Thursday, June 27, 2013

Sekilas Tokoh-Tokoh Sufi Dalam Sejarah Indonesia (Bagian 1)

Islam yang disebarkan di kawasan Asia Tenggara diyakini oleh beberapa ilmuwan dipengaruhi  oleh ajaran para sufi, bahkan warna sufistik ini yang konon menyebabkan orang tertarik mempelajari Islam, dengan kata lain, perkembangan sufisme adalah salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya Islamisasi di Kawasan Asia Tenggara.

1. Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri (1590) adalah seorang penyair sufi yang berasal dari Barus (Baros), Sumatera.  Beliau adalah penyair pertama yang menuliskan ide-ide wahdatul wujud dalam Bahasa Melayu. Beberapa tokoh sufi terkenal seperti  Ibnu Arabi, Al Hallaj, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Al Djunaid dan Jalaluddin Rumi disebut dalam kebanyakan karya tasawufnya.
Hamzah Fansuri bekerja di Kesultanan Aceh dan merupakan salah satu orang Asia Tenggara pertama yang menunaikan haji ke Mekkah.  Ketika peranan Kerajaan Pasai mulai memudar, terutama setelah penjajah Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, para cendekiawan alumni Pasai mulai membangun pusat pengkajian Islam di kerajaan yang baru dideklarasikan di ujung utara pulau Sumatra, yang dinamakan dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini adalah penyatuan kembali beberapa kerajaan Islam yang sudah terpecah belah di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayyat Syah yang diproklamirkan pada  12 Rabi’ul Awwal 913 H atau sekitar 23 Juli 1507 M.

Salah seorang bintang ulama berpengaruh masa itu adalah Syekh Hamzah Fansuri. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau adalah termasuk salah satu ulama yang ikut mendukung pendirian kerajaan baru ini. Atau kemungkinan peranannya lebih besar lagi, sebagai tokoh sentral pendiri Kerajaan Aceh disamping Sultan Ali Mughayat Syah. Karena sudah menjadi tradisi para Sultan Aceh yang senantiasa memiliki penasihat spiritual yang bergelar Syaikh a-Islam atau Qadhi Malik al-Adhil. Itulah sebabnya, banyak di antara murid dan pengikutnya dari kalangan para ulama wujudiyah yang menjadi penasihat dan pembimbing kerajaan dari pertama berdirinya sampai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. 
Ajarannya yang menonjol tentang wahdatul wujud meyakini bahwa Allah (sebagai Sifat bukan sebagai Dzat) manunggal dalam semua ciptaan-Nya dipandang sebagai ajaran Pantheisme yang ‘sesat’. Salah satu ulama yang menentang keras ajarannya adalah Syekh Nuruddin al-Raniri. Kisah mengenai makam yang terletak di Ujung Pancu tentang seorang ulama Aceh yang dihukum pancung oleh penguasa Aceh zaman Sultan Iskandar Tsani yang berkuasa antara tahun 1636-1641 M atas fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri, diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai makam Syekh Hamzah Fansuri. Akan tetapi penemuan terkini yang dikemukakan oleh Claude Guillot dan Ludvik Kalus menyebutkan bahwa Syekh Hamzah wafat pada tahun 1527 M dan dimakamkan di pekuburan Ma’la di Mekkah.

2. Nuruddin Ar Raniri
Hampir semua penulis menyebut bahwa Syekh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal-usul beliau adalah bangsa Arab keturunan Quraisy yang hijrah ke India.

