Saturday, October 27, 2018

Sepanjang sejarah manusia, di kebudayaan daerah manapun kita akan selalu menemukan keberadaan angka tiga sebagai sesuatu yang sangat penting. Berbagai budaya di dunia menganggap angka tiga sebagai sesuatu yang sakral, mistis, universal dan agung.
Dalam berbagai cerita rakyat angka tiga ini digambarkan dalam berbagai cerita “tiga babi kecil” (three little pigs), dan kisah tentang tiga beruang. Di masa Babilonia kuno mereka mengenal tiga macam dewa, Any, Baal dan Ea yang melambangkan langit, bumi dan inti bumi. Demikian pun dalam kebudayaan Mesir mereka mengenal dewa matahari: Khepri (matahari terbit), Re (matahari siang), dan Atum (matahari terbenam).
Phytagoras, seorang filosof dan ahli matematika dari Yunani di abad keenam mengajarkan bahwa apapun di alam semesta ini memiliki unsur ketigaan, beliaupun menyatakan bahwa setiap permasalahan di semesta dapat direduksi secara diagram menjadi struktur segitiga dan angka tiga. Bagi Phytagoras dan para pengikutnya, struktur segitiga melambangkan sebuah gerak ke atas (mi’raj: pen), dan baik segitiga dan angka tiga mengandung misteri dalam alam semesta. Angka tiga juga merupakan representasi dari triad, ia adalah angka yang pertama dihasilkan dan merupakan angka yang tertua. Angka tiga juga adalah angka satu-satunya yang merupakan hasil penjumlahan angka-angka sebelumnya (1+2=3).
Dalam tradisi Cina angka tiga dianggap angka keberuntungan. Pernah di tahun 2004 seorang pria di Beijing rela membayar $215.000 untuk mendapatkan sebuah nomor sim telepon genggam 133-3333-3333. Keyakinan ini bisa jadi berakar dari pengaruh Konfusianisme dan Taoisme. Ketigaan terdiri dari unsur “langit”, “bumi” dan “insan”.
Dalam Islam, angka tiga ini juga memegang tema sentral. Ketigaan terdapat di berbagai hadits seperti tentang Ad Diin (agama) yang terdiri dari tiga pilar: Iman, Islam dan Ihsan; batasan berkunjung tamu selama tiga hari, juga struktur insan yang terkandung dalam Surat An Nuur: 35. Dalam Fusus al Hikam, Ibnu Arabi menuliskan bahwa urusan penunggalan aspek ketigaan (al afraad ats-tsalaatsah) dan segala apa yang bertambah atas (bentuk) awal dari penunggalan ini maka sesungguhnya itu (masih) tentang perkara yang sama.
Tulisan ini masih bersambung, terlalu banyak hal luar biasa di semesta ini yang belum kita pahami hakikatnya, bukti betapa fakir dan bodohnya kita tentang kehidupan. Rabbi zidni ilman warzuqni fahman…
Referensi:
1. Ivan. Ancient Knowledge? The Secret Importance Behind The Number. https://www.ancient-code.com/ancient-knowledge-the-secret-…/. 25 Oktober 2018.
2. Hobgood, K. Phytagoras and the Mystery of Numbers. http://jwilson.coe.uga.edu/EMAT6680…/Hobgood/Pythagoras.html. 25 Oktober 2018.
3. Stewart, I. Number symbolism. https://www.britannica.com/topic/number-symbolism#ref849758. 25 Oktober 2018.
4. Lucky Number 3. https://www.travelchinaguide.com/intro/lucky-number3.htm. 25 Oktober 2018.

