Wednesday, April 29, 2015

Pain -Body

Pagi ini tetiba si sulung meraung-raung minta plester ditempel di jarinya, padahal tidak ada yang luka. Setelah beberapa lama dia mulai tenang dan bicara,
"Tadi Elia nangis". Sambil menyuapi si bungsu saya tanya bilang, "Iya, memangnya kenapa Elia nangis?". Jawabnya singkat tapi bikin hati meleleh, "Papa pergi...". Aah, i understand now, dia memang merengek bersamaan dengan saat sang papa mencium satu-satu anaknya sebelum pergi ke kantor. Rasa sakit ditinggal papanya dia asosiasikan dengan sakit kalau luka di tangan dan cara dia mengobatinya adalah dengan memberi plester! heart emoticon
Bicara tentang rasa sakit, setiap orang pasti memilki pain-body, sesuatu yang Eckhart Tolle definisikan sebagai : "a term for the accumulation of old emotional pain that almost all people carry in their energy field. I see it as a semi-autonomous psychic entity. It consists of negative emotions that were not faced, accepted, and then let go in the moment they arose. These negative emotions leave a residue of emotional pain, which is stored in the cells of the body."
Ada sakit hati yang terakumulasi sekian lama dan menjejak dalam di hati kita, bisa jadi karena rasa sakit ditinggal orang tua, dikecewakan orang yang dikasihi, dikelabui sahabat dekat dan banyak peristiwa hidup yang bisa menorehkan luka yang belum sembuh dan menimbulkan perasaan negatif dalam diri orang berupa dendam, amarah dan kebencian yang merasuk ke dalam setiap sel dalam tubuhnya - yang dalam jangka panjang bisa timbul dalam bentuk sakit secara fisik.
Seringkali orang tidak sadar bahwa berbagai residu masa lalu itu dapat muncul dan mewujud menjadi tindakan yang menyakiti orang sekitar. Dan alih-alih mengetahui sumber rasa sakit dalam diri sebenarnya, orang meraba-raba mencari 'plester' dalam hidup untuk menutupi rasa tidak nyaman dalam dirinya, bisa jadi berupa rasa sepi yang diplester dengan berganti-ganti pacar, amarah dengan masa lalu yang miskin dengan belanja sepuas-puasnya, kecewa dengan konflik dalam rumah tangga orang tua diplester dengan bersikap skeptis terhadap pernikahan dsb. Tampaknya satu-satunya cara mengobati betul sekian rasa tidak enak di hati adalah dengan melihat jauh ke dalam lubuk hati sendiri karena pengetahuan diri mengenai apa-apa yang ada di dalam hati sangat penting sebagai langkah awal untuk menyembuhkan penyakit hati tersebut. Dalam hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi dari Anas, dikatakan "bila Allah Swt akan mendatangkan kebaikan kepada seseorang, maka diberiNya pengertian tentang agama, zahid terhadap dunia, dan ditunjukkan keburukan dirinya,"

Monday, April 6, 2015

Menafsir Ulang Produktivitas

Selama lebih dari 30 tahun saya terlatih dengan pola berpikir yang namanya produktif itu mengerjakan sesuatu yang banyak, dapat diukur secara kuantitatif, jelas outputnya - dibandingkan dengan input dan banyak lagi parameter khas masyarakat industri.
Dalam hal ibadah saya juga pernah punya buku harian khusus untuk memantau produktivitas harian ibadah saya, misal jumlah shalat dalam sehari minimal 40 rakaat, bacaan Al Qur'aan minimal 100 ayat dst. Setiap bulan saya simpan angka-angka itu dalam grafik, it's such a nice feeling to achieve it. Sampai saya menjadi seorang ibu. Semua jadwal saya 'berantakan', saya bahkan ngga berani memasang angka-angka itu lagi dalam grafik. I'm feeling lost.
Sampai kemudian saya diingatkan oleh guru saya, "Tessa, harus jadi putera Sang Waktu". Kalimat singkat yang membuat paradigma saya berbalik 180 derajat. Saya baru sadar jangan-jangan saya menjadikan ibadah saya selama ini sebagai 'berhala', demi meraih kesenangan dan kebanggaan diri melihat deretan angka banyak dan merasa sudah banyak beribadah. Astaghfirullahal'adziim.
Kalimat singkat petuah guru saya itu selalu terngiang-ngiang dalam keharian, saat saya menyuapi sendok demi sendok ke mulut kecil si bungsu dengan disertai sholawat, saat membasuh kotoran si sulung selepas bermain di bak pasir dan saat menggantung helai demi helai pakaian yang baru dicuci. Ternyata beribadah kepada-Nya se-simple mengalirkan diri dalam karsa-Nya dari waktu ke waktu. Jauh dari dogma dan paksaan 'harus ini dan itu'.
Terkait dengan produktivitas, saya merasa hidup saya merasa lebih produktif, it's a kind of 'peaceful productivity', setelah saya belajar melihat dan menerima segala sesuatu apa adanya. Mengalir dalam karsa-Nya. Subhanallah...
‪#‎kembali‬ bergegas gendong si bungsu

A,msterdam, 6 April 2015, 5.58 pm

Thursday, April 2, 2015

The Habit of Judgmental Thoughts

Selama berdekade lamanya pikiran kita terbiasa dengan refleks mengkotak-kotakkan sesuatu fenomena, 'buruk-baik', "salah-benar", "kurang-berlebih" dst. Sehingga apabila ada fenomena tersaji di depan kita sang pikiran otomatis memasukkan informasi itu ke dalam folder tertentu. Memang itu sebuah fase perkembangan seorang manusia. Tantangannya adalah untuk beranjak dari tahapan yang cenderung "judgmental" ke tahap "non-judgmental", untuk melihat sesuatu itu sebatas fakta dan tidak memberi muatan apapun di dalamnya.
Memang ini adalah permainan yang halus di dalam hati tapi getarannya dapat terasa di tataran fisik. Misalnya ada yang bertanya kepada seseorang yang baru saja diterima di sebuah bank ternama:
"Waah selamat ya, dapat kerja di bagian apa?"
Jawab, "Bagian cleaning service"
Respon :"Oooh...." (low pitch)
====
Kalau jawabannya, "Bagian 'investment analysis'"
Respon : "Oooh..." (high pitch)
Yes, we tend to judge. Kita terbiasa mengklasifikasikan sesuatu itu dalam kotak hitam putih. There's nothing wrong with it of course, like i said, it's a phase of human's development. Tapi saya diajarkan oleh guru saya tentang cara berpikir yang lebih membuat hati ringan dan lebih mudah untuk bersyukur. Guru saya itu berkata, "Pada semua yg diberikan-Nya itu tidak layak untuk kita nilai besar atau kecil, dibalik setiap karunia-Nya itu terdapat pintu renungan dan hikmah yang melimpah ..". Aamiin, semoga