Kedatangan Syekh Nuruddin ar-Raniri untuk pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan pada tahun 1637, setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda. Setiap sesuatu yang baru selalu mendapat perhatian orang, demikian juga pemahaman baru yang dibawa oleh beliau tentang penolakan tasawuf model ajaran Syekh Hamzah al Fansuri dan Syekh Syamsuddin Sumatrani, segera mendapat tempat di hati Sultan Iskandar Tsani. DIdukung oleh kecerdasan, keberanian dan penguasaannya atas berbagai ilmu agama Islam akhirnya Syekh Nuruddin ar Raniri menduduki posisi yang tinggi dalam kerajaan dengan dukungan sang sultan.
Walaupun Syekh Nuruddin ar Raniri merupakan penantang keras Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin Sumatrani, beliau tidak melakukan hal yang serupa terhadap ajaran Ibnu Arabi, Abu Yazid al Bistami, Al Hallaj dan lainnya. Padahal ulama-ulama tersebut adalah salah satu sumber ajaran yang diyakini oleh Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin  Sumatrani. Dalam tulisan Fath al-Mubin ála al Mulhidin, Syekh Nuruddin ar Raniri berpendapat bahwa Al Hallaj adalah mati syahid. Katanya : “”Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua.”
Menurut H.M. Zainuddin dalam “Tarich Atjeh dan Nusantara”, jilid 1, terjadi pertikaian di dalam istana, dalam peristiwa itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih HItam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Dikatakan bahwa jenazah Syekh Nuruddin ar Raniri ditemukan di Kuala Aceh dan makamnya dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin.

3. Syamsuddin Assumatrani
Syamsuddin Assumatrani atau Syamsuddin Pasai adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah mewarnai corak  Islam di Aceh. Sayangnya,  perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Selain karena tidak ditemukan catatan otobiografinya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof  Dr Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Di antara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Assumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salatin. Itu pun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu, kiranya cukuplah bagi kita untuk sekadar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana dia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab, memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya dia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Para sejarawan menisbahkan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai. Ini  mengisyaratkan  dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian,  bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai.

Berbicara tentang peranan Samudra Pasai sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524. Begitu juga dalam hal kesastraan, Hikayat Raja-raja Pasai lebih tua dibandingkan Gurindam Duabelas Karya Raja Ali Haji Pulau Penyengat,Tanjung Pinang,  Bintan,  Kepulauan Riau.

Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Assumatrani sudah menjadi orang kepercayaan Sultan Aceh. Sayang ,dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin  sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.

Syamsuddin Assumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya dia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. 
Dia berada  dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Assumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Assumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Assumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Assumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Assumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Dia  diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Assumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Pada masa inilah dimulainya kekerasan pertama di Aceh terhadap karya dan pemikiran, Namun demikian, para pengikut paham Assumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 saat Safiatuddin menjadi Sultanah, Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Dia  pun terpaksa pulang  kampung, ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Abdurrauf atau Syiah Kuala.

Dari hasil penelitian Prof Dr Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan  Syamsuddin Assumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Assumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Di antara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:

Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah  (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.

Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi,  pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).

Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya, antara lain, menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarah) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana di jalan  Allah.

Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Melayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. 
Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).

Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.

Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh,  dan tentang ruh.

Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

“Beu Seulamat Iman teuh mandum.  Berpegang teguhlah dengan agama itu, sebab agama Islamlah yang telah memajukan Aceh dan terkenal ke seluruh dunia Melayu.” Pesan ini disampaikan ketika Syamsuddin Assumatrani ditembak oleh Portugis dalam misi penyerangan kafir Portugis di Malaka, masa Iskandar Muda.