Tuesday, May 8, 2018

Aku belajar melayani-Mu
Melalui takdir-takdir yang Engkau utus
Melalui tangan-tangan kecil
yang membutuhkan kasih sayang dan perawatan ibunya.
Melalui piring-piring dan gelas-gelas kotor
yang setiap hari menumpuk di dapur.
Melalui baju-baju kotor
yang selalu menggunung di keranjang cuci.
Perlahan tapi pasti
Hamba bisa ikut mencecap sebuah rasa pengabdian yang indah
rasa yang hanya muncul saat diri belajar untuk melayani.
Tak heran para utusanmu dilatih untuk menjadi penggembala
Melayani-Mu ternyata dengan cara melayani ciptaan-Mu.
Wahai Yang Maha rendah hati
Yang melangsungkan keberatan dengan bertanya "Mengapa engkau tidak menjenguk-Ku?"*
Yang melayangkan protes dengan berkata, "Mengapa engkau tidak memberi-Ku makan?"
Yang mempertanyakan dengan keras, "Aku haus, mengapa engkau tidak memberi-Ku minum?"
Padahal Engkau Sang Maha segalanya
Pahamlah kemudian kami
Apa arti menjenguk-Mu, memberi-Mu makan, dan memberi-Mu minum
Mulailah kami bisa mengerti apa arti menghambakan diri kepada-Mu.
Melayani-Mu dengan mengerjakan dengan baik apa-apa yang Engkau berikan
Di bumi hamba, di saat ini ...
*****
*“Sesungguhnya Allah (dalam hadits Qudsi) berfirman: “Hai Anak Cucu Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”. Lalu berkata (Anak Cucu Adam): “Ya Robb, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui, sesungguhnya ada hamba-Ku Fulan sedang sakit tetapi engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau menjengukya Aku pun berada di sisinya”.
(Kemudian Allah kembali berfirman) “Hai Anak Cucu Adam, Aku kelaparan tetapi engkau tidak memberi-Ku makan”.
Menjawab (Anak Cucu Adam): “Ya Robb, bagaimana aku memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui sesungguhnya kelaparan hamba-Ku si Fulan tetapi engkau tidak memberinya makan, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau memberinya makan di sana juga ada Aku”.
(Lalu Allah berfirman) “Hai Anak Cucu Adam, Aku haus tetapi engkau tidak memberi-Ku minum”.
Menjawab (Anak Cucu Adam): “Ya Robb, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Engkau (tahu) hamba-Ku meminta minum kepadamu tetapi tidak engkau berikan kepadanya, tidakkah engkau tahu ketika engkau memberinya minum di sana pun ada Aku”.” (HR. Muslim melalui Abi Hurairah, Mukhtaarul Ahaadits no. 264)

- Gein, Amsterdam
8 Mei 2018 di sore hari pada musim semi yang hangat
Menjelang pergi ke pantai Gaasperplas dengan anak2 yang tengah liburan


Monday, April 23, 2018

Kami punya beberapa oppasstudenten (baby sitter) yang biasa membantu menjaga anak-anak, mereka semua anak kuliahan. Ada satu hal menarik yang saya perhatikan dari cara mereka memilih bidang studi, mereka akan menekankan memilih bidang studi yang mereka sukai, walaupun dengan konsekuensi harus pindah jurusan setelah mencoba kuliah satu atau dua tahun. Atau tidak sedikit dari mereka yang selulus SMA tidak buru-buru melanjutkan kuliah, akan tetapi melakukan 'gap year' yang diisi dengan mencari pengalaman kerja, atau berkelana dalam rangka mengidentifikasi bidang yang mereka akan pilih untuk mereka kerjakan kemudian.

Kalau saya bandingkan dengan beberapa anak muda di Indonesia , setidaknya yang saya pernah berinteraksi dengannya- mereka cenderung memilih jurusan tertentu karena 'social or economic pressure', misalkan karena orang tuanya pengacara , dokter atau pengusaha maka anaknya dipaksa meneruskan dinastinya, atau memilih jurusan tertentu karena sednag trend dan mengharapkan mendapatkan karir cemerlang. Akibatnya sang anak tidak akan berkembang potensi optimal dan kekhususan dirinya dan konsekuansi logisnya ia akan terus mencari kompensasi untuk membahagiakan dirinya, karena sesungguhnya kebahagiaan sejati adalah manakala jiwa mengerjakan apa yang memang merupakan bidangnya.

Dugaan saya, negara-negara barat dan Eropa pesat berkembang ilmu pengetahuan dan menghasilkan demikian banyak ilmuwan ulung karena memang orang-orang yang duduk mengerjakan bidang-bidang tertentu tersebut adalah mereka yang mengerjakannya dengan sepenuh hati, jika orang menemukan kursi dirinya masing-masing maka ia akan demikian berdedikasi kepada pekerjaannya dan akan menelurkan kekaryaan yang cemerlang. Ini kita belum bicara tentang ilmu yang terbuka dengan kekuatan lubb atau akal dalam seperti yang telah didemonstrasikan oleh para ilmuwan besar Islam seperti Al Khawarizmi, Ibnu Sina dll. Akan tetapi, jika seseorang mau jujur saja dan menggunakan akal sehatnya untuk memilih profesi atau bidang yang benar-benar mata airnya bersumber dari hatinya, maka itu pun sudah menghasilkan kekaryaan yang membawa kemanfaatan yang besar bagi umat manusia dan alam semesta. Wallahua'lam.

Wednesday, April 11, 2018

Meninjau Sejarah Hubungan Dokter-Pasien


Hubungan antara dokter-pasien telah mengalami berbagai fase transisi dalam beberapa waktu. Sebelum dua dekade terakhir, natur hubungannya adalah pasien sebagai yang membutuhkan pertolongan kemudian pertimbangan dokter senantiasa dipatuhi oleh pasien. Dalam hubungan dokter-pasien model paternalistik seperti itu, dokter akan menggunakan segenap keahliannya untuk memilih intervensi dan terapi yang paling pas dalam rangka menyembuhkan penyakit atau menghilangkan rasa sakit pada diri pasien. Kondisi hubungan asimetri antara dokter-pasien seperti itu telah mendapat tantangan selama dua dekade terakhir. Kebutuhan untuk melibatkan pasien lebih aktif, otonom dan berbasis pendekatan 'patient-centred' dideskripsikan oleh McWhinney sebagai "upaya dokter untuk memasuki dunia sang pasien, untuk melihat kondisi sakit yang ada dari kacamata sang pasien.".

Untuk mengobati pasien yang sedang menderita sebuah penyakit, seorang dokter tidak cukup hanya memiliki ilmu kedokteran dan kemampuan teknis yang memadai, akan tetapi ia harus memahami natur dari seorang manusia. Bahwa pasien (dalam kondisi tertentu, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar, maka 'pasien' disini bisa jadi merujuk kepada keluarga pasien) bukan hanya kumpulan gejala, organ yang rusak atau emosi yang sedang terganggu. Pasien adalah seorang manusia, yang pada saat yang bersamaan tengah khawatir juga ingin memiliki harapan tinggi akan kesembuhan dirinya, ia adalah seseorang yang membutuhkan pertolongan untuk bisa sembuh dan menjalani keseharian lebih baik. Sebuah hubungan yang baik antara dokter dan pasien tidak dalam banyak kasus sangat berpengaruh kepada akurasi diagnosis juga efektivitas pengobatan yang diberikan.

Dalam rentang sejarah, hubungan dokter-pasien tergantung kepada situasi medis dan keadaan sosial yang ada. Kemampuan dokter dan pasien untuk melakukan kontemplasi ke dalam diri sendiri dan berkomunikasi adalah kemampuan teknis yang tercakup di dalam 'situasi medis'. Adapun keadaan sosial yang dimaksud merujuk kepada iklim sosial-politik dan sains pada saat itu.

Dahulu pada zaman Mesir kuno (sekitar 4000 hingga 1000 SM) peran dokter dilakukan oleh para pendeta dan dukun. Pengobatan hanya terbatas kepada penyakit yang tampak jelas seperti patah tulang. Adapun kelainan psikiatri secara kultur dan keilmuwan belum dalam jangkauan pada saat itu.

