Wednesday, February 10, 2016

Mengidentifikasi Misi Hidup

Setiap jiwa yang terlahir ke muka bumi membawa misi hidupnya masing-masing, sebuah dharma suci yang Sang Pencipta kalungkan pada saat semua ciptaan sejak manusia pertama hingga manusia terakhir yang akan dilahirkan suatu saat nanti bersaksi di hadapan Rabbul 'Aalamiin dan bersaksi "Balaa Syahidna", peristiwa ini direkam dalam ayat Al Qur'an surat Al A'raaf [7]:172.

Apakah kemisian itu?
Kenapa manusia perlu melakukan sesuatu untuk Tuhan Yang Maha Kuasa, dia toh tidak butuh makhluk untuk sekadar mencipta apalagi melakukan sesuatu, bagi-Nya "kun" dan apapun terjadi.
Jika demikian, tugas yang dirancang untuk dilakukan pada hakikatnya mestilah bukan semata-mata untuk-Nya. Ada informasi yang menarik tentang 'kebutuhan' Allah yang tertuang di dalam Hadits Qudsi, "Aku dahulu adalah khazanah yang tersembunyi (khanzun mahfiy), Aku rindu untuk dikenali, maka Aku ciptakan makhluk agar melalui itu Aku dapat dikenali." Bayangkan, Dia Yang Maha Kaya, Maha Kuasa memenuhi kebutuhannya sendiri mempunyai keinginan yang hanya bisa dipenuhi oleh keberadaan makhluk seperti kita-kita ini.

What is so special about human being?
Apa istimewanya kita sehingga keberadaan kita bisa menjadi jembatan untuk mengenal-Nya.
Lalu apa kaitannya niatan awal dari penciptaan manusia ini dengan kemisian yang diemban oleh setiap insan?
Apakah jika seseorang berhasil memenuhi misi  hidupnya maka ia juga otomatis memenuhi karsa-Nya supaya bisa menjadi perantara untuk mengenal Dia Sang Maha Pecinta?
Lalu, apa konkritnya misi hidup itu? Apakah suatu profesi tertentu? Peran tertentu? Kapan kita bisa mendapat konfirmasi bahwa misi hidup kita sudah tercapai?

Untuk menjawab semua pertanyaan itu mari kita mulai dari awal perjalanan hidup kita. Dari mana kita berasal. Kita tidak diberikan pilihan dari orang tua mana kita akan dilahirkan, di belahan dunia mana, warna kulit kita, paras wajah kita dan sekian atribut yang melingkupi dunia kita. It's all given.
Semua sudah diperhitungkan dengan cermat dalam pengetahuan-Nya, karena setiap insan membawa benih yang laiknya tumbuh berkembang dalam dharma sucinya, maka Sang Penanam Benih tahu betul mana tanah yang pas agar sang benih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jadi, orang tua kita bagaimana pun mereka adalah lahan yang paling baik untuk bertumbuhnya potensi suci kita masing-masing. Ya, orang tua kita dengan semua 'hitam-putih'nya, beserta semua 'happy and less happy' moment atau bahkan ada beberapa anak yang mengalami trauma masa kecil 'diakibatkan' orang tuanya, semuanya tetap bagian untuk menumbuhkan si jiwa. Karena boleh jadi dalam keadaan yang tampaknya buruk dan berat justru dibutuhkan untuk memecahkan cangkang si benih agar inti benih bisa tumbuh melesat keluar.

Guru saya berpesan, "Anak tangga menuju Tuhan ada dalam apapun yang telah Dia takdirkan ke dalam hidup kita." Maka penting untuk menyediakan ruang senyap di antara waktu-waktu sibuk kita untuk sekadar mengendapkan semua hal yang telah terjadi dan melihat 'big picture'dan pesan Ilahiyah yang terkandung di dalamnya, karena setiap kejadian dalam hidup kita seperti keping-keping puzzle yang harus dirangkai sedemikian rupa hingga mulai terbaca gambar apa yang sedang kita rangkai, gambar itu adalah informasi tentang diri kita sendiri dan kemisian hidup adalah awalnya. Sebagaimana dikatakan "awaluddiina ma'rifatullah"(awal beragama adalah makrifatullah) dan tidak mungkin bisa mengenal-Nya tanpa pengenalan yang baik akan diri sendiri.

Amsterdam 10 Februari 2016
15.54

No comments:

Post a Comment