Monday, June 29, 2015

Ramadhan Mengajari Kita Untuk Diam

Ibnu 'Arabi dalam Futuhat al-Makkiyya mengatakan, 
"Tidak ada (ibadah) seperti puasa..."
Karena berbeda dengan ibadah lain yang bersifat aktif, puasa justru melatih manusia untuk berdiam diri, diawali dengan mendiamkan hal-hal yang fisik; menahan mulut dari makan dan minum sepanjang hari dan juga menahan syahwat. Kemudian diharapkan sang hamba beranjak mendiamkan hal-hal yang bersifat batin, seperti pikirannya yang bercabang-cabang dan penuhdengan keinginan ini dan itu, mendiamkan amarah, emosi dan sakit hati masa lalu serta sekian banyak hal yang berkecamuk dalam hati.
Kenapa sangat penting melatih diri untuk berdiam diri?
Karena manusia seyogyanya adalah makhluk satu-satunya yang dapat memantulkan kualitas-kualitas Allah Ta'ala dengan sempurna. Seperti air yang tenang dan diam sedemikian rupa sehingga bisa memantulkan bayangan dengan sempurna. Lain halnya apabila airnya beriak, maka bayangan yang muncul di permukaan air pun akan buyar.
Ramadhan melatih hati sang hamba menjadi seperti air yang tenang, tidak beriak, tidak cemas, tidak grasa-grusu, tidak dikuasai oleh lintasan perasaan dan emosi sesaat ataupun keinginan dihormati orang, dipandang sukses, takut dibilang gagal dan bertrilyunan aktivitas di dalam hati manusia.
"Shaum itu untuk-Ku"
Pesan Sang Maha Kasih bagi hamba-Nya.
Dia yang telah memberikan sekian banyak kepada kita hanya meminta sedikit saja, itu pun kita tidak perlu melakukan apa-apa; tidak perlu mengeluarkan uang, tidak perlu beli ini-itu, tidak perlu melakukan aktifitas fisik yang luar biasa.
Sekadar berdiam sejenak. Mendiamkan hasrat dan keinginan yang sudah demikian menggurita. Karena hanya saat diri berdiam, suara-Nya mulai samar-samar terdengar.
Ramadhan bagaikan bulan pesta suguhan bagi para pencari-Nya.
Momen ketika Sang Tuan Rumah menyediakan hadiah kebahagiaan di saat berbuka dan saat bertemu dalam perjamuan dengan-Nya. *
Patutlah kiranya Al Qur'aan (disebut juga Al Huda - Kitab Petunjuk) pun diturunkan pada bulan yang mulia ini.
Baik rasanya untuk meluangkan waktu sejenak untuk berdiam, bahkan barangkali berdiam dari meminta ini dan itu kepada-Nya.
Sambil sesekali bertanya, "Duhai Allah, apa yang Engkau inginkan dariku?"
Semoga Dia berkenan menurunkan petunjuk-Nya ke dalam hati kita masing-masing yang sangat membutuhkan arah dalam menempuh setiap fase dalam kehidupan ini.
Aamiin ya Rabb...
Amsterdam, 29 Juni 2015 (12 Ramadhan 1436 H)
Teruntuk guruku yang mengajarkan diam (tenang) dalam menyaksikan setiap penyingkapan qadha dan qadarnya di setiap saat.
===
* “Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kasturi.” (Hadits Muttafaq alaih).

Thursday, June 25, 2015

Manusia : Makhluk Peniru

Anak-anak usia pra sekolah (toddler) mulai sering meniru apa yang mereka lihat, ini adalah sesuatu yang bagus. Karena hal itu menunjukkan secara emosional mereka mempunyai ikatan dengan orang tuanya - atau caregiver - siapapun yang meluangkan waktu lebih lama bersamanya. Semakin dalam ikatan emosionalnya maka si anak akan semakin banyak meniru orang tua. Proses meniru itu menunjukkan bahwa sang anak percaya dan merasa nyaman berada dalam asuhan orang tua. Salah seorang pengamat pendidikan anak mengatakan proses 'mimicri' (meniru) ini lebih urgen dibandingkan belajar angka atau huruf, karena dalam proses ini emosi anak mulai tersalurkan dan teridentifikasi.
Kita semua, manusia juga melalui berbagai tahap meniru dari kecil hingga sekarang, kita mengambil nilai-nilai dari sekitar kita, kemudian lingkaran itu makin meluas dan kita makin banyak mengambil nilai-nilai atau hal-hal yang kita anggap baik atau 'keren' untuk ditiru. Oleh karena itu siapa kita sangat diwarnai oleh lingkungan yang membesarkan kita.
In a way, Tuhan berharap kita jadi peniru-Nya yang baik. Semakin dekat hubungan seseorang dengan Allah Ta'ala, maka derajat peniruannya semakin baik. Oleh karena itu manusia paripurna yang disebut "insan kamil" adalah mereka yang berhasil menempa jiwanya menjadi cermin yang sempurna untuk 'meniru' bayangan yang jatuh ke dalamnya. Bayangan Dia, Yang rindu untuk dikenal...heart emoticon

