Hampir setiap hari aku berjumpa dengannya, seorang ayah yang menunggu anaknya pulang. Bersamanya dan puluhan orang tua lain kami berdiri menanti sang buah hati bubar sekolah. Setiap kali berjumpa dengannya - entah sudah berpuluh kali, aku selalu melemparkan senyuman dan menyapa "selamat siang" dan setiap kali itu pula wajahnya melengos masam.
"Apa yang salah?"pikirku setiap kali. Dia dan tiga orang lain berespon mirip setiap kali aku mencoba menyapa mereka ramah.
"Mungkin karena tutup kepalaku?"
"Mungkin karena warna kulitku yang berbeda dengan mereka?"
Segala macam rasionalisasi aku lemparkan ke dalam pikiranku, supaya aku bisa mengerti akan fenomena yang menurutku aneh ini.
Hampir dua bulan berselang, setiap hari aku selalu melempar senyum kepada siapapun yang kutemui, termasuk mereka yang selalu membalas dengan wajah yang kaku dan tak jarang membalikkan wajah. "Do good anyway" begitu kataku dalam hati mengingat pesan Bunda Theresa dan firman Allah, “Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat : 34).
Hari ini orang terakhir yang paling sulit melemparkan senyumannya mulai membalas sapa dan senyumanku. Benar kata Rasulullah “Senyum manismu dihadapan saudaramu adalah shadaqah” (HR. Tirmidzi). Shadaqah adalah bagaikan pemberian yang baik dan hati orang pasti akan luluh dengan pemberian yang baik, hanya menunggu waktunya.
Barangkali setidaknya ini adalah kontribusi kita dalam "menolong agama Allah", dengan menebarkan senyum. Bukan hanya sebatas senyuman fisik akan tetapi senyuman yang terurai dalam kata-kata yang sopan dan tidak menyakiti sesama. Karena bukankan dengan menyakiti seorang manusia kita secara tidak langsung tengah menyakiti Sang Pencipta?
#keep smiling :)