Wednesday, April 11, 2018

Meninjau Sejarah Hubungan Dokter-Pasien


Hubungan antara dokter-pasien telah mengalami berbagai fase transisi dalam beberapa waktu. Sebelum dua dekade terakhir, natur hubungannya adalah pasien sebagai yang membutuhkan pertolongan kemudian pertimbangan dokter senantiasa dipatuhi oleh pasien. Dalam hubungan dokter-pasien model paternalistik seperti itu, dokter akan menggunakan segenap keahliannya untuk memilih intervensi dan terapi yang paling pas dalam rangka menyembuhkan penyakit atau menghilangkan rasa sakit pada diri pasien. Kondisi hubungan asimetri antara dokter-pasien seperti itu telah mendapat tantangan selama dua dekade terakhir. Kebutuhan untuk melibatkan pasien lebih aktif, otonom dan berbasis pendekatan 'patient-centred' dideskripsikan oleh McWhinney sebagai "upaya dokter untuk memasuki dunia sang pasien, untuk melihat kondisi sakit yang ada dari kacamata sang pasien.".

Untuk mengobati pasien yang sedang menderita sebuah penyakit, seorang dokter tidak cukup hanya memiliki ilmu kedokteran dan kemampuan teknis yang memadai, akan tetapi ia harus memahami natur dari seorang manusia. Bahwa pasien (dalam kondisi tertentu, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar, maka 'pasien' disini bisa jadi merujuk kepada keluarga pasien) bukan hanya kumpulan gejala, organ yang rusak atau emosi yang sedang terganggu. Pasien adalah seorang manusia, yang pada saat yang bersamaan tengah khawatir juga ingin memiliki harapan tinggi akan kesembuhan dirinya, ia adalah seseorang yang membutuhkan pertolongan untuk bisa sembuh dan menjalani keseharian lebih baik. Sebuah hubungan yang baik antara dokter dan pasien tidak dalam banyak kasus sangat berpengaruh kepada akurasi diagnosis juga efektivitas pengobatan yang diberikan.

Dalam rentang sejarah, hubungan dokter-pasien tergantung kepada situasi medis dan keadaan sosial yang ada. Kemampuan dokter dan pasien untuk melakukan kontemplasi ke dalam diri sendiri dan berkomunikasi adalah kemampuan teknis yang tercakup di dalam 'situasi medis'. Adapun keadaan sosial yang dimaksud merujuk kepada iklim sosial-politik dan sains pada saat itu.

Dahulu pada zaman Mesir kuno (sekitar 4000 hingga 1000 SM) peran dokter dilakukan oleh para pendeta dan dukun. Pengobatan hanya terbatas kepada penyakit yang tampak jelas seperti patah tulang. Adapun kelainan psikiatri secara kultur dan keilmuwan belum dalam jangkauan pada saat itu.

Di zaman pencerahan pertama, periode kebudayaan Yunani (sekitar 600-100 SM) dunia kedokteran mulai menggunakan pendekatan rasio-empiris, mereka mulai menekankan observasi alami dan dibantu dengan praktek pengobatan 'trial and error' dan mulai berjarak dengan pengobatan menggunakan sihir. Pada saat itu, bangsa Yunani termasuk negara pertama yang mengusung pola demokratis dan membentuk organisasi sosial, hal ini berpengaruh kepada hubungan dokter-pasien yang lebih setara.

Sumpah Hippokrates juga digulirkan pada masa tersebut yang masih digunakan sebagai kode etik dokter-dokter sedunia hingga saat ini. Sumpah ini membawa pasien sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan untuk diperlakukan secara manusiawi.

Selanjutnya ada perubahan dalam hubungan dokter-pasien selama abad pertengahan di Eropa (Sekitar 1200-1600 M) seiring dengan jatuhnya Kerajaan Romawi dan menyebarnya Perang Salib. Terjadi kemunduran kembali dalam hubungan antara dokter-pasien seiring dengan kepercayaan dokter sebagai seseorang yang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi dan memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat, serta menganggap pasien seperti halnya bayi yang tak berdaya yang harus menuruti apa yang dikatakan terbaik oleh sang dokter.

Kondisi tersebut kemudian berubah kembali seiring dengan terjadinya Revolusi Perancis (akhir abad ke-18) juga munculnya gelombang Protestanisme dalam agama Nasrani. Manusia mencari kebebasan, kesetaraan dan ilmu empiris mulai merebak. Momen ini mengakhiri masa ketika orang memperlakukan seseorang dengan penyakit mental dan orang sakit yang miskin dibiarkan merana di dalam penjara bawah tanah.

Selama abad ke-18 jumlah dokter masih sangat sedikit dan pasien mereka utamanya adalah para kalangan atas dan kaum aristokrat. Keadaan ini membuat dokter lebih mementingkan kepentingan pasien dan kepuasan mereka yang dinilai langsung dari gejala yang ada. Oleh karena itu dalam kurun waktu abad ke-18 terdapat adagium "the symptom is the illness." Dengan kata lain yang penting sesegera mungkin menghilangkan rasa tidak nyaman yang ada, yang berupa nyeri kepala, nyeri otot, dll.

Keadaan tersebut mulai berubah di akhir abad ke-18 seiring dengan pertumbuhan rumah sakit sebagai sentra penyembuhan pasien juga bagi kaum miskin. Saat itu rumah sakit menjadi mercusuar perkembangan ilmu mikrobiologi dan ilmu beda. Dunia kedokteran pada saat ini tidak hanya berfokus kepada gejala yang ada akan tetapi lebih menekankan diagnosis akurat dengan model biomedis. Artinya gejala yang ada adalah sebagai indikator dari keberadaan kelainan yang sebenarnya. Dalam era inilah pemeriksaan yang menyeluruh dari kondisi tubuh pasien secara klinis mulai gencar dilakukan, lalu peran dokter yang memahami fisiologis dan anatomi tubuh manusia menjadi krusial. Hal ini menjadikan dokter kembali dominan dalam model hubungan paternalistik model di zaman itu.

Saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi internet dalam dua dekade terakhir, diperlukan model hubungan baru antara dokter-pasien dimana era hubungan yang lebih didominasi oleh keputusan dokter akan beralih kepada proses pengambilan keputusan bersama (shared decision). Di era teknologi internet dan smartphone seperti sekarang, pasien dan keluarganya bisa mengakses informasi kedokteran apapun dan berdialog dengan dokter dari seluruh penjuru dunia dengan alat yang ada dalam genggaman tangannya pada saat itu juga. Balint (1969) sudah mengajukan argumentasi bahwa yang menjadi fokus adalah sang pasien, bukan semata-mata penyakit yang harus disembuhkan. Artinya sebuah keputusan operasi atau pengobatan harus mempertimbangkan dampak pada kehidupan pasien dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik secara fisik maupun mental. Model 'patient-centred' seperti ini dipercaya sebagai model yang ideal untuk menjembatani gap antara dunia kedokteran dengan pengalaman serta kebutuhan pribadi sang pasien pada saat ini.

(Referensi: R. Kaba, P. Sooriakumaran. The evolution of the doctor-patient relationship. International Journal of Surgery. Volume 5, Issue 1, February 2007, p 57-65.)

No comments:

Post a Comment