Di zaman pencerahan pertama, periode kebudayaan Yunani (sekitar 600-100 SM) dunia kedokteran mulai menggunakan pendekatan rasio-empiris, mereka mulai menekankan observasi alami dan dibantu dengan praktek pengobatan 'trial and error' dan mulai berjarak dengan pengobatan menggunakan sihir. Pada saat itu, bangsa Yunani termasuk negara pertama yang mengusung pola demokratis dan membentuk organisasi sosial, hal ini berpengaruh kepada hubungan dokter-pasien yang lebih setara.

Sumpah Hippokrates juga digulirkan pada masa tersebut yang masih digunakan sebagai kode etik dokter-dokter sedunia hingga saat ini. Sumpah ini membawa pasien sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan untuk diperlakukan secara manusiawi.

Selanjutnya ada perubahan dalam hubungan dokter-pasien selama abad pertengahan di Eropa (Sekitar 1200-1600 M) seiring dengan jatuhnya Kerajaan Romawi dan menyebarnya Perang Salib. Terjadi kemunduran kembali dalam hubungan antara dokter-pasien seiring dengan kepercayaan dokter sebagai seseorang yang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi dan memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat, serta menganggap pasien seperti halnya bayi yang tak berdaya yang harus menuruti apa yang dikatakan terbaik oleh sang dokter.

Kondisi tersebut kemudian berubah kembali seiring dengan terjadinya Revolusi Perancis (akhir abad ke-18) juga munculnya gelombang Protestanisme dalam agama Nasrani. Manusia mencari kebebasan, kesetaraan dan ilmu empiris mulai merebak. Momen ini mengakhiri masa ketika orang memperlakukan seseorang dengan penyakit mental dan orang sakit yang miskin dibiarkan merana di dalam penjara bawah tanah.

Selama abad ke-18 jumlah dokter masih sangat sedikit dan pasien mereka utamanya adalah para kalangan atas dan kaum aristokrat. Keadaan ini membuat dokter lebih mementingkan kepentingan pasien dan kepuasan mereka yang dinilai langsung dari gejala yang ada. Oleh karena itu dalam kurun waktu abad ke-18 terdapat adagium "the symptom is the illness." Dengan kata lain yang penting sesegera mungkin menghilangkan rasa tidak nyaman yang ada, yang berupa nyeri kepala, nyeri otot, dll.

Keadaan tersebut mulai berubah di akhir abad ke-18 seiring dengan pertumbuhan rumah sakit sebagai sentra penyembuhan pasien juga bagi kaum miskin. Saat itu rumah sakit menjadi mercusuar perkembangan ilmu mikrobiologi dan ilmu beda. Dunia kedokteran pada saat ini tidak hanya berfokus kepada gejala yang ada akan tetapi lebih menekankan diagnosis akurat dengan model biomedis. Artinya gejala yang ada adalah sebagai indikator dari keberadaan kelainan yang sebenarnya. Dalam era inilah pemeriksaan yang menyeluruh dari kondisi tubuh pasien secara klinis mulai gencar dilakukan, lalu peran dokter yang memahami fisiologis dan anatomi tubuh manusia menjadi krusial. Hal ini menjadikan dokter kembali dominan dalam model hubungan paternalistik model di zaman itu.

Saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi internet dalam dua dekade terakhir, diperlukan model hubungan baru antara dokter-pasien dimana era hubungan yang lebih didominasi oleh keputusan dokter akan beralih kepada proses pengambilan keputusan bersama (shared decision). Di era teknologi internet dan smartphone seperti sekarang, pasien dan keluarganya bisa mengakses informasi kedokteran apapun dan berdialog dengan dokter dari seluruh penjuru dunia dengan alat yang ada dalam genggaman tangannya pada saat itu juga. Balint (1969) sudah mengajukan argumentasi bahwa yang menjadi fokus adalah sang pasien, bukan semata-mata penyakit yang harus disembuhkan. Artinya sebuah keputusan operasi atau pengobatan harus mempertimbangkan dampak pada kehidupan pasien dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik secara fisik maupun mental. Model 'patient-centred' seperti ini dipercaya sebagai model yang ideal untuk menjembatani gap antara dunia kedokteran dengan pengalaman serta kebutuhan pribadi sang pasien pada saat ini.

