Rumah ini dan sekitarnya gelap. Jauh di dalam di ruang duduk
tampak satu lampu saja yang menyala. Di dalam kegelapan itu sekilas aku melihat
sesuatu yang berkilat. Kelihatannya seperti sepotong baja. Aku menatapnya lagi
dan melihat sebilah pisau. Sebilah pisau panjang yang disisipkan pada ikat
pinggang salah seorang pemuda. Kemudian aku perhatikan, di saku masing-masing
pemuda itu ada sesuatu yang menonjol. Para tamuku bersenjata lengkap dengan
bedil, pisau, bahkan golok.
Di balik pintu yang menuju beranda aku dapat melihat sekilas
bayangan Fatmawati, Sayuti Melik dan Trimurti. Mereka, juga, pasti melihat apa
yang kulihat karena ketiganya dicekam ketakutan.
Meski terjadi perdebatan yang panas dan sengit, tak seorang
pun yang memukul meja atau berteriak-teriak. Suara kami dapat dikendalikan. Di
sekeliling rumah ada kebun terbuka dan kami berbicara sedemikian rupa, sehingga
tak terdengar oleh orang lain.
Seorang dari para pemuda itu mengejekku dengan suara pelan:
“Boleh jadi Bung Besar kita takut. Boleh jadi dia melihat hantu dalam gelap.
Boleh jadi dia tetap menunggu-nunggu perintah dari Tenno Heika.”
Wikana, pemimpin pemuda yang lain, mengikuti ejekan ini dengan
gerakan yang mendadak dan mengejutkan. Dia mencoba menggertakku. “Kami tidak
ingin mengancammu, Bung,”katanya dengan suara parau sambil mengancam ke arahku
dengan pisau terhunus di tangannya. “Tapi revolusi sekarang ada di tangan kami
dan Bung di bawah kekuasaan kami. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini,
lalu…”
“Lalu apa?” teriakku sambil melompat dari kursi dalam
keadaan sangat marah. “Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani
memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan
pernah mau dipaksa menuruti kemauan kalian!”
Aku melompat ke tengah para pemuda yang memegang senjata
itu, menekukkan kepalaku ke bawah, menjulurkan leherku keluar, dan membuat
gerak untuk memotong tenggorokanku. “INI,”kataku mencemooh. “Ini leherku. Boleh
potong… Hayo, boleh penggal kepalaku… kalian bisa membunuhku…tapi aku tidak
pernah mau mengambil risiko untuk melakukan pertumpahan darah yang sia-sia,
hanya karena kalian hendak melakukan sesuatu menurut kemauan kalian.”
Mereka langsung diam, dan keheningan mencekam. Tak seorang
pun tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada yang bergerak. Mereka takut. Malu.
Marah. Kecewa. Aku mengangkat kepala dan dengan sengaja aku menatap mereka. Aku
menatap langsung ke wajah mereka sehingga mereka satu demi satu menjatuhkan
pandangan mereka.
Aku duduk lagi. Butir-butir keringat menggantung di bibir
atasku. Tak ada lagi yang menyebut Sukarno pengecut. Aku menangkap mata
Fatmawati di bagian lain dari kusen pintu. Mukanya kelihatan murung dan tegang.
Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan sungguh-sungguh. Dengan nada rendah
kumulai kembali percakapan kami, “Yang paling penting di dalam suatu peperangan
dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh
pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17.”
“Mengapa tanggal 17, tidak lebih baik sekarang saja atau
tanggal 16?”tanya Sukarni.
“Aku percaya pada mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang
masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan
di dalam relung hatiku bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. Tujuh belas
adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang
berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran, benar
tidak?”
“Ya.”
“Ini berarti saat yang paling suci, bukan?”
“Ya.”
“Hari Jumát ini Jum’at Legi. Jum’at yang manis. Jum’at suci.
Dan hari Jum’at tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam
melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad
memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah
buatan manusia.”
“Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang
, aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku
menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari
keramat-Nya. Proklamasi ini akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan
mengikuti setelah itu…”
No comments:
Post a Comment