4. Syekh Yusuf
Syekh Yusuf dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau 3 juli 1926 M di MoncongloE Gowa. Menurut lontara Riwayana Turatea Salamaka ri Gowa versi Gowa, ibu Syekh Yusuf adalah putri Gallarang MoncongloE yang bernama Aminah, sedang ayahnya dikatakan seorang tua yang tidak diketahui asal kedatangannya, yang kemudian dianggap Nabi Khaidir. Ketika pasangan itu cerai, ibu Yusuf dinikahi oleh Raja Gowa (I Manggarani Daeng Marabia Sultan Abdullah, 1593-1639). Dalam versi yang lain disebutkan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah Khaidir. Agaknya nama Khaidir dibelakang nama Abdullah (ayah Yusuf), inilah yang dapat diterima. Sebab kajian silsilah yang disimpan oleh anak cucunya di Makassar (Takalar dan Sudiang) terdapat catatan yang menyebutkan bahwa nama ayahnya Abdullah Khaidir.
Syekh Yusuf tumbuh di lingkungan istana bersama anak-anak raja lain. Sejak kecil ia memperoleh pendidikan Islam. Ia belajar al-Quran sampai khatam dari seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Kemudian dilanjutkan mempelajari Sharaf, Nahwu, Mantiq, dan kitab-kitab lainnya yang dipelajari dari Sayed bin Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala sebagai pusat pendidikan dan  pengajaran Islam, Sejak tahun 1634. Dalam tempo beberapa tahun ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid, tetapi yang menarik perhatiannya hanya bidang mistik Islam, yaitu tarekat dan tasawuf.
Kemajuan yang dicapai dirasakan Syekh Yusuf belum memuaskan, sehingga ia berniat mencari ulama lain. Hal ini pula menjadi tradisi dalam pendidikan Islam, jika siswa dianggap cakap dan berbakat menerima ilmu, maka disarankan mencari ilmu ke tempat lain.
Dalam usia 15 tahun, Syekh Yusuf melanjutkan pelajarannya di Cekoang dengan berguru kepada Syekh Jalaluddin al-Aidit. Setelah kembali dari Cekoang, tahun 1645 Yusuf menikah dengan putri Raja Gowa, I Sitti Daeng Nisanga, yang hanya sempat digauli selama 40 hari (riwayat lain 6 bulan), karena ia harus segera belajar meninggalkan tanah asalnya untuk memulai pengembaraannya menuntut ilmu dan sekaligus menunaikan ibadah haji di Mekah, tepatnya pada tanggal 22 September 1645.
Keberangkatan Syekh Yusuf tidak langsung ke tanah suci, melainkan singgah di beberapa negeri seperti Banten, Acah, dan Yaman.  Di Banten beliau sempat jalin persahabatan dengan putra mahkota waktu itu, yang kelak menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Dari Banten ia berlayar ke Aceh. Di sana menemui Syekh Nuruddin Arraniry dan mempelajari tarekat Qadariyah sampai berhasil mendapatkan ijazah dari ulama besar itu. Dari Aceh ia meneruskan perjalanan ke Yaman mendapatkan Syekh Abdullah Muhammad Abdul Baqi dan menerima tarekat Naqsyabandiyah darinya. Di Negeri itu pula di Zubaid, ia menerima  ijazah tarekat al-Sa’adah Ba’lawiyyah dari Sayyid Ali. Dari Yaman ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sini ia memperoleh ijazah Tarekat Syattariyah dari Syekh Burhanuddin al- Mullah bin Syekh Ibrahim bin Husain bin Syihabuddin al-Madani.
Dari Madinah ia meneruskan perjalanannya ke Damaskus dan mengambil ijazah tarekat al-Khalwatiyah dan sekaligus gelar Taj al-Khalwati al-Quraiyi masih banyak tarekat lain yang diperoleh ijazah dari guru-guru yang disebutkan semuanya dari Syekh Yusuf dalam karangannya berjudul Safinat al-Najat. Dalam risalah Syekh Yusuf itu disebutkan bahwa penerima ijazah kelima tarekat tersebut dan sisilahnya adalah sebagai bukti bahwa ia juga termasuk pewaris dan berhak mengajarkannya.
Setelah kepulangannya ke Indonesia sekitar tahun 1670, Syekh Yusuf memperkenalkan disiplin tarekat Khalwatiyyah yang sebenarnya merupakan gabungan teknik pemurnian jiwa di tarekat Khalwatiyyah dan beberapa tarekat yang telah beliau pelajari.

5. Syekh Abdul Samad al-Falimbani
Syekh Abdul Samad al-Falimbani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang. Dari silsilah, nasab Syeikh al-Falimbani berketurunan Arab, yaitu dari ayahnya yang bernama Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad al-Mahdani. Ayah al-Falimbani adalah ulama berasal dari Yaman yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang merupakan isteri kedua Sheikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya sempat menikahi Wan Zainab, puteri Dato' Sri Maharaja Dewa di Kedah.