(Referensi: R. Kaba, P. Sooriakumaran. The evolution of the doctor-patient relationship. International Journal of Surgery. Volume 5, Issue 1, February 2007, p 57-65.)

Tuesday, April 10, 2018

Hari kedua penyesuaian (wendagen) masuk basisschool (sekolah dasar disini dimulai usia 4 tahun) orang tua boleh mendampingi anaknya setengah hari. Maka saya ikut mendampingi segala aktivitas Rumi, mulai dari bernyanyi, menggambar, makan buah dan bermain di taman bermain sekolah.
Ada satu anak perempuan yang selalu ikut kemanapun kami pergi, dia tampaknya menyukai perhatian yang saya berikan kepadanya saat dia bercerita atau meluncur dari seluncuran yang dia lakukan entah berapa puluh kali - barangkali karena setiap kali saya selalu menyorakinya dengan semangat. Demikian nyamannya dia bersama saya sampai dia memeluk saya dari belakang dengan erat. Begitu waktu istirahat makan siang tiba, sebagian anak boleh pulang sementara dia anak lainnya dijadwalkan untuk makan di sekolah (overblijf) karena orang tuanya tidak menjemput.
Saat saya hendak melangkah keluar kelas, tangan kecil perempuan itu menggenggam erat tangan saya, dia bilang dia mau ikut pulang, tapi gurunya (juf) bilang kalau dia harus diam di kelas karena memang tidak ada yang menjemput sampai sore nanti. Wajah anak perempuan itu langsung berubah murung. Saya berjongkok dan menatap wajahnya dalam-dalam dan bertanya, "Ben je verdrietig?" (Apakah kamu sedih?". Anak itu menundukkan wajahnya dan bulir-bulir air mata mengalir di pipinya, "Ik mis mijn mama" (aku kangen mama) katanya pilu. Sang guru langsung mengambil alih dan membawa dia masuk ke dalam kelas. Saya pun melangkah keluar bersama Rumi dengan hati yang terkoyak...

(Amsterdam di musim semi yang hangat, 10 April 2018)

Monday, April 9, 2018

Bilangan 40 hari memiliki arti penting di berbagai agama.

* Dalam agama Yahudi dikenal puasa 40 hari disertai dengan memanjatkan doa yang sama setiap hari bagi mereka yang menginginkan jawaban tertentu dalam hidup.
* Dalam Kitab Ulangan 10:10 dikatakan bahwa Nabi Musa as pergi ke gunung selama 40 hari 40 malam.
* Dalam Kitab Leviticus Bab 12, disebutkan masa nifas bagi perempuan yang melahirkan bayi laki-laki adalah 40 hari, sedangkan masa nifas bagi yang melahirkan bayi perempuan adalah 80 hari. Itulah lama waktu pensucian.
* Dalam Kitab 1 Raja-ra 19:8 Nabi Ilyas as (Elia) berpuasa selama 40 hari 40 malam dalam perjalanannya ke Gunung Horeb.
* Nabi Yunus as berkata, "Empat puluh hari lagi, makan Nineveh akan dijungkirbalikkan." (Alkitab Yunus 3:4)
* Nabi Isa as berpuasa 40 hari di padang gurun (Markus 1:13)

Dalam Islam, berbagai riwayat menyebutkan tentang ibadah 40 hari tersebut,

Nabi Muhammad Saw. bersabda yang maksudnya : “Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam alhilyah).

 Imam at Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
“Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi)

“Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama 40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, no. 2746)

Dalam tradisi di negeri Cina, ibu yang baru melahirkan harus istirahat di rumah selama 40 hari, mereka meyakini bahwa kondisi perempuan pasca persalinan adalah yang paling lemah, oleh karenanya dalam tradisi Cina, anggota keluarga perempuan yang lain akan membantu sang ibu selama 40 hari waktu pemulihan tersebut. Hal ini mirip dengan tradisi perempuan agama Majusi (Zoroastrianisme) yang mengharuskan ibu yang baru melahirkan tinggal di rumah selama 40 hari, kemudian setelah hari ke-40 ia menjalani ritual pembersihan dan diperbolehkan berbaur kembali dengan masyarakat.

