Tuesday, April 19, 2016

Rejeki Tak Terduga

Rejeki Tak Terduga 1

Sang ibu tua menghitung kembali lembar demi lembar uang yang tergulung rapih di dompetnya yang lusuh "lima puluh empat ribu rupiah..." katanya dengan lirih. Tanggal tua saatnya mengetatkan ikat pinggang katanya dalam hati sambil menelan ludah. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, adik lelakinya berkunjung tiba-tiba dengan muka kusam dan pakaian penuh debu jalanan, ia berjalan kaki selama hampir satu jam demi menghemat ongkos. "Aku perlu pinjaman uang untuk membeli makanan, proyekku terlambat pencairan dananya. Lima puluh ribu saja..."
Sang ibu tua tersenyum, kok pas sekali jumlah yang ia butuhkan. Nuraninya tidak tega untuk menolak. Mengenai uang belanja besok yah kita lihat nanti saja, batinnya. Maka gulungan uang lima puluh ribu pun berpindah tangan. Menjelang sore hari, terdengar suara ketukan pintu lagi, kali ini tetangga di yang tinggal di belakang rumah, langganan yang memesan kue khas bikinan sang ibu tua untuk acara pengajian besok. "Ini bu, saya simpan DP Rp.150.000 dulu ya..."

Rejeki Tak Terduga 2

Sudah lama sang anak lelaki itu menabung untuk mengirim ibundanya ke tanah suci Mekkah, tetapi setiap kali dana sedikit terkumpul, ada saja orang yang datang dan minta bantuan tentang anaknya yang sakit, angkotnya yang mogok, ibunya yang kecelakaan sehingga dana untuk menabung itu akhirnya tidak pernah genap terkumpul. Sang anak lelaki tetap giat bekerja dan memiliki keyakinan suatu saat ia bisa memberangkatkan ibunda tercinta mewujudkan impiannya, menunaikan shalat langsung di depan Ka'bah. Hingga pada saat pengumuman bonus akhir tahun di perusahaannya secara tidak terduga ia meraih penghargaan khusus dan memenangkan hadiah umrah...

Rejeki Tak Terduga 3

Terdengar berita bahwa orang tuanya yang ada di tanah seberang meninggal dunia. Sebagai anak yang berbakti dia tentu harus pulang saat itu juga. Tapi kendalanya biaya tidak ada. Dia mencoba tidak panik dengan minta tolong sana-sini, alih-alih ia menggelar sajadah dan bersimpuh semalaman memohon kepada Yang Maha Memberi Rezeki. Ia punya prinsip untuk mengadu pertama kali kepada Sang Pencipta untuk kemudian mencoba mencari solusi dari manusia keesokan harinya. Menjelang pagi tiba-tiba sahabat dekatnya muncul di depan pintu dengan setengah terburu-buru kelihatannya dan tak sabar untuk menanyakan sesuatu, "Kak, tadi malam saya bermimpi untuk memberikan kakak uang sejumlah X rupiah." Jumlah yang persis dibutuhkan untuk membeli tiket pesawat pulang melayat orang tua tercinta...

Semua kisah di atas adalah kisah nyata, setiap orang yang mengalaminya saya kenal betul dan masih hidup saat ini untuk diminta verifikasi. Hidup terlalu luas untuk tenggelam dalam kepanikan sekadar masalah rezeki. Kemudian Tuhan Sang Pemberi Rezeki terlalu canggih untuk dibaca rencana menurunkan rezekinya jika hanya melihat komponen gaji bulanan, tabungan, deposito, pinjaman teman dan hal-hal yang bersifat horizontal lainnya. Tidak mudah memang untuk lebih percaya kepada rezeki yang di tangan Tuhan dibanding rezeki yang sudah bisa kita hitung, butuh lapisan iman yang tebal dan kepercayaan yang penuh kepada-Nya.

