Worldwide, 10–25% of public procurement spending in health
(medical devices and pharmaceuticals) is lost to corrupt practices
- Data from a report of "Corruption
in the Healthcare Sector" released in 2013 by the European Commission
Diperkirakan seperempat dana yang dialokasikan untuk kesehatan masyarakat bocor
karena korupsi. Gambarannya, industri farmasi saja bernilai sekitar 900 milyar
dolar; berarti setiap tahunnya setidaknya 90 milyar dolar mengalir ke
kantung-kantung pelaku korupsi.
Modus-modus korupsi di sektor kesehatan bisa berbagai macam, mulai dari suap
pengadaan obat atau alat medis, hubungan marketing yang tidak sehat,
penyalahgunaan wewenang, mark-up klaim kesehatan hingga penjejalan resep obat
yang tidak masuk akal kepada pasien. Berbagai praktik seperti ini ternyata
ditemukan di berbagai belahan dunia, mulai dari beberapa pekerja sektor
kesehatan di Asia yang menikmati pemberian fasilitas barang mewah oleh
perusahaan farmasi atau alat kesehatan; sekumpulan dokter di Jerman yang
terbukti menerima aliran dana untuk peluncuran obat baru atau beberapa ahli
kesehatan yang memberikan obat kepada pasien dengan pola yang ditentukan
perusahaan farmasi di Amerika dengan imbalan uang.
Korupsi di bidang kesehatan bisa disebabkan oleh adanya kelemahan di sistem
kesehatan (struktur gaji yang rendah, budget kesehatan atau penelitian di
bidang kesehatan yang tidak memadai hingga hubungan yang kurang sehat antara
industri dan penyedia jasa kesehatan), juga bisa jadi karena adanya
kelemahan dalam sistem pengawasan kesehatan, lembaga anti-korupsi atau
efektivitas yang rendah dari sistem keadilan. Pada akhirnya pencederaan
integritas dan penyalahgunaan wewenang tergantung pada motivasi, norma dan
nilai yang dijunjung tinggi oleh orang per orang.
Setidaknya ada lima efek besar yang ditimbulkan oleh praktik korupsi dalam
kesehatan.
1. Efek pada harga
Korupsi dalam pengadaan obat atau sarana
kesehatan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak masuk akal dan dapat
menggerus anggaran kesehatan yang sedianya bisa dialokasikan seluas-luasnya
untuk kepentingan masyarakat.
2. Efek pada kualitas pelayanan kesehatan
Keputusan untuk memberikan obat atau
menyediakan alat kesehatan yang dilandasi oleh praktik korupsi dapat
mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan kesehatan, karena pertimbangan
utama bukan lagi untuk keputusan yang terbaik untuk pengguna pelayanan
kesehatan, akan tetapi motif individu atau kelompok.
3. Efek terhadap aksesibilitas kesehatan
Korupsi dalam bidang kesehatan bisa mengakibatkan
makin sempitnya akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan
terjangkau karena meningkatnya biaya pelayanan kesehatan beserta obat-obat, dan
ini bisa menimbulkan kesenjangan sosial dimana pelayanan kesehatan yang baik
hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu.
4. Efek imej yang buruk terhadap penyedia pelayanan kesehatan
Di era merebaknya sosial media dimana
orang bisa melontarkan sesuatu dan menyebar secara 'viral' dibaca oleh ribuan
hingga jutaan orang - informasi yang negatif tentang oknum dokter yang
memberikan obat tidak rasional misalnya seringkali menjadi bulan-bulanan
hujatan pembaca - yang seringkali tidak menelaah ceritanya dengan menyeluruh
dan lebih dalam. Bahwa ada dokter yang korupsi dan melakukan kolusi dengan perusahaan
farmasi atau alat kesehatan - iya, memang demikian faktanya. Namun tidak
sedikit dokter yang berdedikasi tinggi dan mengorbankan waktu dan
kepentingannya untuk pasien, dan sayangnya golongan dokter yang terakhir ini
barangkali kurang begitu menarik untuk disebarkan kisahnya di media sosial.
