Dari kajian yang disampaikan oleh Alfathri di Amare Book Club, mengulas tulisan A. Teeuw, Walter J. Ong dan Bambang Sugiharto @ Reading Light Cafe 12 Desember 2010.
Budaya lisan (oral) vs literasi ternyata punya implikasi yang dalam dalam membentuk peradaban.
Perjalanan sejarah yang dimulai dari Homer dengan Iliad dan Oddyseus-nya dengan kemampuan artikulasi yang nampaknya powerful, berhasil menorehkan tinta emas dalam meneruskan mitos kepahlawanan itu dari generasi ke generasi.
Homer adalah seorang penyair buta yang tidak bisa membaca selain itu pada saat itu komposisi orang yang bisa membaca hanya 1/3 dari seluruh populasi penduduk (?)
Dengan demikian budaya lisan untuk menyampaikan cerita merupakan sesuatu yang lazim pada zaman itu.
Budaya lisan sebagaimana budaya literasi masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan budaya lisan adalah kemampuannya dalam mengkomunikasikan aspek emosi, penjiwaan dan kadang hal-hal yang abstrak yang sulit dilakukan oleh budaya literasi, dalam kemasan audio visual yang sedemikian rupa bisa membuat tingkat partisipatif pendengar/pemirsa lebih tinggi. Respon manusia ketika mendengar beda dengan membaca. Respon mendengar lebih ke respon partisipatif, dimana seluruh sel tubuhnya ‘dipaksa’ konsentrasi ke satu titik (pendengaran) seringkali tanpa menyisakan jarak antara dirinya dengan informasi yang didengar. Fenomena psikis seringkali kita amati pada orang yang latah. Yaitu mereka yang berespon sedemikian rupa manakala ada rangsang tertentu yang dia terima, baik berupa rangsang mekanis atau melalui sensor pendengaran.
Karena sifat partisipatif inilah, saya menduga banyak perintah dan simbolisasi perintah di dalam kitab suci dinyatakan dengan “dengarlah!” dan dijawab dengan “aku dengar dan aku taat”, bukan “aku baca dan aku taat”
Bukankah di alam Alastu salah satu kalimat penyaksian adalah pertanyaan dari Allah Rabbul ‘Aalamiin berupa “Man Rabbuka?” – “Benarkah aku Rabbmu?”, menyuratkan ada proses lisan yang terjadi di sini dan direspon sedemikian rupa oleh kita, para makhluk-Nya.
Budaya literasi, bagaimanapun diakui sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia ini. Adanya institusi sekolah baru muncul setelah budaya literasi mulai berkembang (?) dan konon melalui komunitas gereja.
Masuk akal memang melihat adanya hubungan yang erat antara budaya literasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Karena dalam budaya literasi semuanya memerlukan suatu kepastian dan presisi. Hanya melalui bukti yang tercatat (literatur) suatu karya bisa disimpan secara otentik, tanpa kurang titik dan koma dan masih bisa diverifikasi di waktu yang akan datang. Ujian di sekolah-sekolah pun hanya mungkin apabila ada literatur yang merupakan acuan bagi para murid.
Salah satu dampak yang timbul dari budaya literasi adalah individualisme yang tinggi. Hal ini bisa dimengerti karena proses membaca sendiri merupakan proses individualisasi tinggi. Membaca pada umumnya merupakan proses yang terjadi secara sendiri dan butuh internalisasi yang cukup intens antara diri sang pembaca dengan materi yang sedang dipelajari. Masuk akal kiranya bila dalam masyarakat dengan budaya literasi tinggi, sifat individualisme ini terbawa dalam ritme kehidupan mereka sehari-hari. Hal lain dari budaya literasi adalah, proses membaca menciptakan jarak antara individu si pembaca dengan obyek yang dibaca. Hal ini membuat obyektivitas pembaca terlatih dengan baik. Maka budaya satir atau kritik di dunia Barat – yang merupakan simbol dari dunia literasi, merupakan salah satu konsekuensi logis dari budaya literasi di kalangan mereka. Kritik terbuka adalah hal biasa dan jarang berakhir dengan tawuran di masyarakat dengan budaya literasi kental, karena mereka terlatih untuk berjarak dengan obyek yang tengah mereka perdebatkan, sekalipun itu menyangkut obyek yang paling sensitif, misal masalah agama dan kepercayaan.
Memang, spasialisasi (adanya jarak) ini mempunyai dua mata pisau, yang satu bisa berdampak positif dan selayaknya banyak hal yang mempunyai dua kutub positif dan negatif, dalam hal tertentu yang berkaitan dengan tatanan kemasyarakatan yang menuntut hidup harmonis, individualisme yang tinggi merupakan barier bagi keguyuban dalam masyarakat literasi. Sebaliknya, partisipasi yang tinggi dan kadang cenderung keblinger, sering kita temui dalam masyarakat lisan.
Menarik untuk mencermati kesimpulan akhir A. Teeuw dalam bukunya “Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan” bahwa tantangan ke depan bagi bangsa Indonesia adalah untuk mengadaptasi hal-hal positif dan mensinergikan antara kekuatan budaya lisan dengan kekuatan budaya literasi.
Kaitannya dengan nubuwah bahwa pulau Jawa akan menjadi pusat ilmu dunia, sedangkan kondisi de facto pada saat ini yang secara rasional tidak memungkinkan masyarakat pulau Jawa ini memegang supremasi dalam dunia pengetahuan, patut kiranya kita perhatikan bagaimana Allah Ta’ala telah berkehendak menjadikan masyarakat berbudaya lisan sebagai fondasi awal, sebelum pada akhirnya berbaur dengan budaya literasi dan menjadikan negeri ini pusat ilmu dunia, yang kata Alfathri, “mungkin pada masa cucu kita nanti..”. Wallahua’lam[]
No comments:
Post a Comment