Di salah satu sesi pengajian ibu-ibu Amsterdam kemarin ada
pertanyaan mengenai “Mengapa perempuan diwajibkan menutup auratnya sedemikian
ketat melebihi kaum laki-laki?” diskusi pun berlangsung hangat ada yang
membahas dari aspek fisik, logis dan etis. Memang bagi kami yang saat ini
tinggal di negara dengan mayoritas populasi non Muslim pertanyaan serupa akan
selalu muncul. Misalnya berkaitan dengan memasuki Ramadhan, timbul lagi
pertanyaan “Mengapa perempuan yang haid tidak boleh puasa?” dst. Perlu
kesabaran khusus untuk melayani satu per satu pertanyaan yang bisa jadi
terkesan “ngeyel”itu ;)
Berdiskusi tentang gender dalam parameter Islam itu tidak
sesimpel bicara tentang dua makhluk yang berbeda jenis kelaminnya, pembicaraan
tentang gender tidak semata-mata pula bicara masalah aspek hukum yang sederhana, pendekatan sosiologis,
ataupun berbagai keberatan yang banyak dilontarkan oleh masyarakat Barat.
Pembahasan mengenai gender sepatutnya melihat lebih dalam dalam ranah tradisi
kosmologis intelektual dalam Islam yang serius membedah aspek maskulin-feminin
dalam cermin yang lebih besar seperti makrokosmos (al alam al kabir) dan mikrokosmos (al alam al saghir).
Dengan kata lain berbicara tentang gender juga sepatutnya
menyentuh hal-hal mendasar dalam tradisi Islam seperti kajian tentang : Siapa
itu manusia? Apa entitas yang membentuk manusia? Setelah hal dasar itu ditelaah
maka kita bisa lanjut dengan aspek fisik bahwa ada dua macam makhluk, perempuan
dan laki-laki kemudian apa hubunganya satu sama lain, apa fungsi masing-masing.
Untuk pembahasan lebih jauh bisa dibaca dari buku apik yang ditulis oleh
Sachiko Murata berjudul The Tao of Islam.
Kalau kita melihat Al Qur’an maka pembahasan mengenai
laki-laki dan perempuan termuat dalam salah satu ayat “Dan kami menciptakan
segala sesuatu berpasangan, laki-laki dan perempuan”(QS 53:45). Tidak sedikit
ayat di dalam Al Qur’an yang berbicara mengenai konsep keberpasangan ini.
Termasuk pasangan pena dan kitab, langit dan bumi dst. Hal ini menunjukkan
bahwa konsep keberpasangan merupakan hal yang fundamental dalam prinsip
penciptaan.
Kalau kita menelaah Al Qur’an dan hadits dengan dalam maka
tampak bahwa pandangan dasar Islam terhadap aspek perempuan dan laki-laki
menampilkan sebuah fungsi komplementer, yang satu melengkapi lainnya. Yang satu
tidak sempurna tanpa kehadiran lainnya. Dengan demikian tidak ada hierarki,
semua sesederhana menjalankan peran masing-masing yang telah ditetapkan
oleh-Nya.
Untuk menambah khazanah lain tentang “keperempuanan”mari
kita lihat bahwa kata “nafs” atau jiwa dalam Bahasa Arab adalah bergender
perempuan. Adapun jiwa adalah entitas manusia yang utama yang kerap kali tidak
mendapatkan ruangan cukup dalam berbagai diskursus dalam kajian agama Islam,
melainkan hanya bersifat superfisial.
Kemudian menarik untuk melihat bahwa kata “rahim” mempunyai
akar kata yang sama dengan “rahman”. Pada kenyataannya rahim sang ibu adalah
tempat dimana Tuhan memancarkan kasih sayangnya dengan pertumbuhan yang
menakjubkan dari anak manusia.
Lalu Allah Ta’ala dikatakan memiliki sifat “Jalal” (kuat)
sifat yang banyak terpancar di kaum laki-laki dan juga sifat “Jamal”(pengasih,
penuh kelembutan) sifat yang banyak terpancar pada kaum perempuan.
Maka kita bisa lihat sekilas bahwa bicara tentang gender
perempuan tidak hanya sebatas “perempuan”sebagai makhluk berjenis seksual yang
berbeda dengan laki-laki saja.
Sebagai penutup, dalam sejarah Islam sebenarnya banyak cerita-cerita
kepahlawanan yang sangat menginspirasi yang dilakoni oleh perempuan, hal yang
jarang diungkap terutama oleh mereka yang hanya melihat aspek (seolah-olah)
perempuan tidak mendapatkan perlakuan yang adil dalam Islam.
Orang yang pertama
syahid dalam Islam adalah seorang perempuan bernama Sumaya Zawgat Yasir. Sumaya
dihukum dengan keji - saya tidak tega menceritakan dengan detil – di periode
awal perkembangan Islam, beliau gugur sebagai syuhada dalam mempertahankan
keimanannya.
Rasulullah SAW memuji Asma binti Umais yang berkelana jauh
melintas laut dari Mekkah ke Abyssinia untuk menghindari pembantaian kaum
Muslim.
Perempuan juga terjun ke medan perang laiknya laki-laki.
Adalah seorang ksatria perempuan bernama Ummu Imara yang ikut dalam Perang
Uhud. Mengenai beliau Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku mendengar
Rasulullah SAW berkata ‘pada saat perang Uhud, tidaklah saya berpaling ke kiri
atau ke kanan tanpa melihat Ummu Imara berperang melindungi aku.”[]
(Referensi: Pendahuluan yang ditulis oleh Dr. Zeenat Shaukat
Ali dalam buku “Islam and Gender Justice: Questions at the Interface”karya V.A.
Mohamad Ashrof)