Sebagaimana jargon dunia publikasi, "bad news is good news".
5. Efek tidak langsung dalam masyarakat
Korupsi dalam sektor kesehatan bisa
menimbulkan berkurangnya produktivitas manusia karena buruknya pelayanan
kesehatan, selain itu ketidakpercayaan publik kepada pemerintah sebagai badan
yang meregulasi sistem kesehatan dan menurunnya kepercayaan kepada dokter atau
para penyedia pelayanan kesehatan bisa mengakibatkan orang menebak-nebak
sendiri cara untuk mengbati dirinya, itu barangkali salah satu faktor yang
mengakibatkan iklan obat bebas dan pengobatan alternatif menjamur sedemikian
rupa di Indonesia dalam satu dekade belakangan ini.
Institusi yang kuat & masyarakat yang aktif : Solusi mengatasi
korupsi dalam pelayanan kesehatan
Walaupun
tidak ada satu kebijakan yang bisa berfungsi sebagai 'obat dewa' dalam
mengobati penyakit korupsi di tubuh dunia kesehatan, penelitian yang dilakukan
di Eropa dan dilansir oleh 'European Commission' tahun 2013 menunjukkan bahwa
kunci utama keberhasilan melawan korupsi adalah kombinasi yang baik antara
adanya institusi yang bebas korupsi dan kuat dan partisipasi yang aktif dari
masyarakat untuk menolak praktik-praktik korupsi. Karena sekedar membentuk
institusi anti-korupsi tanpa melibatkan masyarakat untuk melakukan evaluasi
dari hari ke hari, maka akan terjadi korupsi terselubung seperti yang terjadi
di Yunani.
Hasil
penelitian "European Commission" untuk mencari solusi mengatasi
korupsi dalam sistem kesehatan di 28 negara (Austria, Belgia, Bulgaria,
Kroasia, Siprus, Republik Cekoslowakia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis,
Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemburg,
Malta, Belanda, Potugal, Polandia, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia
dan Inggris) merekomendsaikan pembentukan lembaga "Anti-Korupsi di bidang
Kesehatan" sebagai institusi yang secara spesifik mengawasi
praktik-praktik korupsi di sektor kesehatan, lembaga ini tidak hanya mendapat
mandat untuk melakukan pengawasan, tetapi juga dapat menjatuhkan sanksi. Selain
itu pemerintah harus kembali menggalakkan transparansi di bidang pelayanan
kesehatan, mulai dari transparansi sistem pengadaan barang dan jasa,
transparansi dokter terhadap resep yang ditulis ; misalkan menuliskan generik
obat bukan merk obat. Tidak kalah pentingnya juga untuk terus menstimulasi
keterlibatan media, 'civil society', lembaga-lembaga pengawas dan
grup/perkumpulan pasien untuk mengidentifikasi dan melaporkan tindak-tanduk
yang berbau-bau korupsi.
Tindak
korupsi adalah cerminan kondisi insan dan secara akumulatif menjelma menjadi
perilaku kolektif. Sifat-sifat dasar manusia seperti serakah, tamak, dan hawa
nafsu memuaskan kebutuhan jasad memang menjadi sumbu mencuatnya korupsi. Pada
dasarnya terapi yang paling utama adalah menarget individu per individu agar
kembali kepada hidup yang lurus. Namun perangkat kemasyarakatan yang laik tak
kalah pentingnya, karena korupsi khususnya di bidang kesehatan biasanya lebih
jarang terjadi pada masyarakat yang sudah tinggi kesadarannya akan hukum,
transparansi dan memiliki kepercayaan tinggi kepada institusi, dimana pelayanan
kesehatan juga dilakukan dalam aturan main yang dapat diandalkan.[]