Secara fisiologis sel kulit manusia membutuhkan rata-rata 40 hari untuk memperbarui dirinya, sehingga di hari keempat puluh seolah-olah manusia memiliki 'wajah baru'. Empat puluh hari juga merupakan saat sel-sel darah merah kita mulai rusak atau mati untuk diganti dengan yang baru. Bisa jadi pengetahuan ini yang mendasari mengapa ketika terjadi wabah disekitar abad pertengahan di Italia, para penumpang kapal diisolasi di ruang khusus selama 40 hari lamanya sebelum mereka dipersilahkan memasuki daratan. Oleh karenanya dikenal istilah 'karantina' yang berasal dari Bahasa Italia 'quaranta' yang berarti 'empat puluh'. []

Referensi:
1. Grainger, R. 40 Days To Change Your Life. https://www.huffingtonpost.com/rebecca-grainger/40-days-to-change-your-li_b_10698672.html
2. Specktor, B. This Is 40: Bizarre Factoids About the Number 40 You Never Knew. https://www.rd.com/culture/facts-about-number-40/
3. Significance of 40 Days. https://design-of-time.com/forty.htm

Wednesday, March 14, 2018

Saya menikah dengan suami yang sudah menduda selama sekitar dua tahun saat itu, dengan satu anak. Alhamdulillah suami bercerai dengan mantan istrinya secara baik-baik, hingga saat ini mereka masih memelihara pertemanan. Sang mantan istri akan datang menginap di rumah kami saat mengantar anaknya berkunjung dan kami pun biasa menginap di kediamannya. Bahkan beberapa kali dalam satu tahun kami merencanakan liburan bersama, menyewa bungalow yang ditempati bersama. Saat menceritakan hal ini, bahkan bagi sebagian besar orang Belanda mereka akan menggelengkan kepalanya sambil berkata salut.

Yang sebagian besar mereka tidak ketahui adalah bahwa kondisi harmonis ini baru terbentuk setelah melalui proses yang kikuk, setelah menerjang semua kebekuan dan komunikasi yang sempat tersendat.

Manusia memang cenderung dipertakuti oleh hal-hal yang belum ia ketahui; itu bisa berupa pengalaman baru, pekerjaan baru, orang baru dll. Satu-satunya cara menembus barier ketakutan tersebut adalah dengan menghadapinya. Dalam kasus ini, saya berupaya membuka pintu dan hati saya lebar-lebar untuk anak tiri saya dan ibunya, menanyakan kabar dan mendengarkan kisahnya. Saya coba setulus mungkin melakukannya, tanpa pamrih, hanya ingin mencintai dengan sederhana.

Tahun lalu, ibu dari anak tiri saya berkata kepada saya, "You know what?"katanya. "Michelle (anak tiri saya) said that you are a cool mom :)". "Say that again?" sahut saya tidak percaya. Sebuah kehormatan besar dan terharu saya diberi apresiasi seperti itu oleh anak tiri saya yang sekarang menjelang usia puber. Alhamdulillah.

Demikianlah, rasa canggung, rasa tak nyaman yang dirasakan di awal waktu ternyata bisa terbasuh dengan pertemuan dan meluangkan waktu bersama dengan didasari rasa silaturahmi, membuka diri agar menjalin kasih sayang dengan sesama. Saya percaya hal ini bisa diaplikasikan dalam banyak situasi : cross cultural situation, menjalin rumah tangga yang serumah dengan mertua, rumah tangga yang berpoligami, atau proses merger di perusahaan. Semua hal yang membutuhkan perpaduan antara dua budaya, dua individu, dua latar belakang yang berbeda. Kenali dulu, baru kita bisa menilai. Sesuatu yang dinyanyikan dengan indah oleh Michael Jackson,

`Before you judge me, try hard to love me,
Look within your heart then ask.

(Amsterdam, 14 Maret 2018. 11.52 siang, jelang loempiadag dan saat hari demo guru SD sebelanda)