Mempersembahkan Apa Yang Tuhan Tidak Punya

Guru Marketing saya pernah mengajarkan kalau mau memberikan seseorang hadiah yang akan dikenang seumur hidupnya, berilah ia sesuatu yang tidak dia miliki dan sangat dia inginkan atau butuhkan saat itu. Terdengarnya seperti commonsense biasa, tapi pada pelaksanaannya tidak mudah ternyata menebak dengan akurat apa yang seseorang benar-benar butuh per saat itu. Butuh intensitas pertemanan yang cukup lama dan terbuka hingga betul-betul bisa menangkap aspirasinya. Atau jalan pintas, tanya istri, suami atau teman-teman terdekatnya! wink emoticon ‪#‎ada‬ seribu jalan ke Roma.
Bagaimana kalau Tuhan? Apa yang Dia tidak punya? Wong Dia Maha Kaya dan Berkuasa?
Well, not really...
Ada satu hal yang Dia tidak punya. Dia tidak punya kefakiran. Fakir sering diterjemahkan sebagai 'poor' dalam Bahasa Inggris. Sifat fakir ini hanya melekat kepada makhluk-Nya (apalagi) yang bernama manusia.
Definisi 'fakir' menurut Imam Hambali adalah "orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya". Walaupun demikian, orang yang hartanya berlimpah bisa jadi tergolong fakir, karena ia merasa kesepian. Sebenarnya tidak ada manusia yang tidak fakir, seandainya ia menyadari sepenuhnya bahwa hidupnya dan diamnya pun sebenarnya mutlak bergantung kepada Dzat Yang Memberikan kehidupan.
Allah Yang Maha Kaya sebenarnya tidak butuh uang zakat kita, -apalagi cuma zakat 2,5%. Tapi seratus perak koin yang dimasukkan ke dalam kotak sumbangan masjid dengan hati yang memelas memohon pertolongan kepadaNya akan mutlak jadi sasaran pandang Tuhan.
Allah Yang Maha Besar tidak butuh disembah-sembah oleh makhlukNya, karena kalaupun semua ciptaan menyembah Dia tidak akan menambah sebutir debu pun kemuliaan-Nya demikian juga saat semua makhluk membangkang-Nya tidak akan setitik pun menurunkan kekuasaan Dia Yang Maha Kuasa. Tetapi sujud seseorang yang dilakukan dengan hati yang luluh memohon pertolongan-Nya akan sontak meraih perhatian-Nya.
Bulan Ramadhan adalah momen latihan raga kita dibuat fakir. Dilatihnya raga menahan semua syahwatnya seharian supaya kita ingat bagaimana rasanya lapar. Karena sering kali we take it for granted, merasa perihal makanan adalah hal yang biasa, lupa kalau semua adalah pemberian-Nya.
Jadi kalau mau mempersembahkan apapun yang kita lakukan untuk-Nya, pastikan hati kita menunduk ciut dan tak berdaya di hadapanNya. Memberikan satu-satunya hal yang Dia tidak punya, kefakiran...
Wallahua'lam
Amsterdam,24 Juni 2015
20.46

Thursday, June 11, 2015

Shalat: Cerminan Kedekatan Kita Dengan-Nya

Bayangkan kita menerima surat undangan untuk bertatap muka selama 5 menit dengan tokoh yang kita segani di dunia, bisa jadi ia seorang pemimpin dunia, seorang ulama besar yang kita hormati, atau artis kawakan yang kita sukai. Saya bisa bayangkan, kita akan sibuk jauh-jauh hari memilih baju yang pantas dan mempersiapkan dengan detil kata-kata apa yang akan disampaikan lengkap dengan latihan bicara berkali-kali di depan cermin.
Orang bilang, persepsi kita terhadap seseorang akan tercermin melalui interaksi dengan yang bersangkutan. Jika seseorang yang kita ajak bicara adalah orang yang kita segani, cara kita menatap beliau, duduk dan kata-kata pun dipilih betul. Bandingkan 'body language' kita yang cuek bebek saat bertemu orang yang kita anggap 'nobody'.
Jadi, betul kiranya cerminan beberapa menit pertemuan kita dengan seseorang bisa jadi merupakan resume hubungan kita dengan orang tersebut.
Guru saya berpesan bahwa "sholat adalah resume hubungan kita dengan Allah Ta'ala". Sholat yang kering dan dikerjakan asal telah ditunaikan bisa jadi gambaran hambarnya komunikasi hati kita dengan Sang Pencipta di luar sholat. Adapun orang yang berhasil membangun -bata demi bata- hubungan pribadi dengan Penciptanya diceritakan akan tercekat kerongkongannya bahkan saat awal mengangkat tangan - simbol kepasrahan - seraya lisannya berkata "Allahu Akbar" dengan penuh kesadaran bahwa Allah lebih besar, lebih penting, lebih layak ditakuti, lebih pantas diandalkan, lebih nyata dibandingkan apapun selain-Nya.
Ah, saya masih harus banyak belajar untuk sholat dengan baik...