"Apa yang harus saya lakukan dalam penggal kehidupan yang satu ini?"
Pertanyaan itu mulai menyeruak saat usia saya 13 tahun, dipicu oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga orang tua saya. Perlahan-lahan saya mulai mencari-cari makna kebahagiaan sejati. Selama bertahun-tahun saya didera kegelisahan di malam hari, sang logika mencoba mereka setiap penggal kehidupan yang saya rancang untuk masa depan. Namun seribu satu macam skenario yang dimainkan oleh akal tetap berakhir di titik sama, apakah benar manusia hanya dirancang untuk tumbuh kembang, sekolah setinggi mungkin, berkeluarga, berkarir secemerlang mungkin dan meninggalkan alam dunia ini seperti debu di atas batu yang ditiup angin, hanya menyisakan serpihan kenangan? Something was telling me that we have bigger purpose than that.
Maka sejak usia 15 tahun saya memutuskan untuk hidup sendiri, i need some space to think, sedikit menjauh dari manusia, demikianlah selama hampir dua dekade saya memang ditakdirkan selalu menggelandang, hidup dari satu kota ke kota lain, rata-rata tinggal di sebuah tempat tidak lebih dari 3 tahun. Mentalitas nomaden itu membuat episode hijrah saya ke benua lain di penggal usia ini menjadi relatif ringan. Salah seorang sahabat saya memang pernah berkomentar, "Tessa itu kalau burung seperti Elang, you are a loner."
Saya tumbuh dan melalui banyak ketidakpastian dan terpaan ujian kehidupan. Semua itu melatih saya untuk bisa mandiri, tidak berpangku tangan dan mengharapkan belas kasihan orang lain, namun pelajaran yang paling penting adalah ketika saya perlahan tapi pasti ditarik ke dalam pusaran asa kepada Yang Maha Kuasa. Saat semua hal dan makhluk selalu berakhir mengecewakan maka saya tahu bahwa saya selalu bisa mengandalkan Dia. Setelah itu saya menemukan sebuah oase ekstase yang luar biasa di tengah-tengah deru keruwetan dunia yang tidak ada habis-habisnya. Saya mulai merasakan Allah itu hidup dan sangat akrab. Dia bukan sesuatu yang jauh dari jangkauan.
Sang mursyid berpesan agar kita senantiasa berjuang menjadi anak Sang Waktu, menjaring kebersyukuran pada apapun yang Ia tengah sematkan pada diri kita dari waktu ke waktu dengan keberserahdirian dan penghadapan wajah yang baik. Hanya dengan itu rasanya kita bisa mulai mengurai benang halus yang terbentang kepada asal muasal kita, untuk benar-benar mengenali jiwa kita.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer
Tuesday, December 27, 2016
Wednesday, December 14, 2016
Menelisik Sakit Sedang Yang Dihadirkan
Semasa saya masih praktik di klinik dan rumah sakit serta berinteraksi dengan berbagai pasien boleh dibilang hanya sebanyak 1% dari mereka yang kritis bertanya ihwal sakitnya; apa yang menyebabkan ia sakit, apa faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap sakit itu, bagaimana pola diet dan aktivitas yang baik hingga bagaimana mencegah penyakit itu menyerang dirinya. Sisanya yang 99% fokus kepada gejala dan obatnya apa untuk menghilangkan sakitnya kalau bisa yang instan, pake obat paten dan mahal biar cespleng!
Saya harus akui tidak mudah untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap seorang pasien karena keterbatasan waktu pelayanan dan sistem konsultasi dokter yang masih mengandalkan pay per visit, artinya seorang dokter kalau mau "makmur" paradigmanya semakin banyak pasien maka semakin dipandang sukses. Saya harus minta maaf banyak-banyak pada semua pasien saya yang dilayani tidak dengan optimal. Alih-alih berperan sebagai dokter, kerap kali saya hanya berperan sebagai robot pendiagnosa dan peresep obat dan jauh dari menyentuh akar permasalahan yang menjadi sebab sakitnya.
