Sukarno muda, saat berusia 15-an tahun menyewa kamar kost di kediaman keluarga Haji Oemar Said Cokroaminoto. Berdasarkan biografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams, kamar itu adalah kamar yang paling jelek, tidak ada jendela ataupun pintu. Demikian gelapnya kamar itu sehingga Sukarno kerap menyalakan lilin untuk sekadar membaca, walaupun itu di siang hari, ia sendiri menyebutnya mirip kandang ayam dibanding kamar yang layak untuk manusia. Di dalam kamar gelap dan berteman lilin itulah Sukarno mulai mengakrabkan diri dengan buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan Organisasi Teosofi, ia mendapatkan akses karena ayahnya adalah anggota di sana.
Proses 'meditasi'dalam kamar remang-remang ditemani berbagai macam buku inilah yang mulai melesatkan Sukarno, anak muda polos dari tanah Jawa yang mulai terbuka matanya melihat dunia, melalui buku itu ia katakan berkenalan dengan Thomas Jefferson, berusaha mendebat Abraham Lincoln, ikut menghanyutkan diri dalam suasana Revolusi Perancis dan membabat habis buku-buku retorika Yunani yang membuat dia mulai mengeraskan suaranya dari kamar gelap kecilnya itu untuk berpidato dengan bersemangat, sesuatu yang disambut oleh gelengan kepala oleh para tetangga kost-nya yang terletak di sekitar kamar Sukarno.
Saya sering membaca bagaimana buku bisa membuat seseorang terinspirasi yang kemudian menjadi lokomotif perubahan, setidaknya berubah untuk dirinya sendiri, untuk keluarga dan lingkungannya dan mungkin bagi beberapa orang yang memang tugasnya demikian, untuk mengubah dunia, betapa kuat pengaruh simbol huruf-huruf yang kita baca hingga bisa mengaktivasi sebuah proses transformasi!
Kalaupun ada hal yang saya bisa lakukan ulang saat masa kecil dan remaja saya adalah saya akan lebih banyak membaca buku-buku bermutu yang menginspirasi dan membuka cakrawala dunia.
Amsterdam, 2 Februari 2016
19.21
No comments:
Post a Comment