktu-waktu yang Engkau berikan kepadaku untuk mengejar keinginan menjadi sukses agar orang tua, handai taulan, tetangga, teman kantor dan orang-orang sekitar berdecak kagum dan bangga kepadaku. Sedemikian rupa sehingga aku melupakan misi hidup yang Engkau kalungkan saat jiwaku Engkau tiupkan ke dalam rahim ibunda.
Sungguh Tuhan aku malu...
Malu saat berucap dalam shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam"
Padahal Engkau paling tahu ada sedemikian banyak obyek-obyek kecintaan kepada selain diri-Mu dalam hati ini.
Engkau sebenarnya tahu, shalatku kadang sebatas menggugurkan kewajiban saja.
Engkau pasti tahu hidupku tertambat pada cinta kepada makhluk-makhlukmu.
Dan Engkau pun Maha Tahu, trilyunan keinginan yang bising di dalam hati yang jika hamba mati saat ini mereka juga terbawa mati.
Tetapi Engkau Maha baik,
Walaupun penghadapan hamba adalah penghadapan yang tidak sepenuh hati.
Walaupun keikhlasan masih jauh dari diri.
Walaupun persembahan hamba masih berupa koin palsu.
Engkau masih setia menjawab dan berkata "Aku disini hambaKu"
Engkau masih meminjamkan nafas dan kehidupan dengan fasilitas yang mewah ini.
Lalu bagaimana hatiku tidak luluh menerima semua keberlimpahan kebaikan dari-Mu ini?
Jadi Tuhanku yang Maha Baik,
Mohon terimalah persembahanku yang ala kadarnya ini.
I know it's far from perfect.
Tapi ijinkan hamba berkata, di antara sekian banyak hal yang kusekutukan Engkau, semoga sebutir pasir persembahan ini untuk-Mu semata.
Wahai Yang Maha Kasih...
With love,
Yours faithfully
Katwijk aan zee, 11 Juli 2015
6.50

Perempuan Dan Laki-Laki

Perempuan itu beda dengan laki-laki. Tidak hanya secara fisik, naluri, emosi juga yang terpenting sesuatu yang berkaitan dengan fitrah diri, sesuatu yang dikalungkan di leher kita masing-masing. Hal yang Jalaluddin Rumi dengan indah sampaikan dalam puisinya, "...There is one thing in this world that must not ever be forgotten. If you were to forget all else, but did not forget that, then you would have no reason to worry..."
Saya terlahir dalam jasad seorang perempuan. Namun saya merasa kurang mendapatkan pendidikan yang laik untuk mempersiapkan diri menyongsong pekerjaan paling berat dalam kancah hidup manusia, yaitu merawat dan mendidik anak. Saya teropong balik semua jenjang pendidikan yang saya lalui, memang pernah ada pelajaran 'keputrian' saat SD dan SMP sebatas masak bareng, menjahit dan merajut (yang gagal total buat saya- karena ternyata motorik halus saya kurang baik). Tapi dibutuhkan kualitas lain dari sekedar pintar masak dan jahit untuk jadi seorang ibu (dan istri). Dan saya pikir ini lebih mendasar. Kualitas kesabaran, kelembutan, ketangguhan menjalankan segunung pekerjaan sehari-hari yang seringkali tampak tiada akhir.
Saya baru merasakan beratnya pekerjaan seorang ibu terutama ketika hidup di negeri yang jauh dari keluarga - dan praktis tanpa bantuan asisten rumah tangga. I was not trained to do this. I think this is a huge gap in our education, kelalaian mempersiapkan pendidikan bagi orang yang paling bertanggung jawab bagi pembinaan generasi penerus kita, para perempuan!
Perempuan itu beda dengan laki-laki. Tapi pendidikan umum dan pekerjaan menyeret kami (kaum perempuan) harus berkompetisi dan perform sebagai laiknya laki-laki. This feels not right. Perempuan tidak seharusnya berkompetisi dengan laki-laki, kita adalah partner yang sejajar, kita saling mengisi dan bekerja sama.
Perempuan itu beda dengan laki-laki. Lihatlah perjuangan para perempuan yang bekerja sambil mengasuh buah hatinya yang baru dilahirkan, dia bersembunyi di sela-sela kegiatan kerja memeras susu untuk anaknya. Malam hari dia sukarela mengurangi jam-jam istirahatnya untuk memberi sang buah hati makanan yang ia anggap terbaik. Belum lagi aktivitas memasak, dan lain-lain pekerjaan rumah yang entah kenapa lebih lekat dikerjakan oleh kaum perempuan.
Perempuan itu beda dengan laki-laki. Karena dia punya rahim yang darinya ia lahirkan anak-anak penerus peradaban. Dan kualitas rahim (kasih sayang dan kelembutan) itu adalah kualitas utama yang anak-anak butuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Karen seorang perempuan (ibu) punya tugas utama yang mulia - mendidik anaknya- selaiknya pemerintah, perusahaan besar dan masyarakat membantu ia untuk bisa menjalankan tugas utamanya dengan baik sembari memberi kesempatan bagi sang perempuan untuk mengaktualisasi dirinya. Beri dia pendidikan dan pelatihan yang layak untuk menjadi ibu. Beri dia keluangan untuk menyusui bayinya dengan tenang dengan memberikan masa cuti minimal 6 bulan. Beri dia keleluasaan untuk memilih pekerjaan paruh waktu (20 jam per minggu) agar ia bisa lebih banyak meluangkan waktu dengan anak-anaknya. Bikinkan tempat penitipan yang baik dan dekat dengan tempat ia bekerja. Dan tentu, beri perempuan-perempuan yang berpotensi besar ini kesempatan untuk mengembangkan diri - (dan pada akhirnya) tempat kerjanya masing-masing. Dan sudilah kiranya pemerintah menyisihkan dananya untuk mensubsidi para ibu (dan orang tua) agar mereka tidak terlalu terbelenggu oleh rantai 'pemenuhan kebutuhan anak dan sehari-hari' yang bisa mencerabut mereka dari waktu-waktu berharga bersama anak-anaknya.
"Perempuan adalah tiang negara" - Rasulullah saw.
Saya perhatikan negara-negara yang mempunyai sistem yang baik untuk mengedukasi perempuannya dan memberikan iklim yang kondusif agar mereka bisa merawat anak juga bekerja (kalau mereka mau) dan kalau mereka memilih untuk mengurus anak-anaknya secara intensif maka pemerintah akan memberikan tunjangan buat ibu dan anak - rata-rata mereka punya ekonomi yang kuat, masyarakat yang tertib dan damai. Bukti hadits kanjeng Rasulullah saw, negara yang mampu me-manage perempuannya dengan lebih baik terbukti lebih unggul. Masih ada asa untuk Indonesia! Kembalikan 'kedaulatan' dan keluhuran perempuan sesuai dengan fitrahnya. Semoga generasi yang akan datang lebih baik lagi...
Amsterdam, 2 Juli 2014
- renungan di akhir hari di bulan Ramadhan, sambil menyaksikan dua buah hati yang tertidur lelap heart emoticon