Mungkin itu sebabnya saya beralih jalur ke arah healthcare marketing, karena profesi ini memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan orang sedalam mungkin, bahkan kita difasilitasi kantor untuk melakukannya:) Baru-baru ini saya melakukan tes yang disertifikasi internasional yang disarankan oleh Career Coach saya, hasilnya menunjukkan saya orang yang mendapatkan energi dari berinteraksi dengan orang lain, klop sudah!
Perlahan tapi pasti rasanya saya mulai menemukan profesi yang akan saya tekuni hingga akhir hayat. I rather call it being a "compassionate listener", walau teman-teman saya menjuluki saya macam-macam : ustadzah, cikgu, spiritual coach atau mentor. Latar belakang pendidikan saya di bidang kedokteran membantu untuk memahami aspek raga manusia dan segala dinamikanya.
Namun hal yang lebih menakjubkan adalah ketika setiap hari chatting atau video conference dengan orang dari seluruh pelosok Indonesia dan mereka berbagi pengalaman hidupnya masing-masing yang luar biasa. Anda semua adalah orang-orang kuat! Terima kasih sudah membuka diri berbagi pelajaran yang indah dari Allah. Saya mengerti setiap kita punya medan ujiannya masing-masing yang dirasa berar dan tak jarang menyakitkan.
Namun hal yang lebih menakjubkan adalah ketika setiap hari chatting atau video conference dengan orang dari seluruh pelosok Indonesia dan mereka berbagi pengalaman hidupnya masing-masing yang luar biasa. Anda semua adalah orang-orang kuat! Terima kasih sudah membuka diri berbagi pelajaran yang indah dari Allah. Saya mengerti setiap kita punya medan ujiannya masing-masing yang dirasa berar dan tak jarang menyakitkan.
Akan tetapi seperti halnya pasien yang mengeluhkan sebuah gejala sakit kepada dokter, sang rasa sakit yang sedang melingkupi kita pasti diijinkan-Nya hadir untuk sebuah alasan penting. Baik kiranya untuk bertanya "kenapa saya diuji seperti ini?" sambil introspeksi dibanding sekadar mencari-cari jalan dan berdoa dengan agak ngotot supaya ujiannya dicabut, sakitnya dihilangkan atau kesulitannya diberikan jalan keluar yang mudah.
Karena rasa sakit itu adalah utusan dari-Nya, Dia yang hendak menyampaikan sesuatu kepada kita, mari kita coba dengarkan baik-baik.[]
Karena rasa sakit itu adalah utusan dari-Nya, Dia yang hendak menyampaikan sesuatu kepada kita, mari kita coba dengarkan baik-baik.[]
Saat Pertemuan Yang Dinantikan
Saat-saat penuh keajaiban yang menghangatkan hati itu adalah saat menjemput sang buah hati pulang sekolah. Dimana puluhan orang tua telah berjajar di sekitar pagar sekolah lalu rombongan anak-anak grup 1 (usia 4-5) tahun berjalan berbaris keluar dari gedung sekolah ke halaman didampingi gurunya sambil mencari-cari sesosok wajah yang mereka kenali masing-masing. Ada yang berlari dengan ceria menyambut sang penjemput, ada yang berjingkat-jingkat kegirangan, ada pula (seperti anak saya) melakukan ritual berjalan ala moonwalkernya Michael Jackson. :))
Apapun itu ekspresi anak-anak adalah lugu, jujur dan luar biasa indah. Bagaimana mereka mengungkapkan rasa bahagianya saat mengenali sosok yang menjemputnya merupakan pagelaran yang saya nanti setiap harinya, and this part of life, i won't trade it for the world.
Barangkali hal ini menjadi demikian berkesan bagi saya karena selama dua dekade ini hampir setiap hari saya selalu membayangkan saat-saat di yawmil akhir nanti tatkala Allah Ta'ala menampakkan dirinya - demikian dalam kerinduan hati untuk kembali bertatapan wajah dengan-Nya. Dan tentu kita akan bisa mengenalinya, sebagaimana anak-anak tadi yang mengenali orang tua mereka masing-masing, karena kita berasal dari genggaman Sang Pencipta serta bukankah dulu kita sama-sama telah mengusung sebuah kesaksian dihadapan-Nya?
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"(QS Al A'raaf:172)
Subscribe to:
Posts (Atom)