Thursday, April 14, 2016

Cara Mendapatkan Ketenangan

Ketenangan yang engkau cari bukan terletak pada berapa banyak harta yang kau kumpulkan dan dengannya kau bentengi dirimu sendiri dari ketakutan akan kemiskinan yang merayap dalam hatimu yang gelap.
Ketenangan yang kau cari tidak akan kau temui pada segenap obyek kesenangan yang kau kejar sedemikian rupa hingga tak lagi dapat kau pisahkan antara sensasi kesenangan sesaat dan kebahagiaan hakiki karena hatimu demikian berkarat dan tak mampu memantulkan cahaya-Nya.
Ketenangan yang kau cari pun tak akan dapat kau genggam dengan melemparkan sauh ke obyek-obyek kecintaan selain Aku. Karena apapun selain Aku akan musnah pada saatnya.
Maka carilah ketenangan dengan mendekatkan hatimu pada-Ku, kapan pun, dimana pun, Aku selalu ada bersamamu. Karena dengan mengingat-Ku hati menjadi tenang...
(QS Ar Ra'du:28)
‪#‎inspirasi‬ pagi pasca riyadhoh, Amsterdam 6.41 pagi sambil menunggui anak-anakku menjelang harinya

Thursday, April 7, 2016

Mengapa Indonesia Merdeka Tanggal 17 Agustus

Rumah ini dan sekitarnya gelap. Jauh di dalam di ruang duduk tampak satu lampu saja yang menyala. Di dalam kegelapan itu sekilas aku melihat sesuatu yang berkilat. Kelihatannya seperti sepotong baja. Aku menatapnya lagi dan melihat sebilah pisau. Sebilah pisau panjang yang disisipkan pada ikat pinggang salah seorang pemuda. Kemudian aku perhatikan, di saku masing-masing pemuda itu ada sesuatu yang menonjol. Para tamuku bersenjata lengkap dengan bedil, pisau, bahkan golok.

Di balik pintu yang menuju beranda aku dapat melihat sekilas bayangan Fatmawati, Sayuti Melik dan Trimurti. Mereka, juga, pasti melihat apa yang kulihat karena ketiganya dicekam ketakutan.
Meski terjadi perdebatan yang panas dan sengit, tak seorang pun yang memukul meja atau berteriak-teriak. Suara kami dapat dikendalikan. Di sekeliling rumah ada kebun terbuka dan kami berbicara sedemikian rupa, sehingga tak terdengar oleh orang lain.

Seorang dari para pemuda itu mengejekku dengan suara pelan: “Boleh jadi Bung Besar kita takut. Boleh jadi dia melihat hantu dalam gelap. Boleh jadi dia tetap menunggu-nunggu perintah dari Tenno Heika.

Wikana, pemimpin pemuda yang lain, mengikuti ejekan ini dengan gerakan yang mendadak dan mengejutkan. Dia mencoba menggertakku. “Kami tidak ingin mengancammu, Bung,”katanya dengan suara parau sambil mengancam ke arahku dengan pisau terhunus di tangannya. “Tapi revolusi sekarang ada di tangan kami dan Bung di bawah kekuasaan kami. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…”

“Lalu apa?” teriakku sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. “Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti kemauan kalian!”
Aku melompat ke tengah para pemuda yang memegang senjata itu, menekukkan kepalaku ke bawah, menjulurkan leherku keluar, dan membuat gerak untuk memotong tenggorokanku. “INI,”kataku mencemooh. “Ini leherku. Boleh potong… Hayo, boleh penggal kepalaku… kalian bisa membunuhku…tapi aku tidak pernah mau mengambil risiko untuk melakukan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena kalian hendak melakukan sesuatu menurut kemauan kalian.”
Mereka langsung diam, dan keheningan mencekam. Tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada yang bergerak. Mereka takut. Malu. Marah. Kecewa. Aku mengangkat kepala dan dengan sengaja aku menatap mereka. Aku menatap langsung ke wajah mereka sehingga mereka satu demi satu menjatuhkan pandangan mereka.

