Monday, April 6, 2015

Menafsir Ulang Produktivitas

Selama lebih dari 30 tahun saya terlatih dengan pola berpikir yang namanya produktif itu mengerjakan sesuatu yang banyak, dapat diukur secara kuantitatif, jelas outputnya - dibandingkan dengan input dan banyak lagi parameter khas masyarakat industri.
Dalam hal ibadah saya juga pernah punya buku harian khusus untuk memantau produktivitas harian ibadah saya, misal jumlah shalat dalam sehari minimal 40 rakaat, bacaan Al Qur'aan minimal 100 ayat dst. Setiap bulan saya simpan angka-angka itu dalam grafik, it's such a nice feeling to achieve it. Sampai saya menjadi seorang ibu. Semua jadwal saya 'berantakan', saya bahkan ngga berani memasang angka-angka itu lagi dalam grafik. I'm feeling lost.
Sampai kemudian saya diingatkan oleh guru saya, "Tessa, harus jadi putera Sang Waktu". Kalimat singkat yang membuat paradigma saya berbalik 180 derajat. Saya baru sadar jangan-jangan saya menjadikan ibadah saya selama ini sebagai 'berhala', demi meraih kesenangan dan kebanggaan diri melihat deretan angka banyak dan merasa sudah banyak beribadah. Astaghfirullahal'adziim.
Kalimat singkat petuah guru saya itu selalu terngiang-ngiang dalam keharian, saat saya menyuapi sendok demi sendok ke mulut kecil si bungsu dengan disertai sholawat, saat membasuh kotoran si sulung selepas bermain di bak pasir dan saat menggantung helai demi helai pakaian yang baru dicuci. Ternyata beribadah kepada-Nya se-simple mengalirkan diri dalam karsa-Nya dari waktu ke waktu. Jauh dari dogma dan paksaan 'harus ini dan itu'.
Terkait dengan produktivitas, saya merasa hidup saya merasa lebih produktif, it's a kind of 'peaceful productivity', setelah saya belajar melihat dan menerima segala sesuatu apa adanya. Mengalir dalam karsa-Nya. Subhanallah...
‪#‎kembali‬ bergegas gendong si bungsu

A,msterdam, 6 April 2015, 5.58 pm

No comments:

Post a Comment