Seperti lazimnya anak-anak kecil di masa itu, Syeikh al-Falimbani menerima pelajaran agama dariorang tuanya sendiri yaitu Sheikh Abdul Jalil mufti Negeri Kedah, selain beberapa guru di kampungnya yang sempat membimbing dirinya. Minatnya terhadap ilmu-ilmu keagamaan telah terlihat sejak usia muda. Merasa kurang puas dengan ilmu yang dicapainya, orang tua al-Falimbani kemudian mennyekolahkan anaknya itu ke tanah Makkah dan Madinah (30 tahun di Makkah, 5 tahun di Madinah). Di Makkah, beliau menjadi kawan seperguruan menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya. Misalnya, Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Meskipun beliau menetap di Makkah, namun, beliau tidak melupakan negeri tanah tumpah darahnya. 
Syeikh al-Falimbani tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.

Al-Falimbani berperanan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang mahupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu yang berkaitan dengan dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, beliau mengingatkan agar tidak tersesat oleh berbagai ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat. Mengenai kolonialisme Barat, al-Falimbani menulis kitab dalam bahasa Arab untuk meniup semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan umat Islam dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya.

Dua karya besar al-Falimbani, Sayr al-Salikin ila 'Ibadah Rabb ai-'Alamin dan Hidayah al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin dianggap sebagai contoh yang menunjukkan para ulama abad ke-18 kembali ke tasawuf Sunni AI-Ghazali dan meninggalkan wahdatul wujud Ibn al-'Arabi yang abad sebelumnya sangat dominan di Aceh.


Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Falimbani dinilai mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran wihdatul wujud Ibnu 'Arabi. Pendekatan tasawufnya lebih menekankan pensucian pikiran dan perilaku moral. Beliau juga mencoba menyelaraskan aspek syariat dan tasawuf. Tauhid sebagai salah satu maqam tertinggi dan tujuan yang ingin dicapai seorang sufi menjadi perhatian penting Al-Falimbani.

Tercatat dalam sejarah Peperangan antara Pattani dan Siam terjadi sebanyak 12 kali. Syeikh Daud Fattani dan Syeikh Abdul Samad al-Falimbani meninggalkan Makkah untuk turut serta dalam jihad menentang Siam pada tahun 1832. Sheikh Abdul Samad telah dilantik sebagai panglima perangdan mati  syahid dalam peperangan tersebut yaitu pada tahun 1828. Beliau ditangkap dan kepalanya dipancung tentera Siam, kemudian dibawa ke Bangkok untuk dipersembahkan kepada Maharaja Siam sebagai bukti kematiannya. 

Sumber Bacaan
1. Martin van Bruinessen,  ‘The origins and development of Sufi orders (tarekat) in Southeast Asia’,  Studia Islamika - Indonesian Journal for Islamic Studies vol. 1, no.1 (1994), 1-23. (http://www.let.uu.nl/~Martin.vanBruinessen/personal/publications/Bruinessen_Sufi_orders_in_Indonesia.pdf)
3. Ahmad Rais Johari. Biografi Hamzah Fansuri Berdasarkan Minuskrip Melayu Lama. http://syairfansuri.blogspot.nl/
4. Hilmy Bakar Almascaty. Misteri Syekh Hamzah Fansuri.http://aceh.tribunnews.com/2013/03/03/misteri-syekh-hamzah-fansuri
5. Wan Mohd Shaghir Abdullah. Syekh Nuruddin ar Raniri. http://ulama.blogspot.nl/2005/12/syeikh-nuruddin-ar-raniri.html
6. Zulfadli Kawom. Sosok Syamsuddin Assumatrani.  http://aceh.tribunnews.com/2012/02/19/sosok-syamsuddin-assumatrani
8. Shauqi al Yarmouki. Syaikh Abdul Samad al Falimbani. http://www.ustazshauqi.com/2008/09/sheikh-abdul-samad-al-falimbani.html


No comments:

Post a Comment