Aku duduk lagi. Butir-butir keringat menggantung di bibir atasku. Tak ada lagi yang menyebut Sukarno pengecut. Aku menangkap mata Fatmawati di bagian lain dari kusen pintu. Mukanya kelihatan murung dan tegang. Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan sungguh-sungguh. Dengan nada rendah kumulai kembali percakapan kami, “Yang paling penting di dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17.”

“Mengapa tanggal 17, tidak lebih baik sekarang saja atau tanggal 16?”tanya Sukarni.
“Aku percaya pada mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan di dalam relung hatiku bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran, benar tidak?”
“Ya.”
“Ini berarti saat yang paling suci, bukan?”
“Ya.”

“Hari Jumát ini Jum’at Legi. Jum’at yang manis. Jum’at suci. Dan hari Jum’at tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.”


“Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang , aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi ini akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti setelah itu…”

Friday, April 1, 2016

Mohon Bimbingan-Nya Ketika Mengeluarkan Harta

Almarhum mursyid sangat tertib dalam membelanjakan uangnya, seorang sahabat salik yang bertugas mengolah semua jurnal pribadi beliau bersaksi bahwa setiap hari beliau mencatat dengan detil semua pengeluaran uangnya yang tidak banyak itu. Sahabat salik lain yang seorang bankir yang kerap ditugasi menyimpan uang pemberian dari para murid beliau berkata bahwa hingga akhir hayat beliau uang pemberian para muridnya - yang diberikan karena kasih sayang dan sukarela, barangkali karena tersentuh melihat kehidupan mursyidnya yang demikian sederhana - setiap perak dari uang itu masih utuh tersimpan di bank. Almarhum mursyid tidak pernah menggunakan uang dari murid-muridnya untuk kepentingan pribadi.

Mursyid penerusnya demikian juga akhlaknya terhadap harta, sangat sederhana dan hati-hati dalam mengambil keputusan untuk membeli sesuatu. Pernah suatu hari istrinya bertanya untuk membeli mobil tipe tertentu karena butuh untuk kendaraan sehari-hari dan kebetulan dananya sudah tersedia, sang mursyid menjawab "Jangan mobil yang itu, tidak sesuai dengan kadar rumah tangga kita, cari yang lebih seederhana ya...". Padahal saya tahu persis kalau mursyid saya ini menunjuk sebuah mobil pasti murid-murid dekatnya berlomba-lomba ingin menghadiahkan itu untuknya sebagai tanda cinta. Tapi ya, kami para muridnya pun diajari untuk berhati-hati bahkan ketika memberi beliau hadiah.

Sikap hati-hati beliau berdua dalam melakukan setiap tindakan sangat berkesan. Tanpa banyak khotbah kehidupan mereka berbicara lantang tentang makna sebuah keberserahdirian. Bahwa hidup kita bukan milik kita demikian dengan apa pun yang dihadirkan dalam hidup kita. Jadi akhlak yang dibangun di sini dalam kehati-hatian adalah senantiasa memohon kepada Allah Ta'ala. Dalam hening sesaat, mencoba menyambungkan hati dengan-Nya, apabla ini kerap dilakukan maka kedekatan batin dengan Dia tak terelakkan. Dan pasti Dia akan memberi jawaban, karena hati (qalbu) adalah tempat insan menerima petunjuk Sang Maha Kuasa.

Barangkali kita harus lebih sering meminta petunjuknya, tidak hanya sebatas saat keputusan-keputusan 'besar' harus diambil seperti memilih jodoh, memilih pekerjaan, lokasi rumah atau lainnya. Tapi juga saat kita menerima gaji setiap bulannya. Teringat ilmu hujan, bahwa setiap titik air yang turun ditugaskan satu malaikat untuk ditempatkan di titik yang telah ditetapkan, maka setiap rupiah pendapatan kita pun pastinya telah ada peruntukannya. Sesuatu yang apabila kita cermat dan tepat menempatkannya maka insya Allah hisabnya ringan di akhirat nanti...