Quentin jatuh cinta pada pandangan pertama sejak Margo datang ke kota Orlando dan tinggal tepat di depan rumahnya.
Margo adalah gadis pemberani dan penuh kejutan, sangat berbeda dengan Quentin yang selalu mengikuti aturan dan cenderung living a 'boring' life.
Selama bertahun-tahun Quentin memendam rasa untuk Margo tapi tak jua diutarakan. Quentin merasa ia punya dunia yang berbeda denganya dan sedikit tidak percaya diri di hadapan Margo, anak gaul yang hampir menjadi queen of the prom, sampai ketika Jens, pacarnya ketahuan memacari perempuan lain.
It was the last week at high school, everybody was prepared and excited to go to the prom. Pada suatu malam Margo membawa Quentin ke petualangan yang tidak akan pernah dilupakannya. Dan keesokan harinya Margo hilang selama berhari-hari. Orang tua Margo mulai melibatkan polisi namun juga sudah skeptis dengan kepergian Margo seraya mengatakan bahwa ini sudah kelima kalinya ia melarikan diri dari rumah.
Quentin tersentak mendengar perkataan orang tua Margo yang menganggap anaknya tidak lain hanya pembuat onar. Yes, the very same girl who beat his heart faster and took him to the moon and back, ternyata hanya dipandang sebelah mata oleh orang tuanya, orang-orang terdekatnya.
Kepergian Margo meninggalkan tanda tanya besar bagi Quentin, hatinya terasa tercerabut justru pada saat ia merasa mulai merasakan kehidupan baru. Berbekal keping-keping petunjuk, Quentin akhirnya menemukan Margo, dengan bantuan sahabat-sahabatnya, mereka menempuh perjalanan dari Orlando ke sebuah kota kecil, disebut dengan paper towns, bernama Agloe.
Yang menarik dari film ini adalah akhir yang tidak seperti kebanyakan typical Hollywood happy ending. Quentin dan Margo berpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing.
-----
Quentin: "so what's your plan?"
Margo: "I don't know, but I'm excited to find out."
Kita seringkali merasa kita tahu apa yang harus kita lakukan, tanpa berhenti sejenak dan mempertanyakan. Is this what I really want? Or is this what I should want?
Sejak di dalam kandungan, otak raga kita terbiasa menyerap informasi apapun yang dipaparkan lingkungan sekitar. Itu sebabnya banyak ibu yang mulai memperdengarkan lagu-lagu klasik pada janinnya dengan keyakinan hal itu bisa boosting perkembangan otak anak. Tidak hanya itu segala gejolak emosi ibu dikatakan berpengaruh kepada perkembangan janin. Otak manusia adalah seperti sponge, ia menyerap apapun yang dihidangkan di hadapannya. Oleh karena itu lingkungan sekitar sangat berperan membentuk seseorang: kesukaannya, preferensi musik, gaya rambut, cara berpakaian, buku atau film favorit, pekerjaan yang diinginkan hingga selera terhadap lawan jenis.
"Tiga lapis kegelapan", demikian Al Qur'an (QS Az ZUmaar : 6) menjelaskan proses penghijaban jiwa insan yang merekam jelas kejadian di alam alastu, momen persaksian terhadap Sang Pencipta dan manakala setiap jiwa dikalungkan ke setiap lehernya ihwal misi hidup atau amanah yang sepatutnya dikerjakan di muka bumi. Lapis kegelapan pertama adalah yang paling dekat dengan dirinya yaitu raga insan yang menjadi kendaraan jiwa untuk menjalankan perannya. Lapis kegelapan kedua adalah sifat-sifat yang diturunkan oleh kedua orang tuanya, bisa jadi karena karakter bawaan atau sesuatu yang terbentuk saat tumbuh kembang. Adqapun lapis kegelapan yang ketiga adalah lingkungan dan dunia sekitarnya, mulai dari lingkungan terdekat di keluarga, pengasuh, teman-teman sekolah atau kantor juga tetangga dan segala kejadian serta orang-orang yang ditakdirkan beririsan kehidupannya dengan kita. Semua bercampur satu dan membentuk persona yang kita kenal per saat ini, tapi siapa sebenarnya diri kita? Dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup di dunia? Apakah sekadar singgah dan mencari kehidupan layak and have an happy ending ala fairy tales? Seriously, who are we? Who am I?
Itu pertanyaan yang berkelibat dan membuat saya sulit tidur bermalam-malam sejak saya menginjak usia 13 tahun. Sejak itu saya membuka buku-buku agama dan menghadiri berbagai forum pengajian. Menelisik lebih jauh tentang ide "life after death" yang banyak menginspirasi saya hingga sekarang. Perjalanan batin yang menuntun saya menemukan sang guru sejati yang membuat segala kegelisahan saya mulai redam dan diajarkan melihat keping demi keping puzzle kehidupan sebagai suatu pesan yang suci dan penuh cinta dari Sang Maha Pencipta.
Dua puluh dua tahun telah berlalu, sang gadis kecil telah melalui sekian banyak fase pembelajaran dari-Nya. Banyak hal berubah, namun pertanyaan yang sama senantiasa bergaung. "Who am I?"
Amsterdam, 25 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment